Chapter 11

3.5K 228 3
                                        

Friend?
.
.
.
.
.

Suasana kantin yang begitu ramai membuat ke empat anak laki-laki yang tengah menikmati mie ayamnya merasa terganggu. Veir menaruh sumpitnya dimeja seolah selera makannya hilang ketika melihat satu anak laki-laki yang tengah berdiri didekat mejanya mengupil. Pemandangan menggelikan.

"Woi, ngupilnya jangan disini dong." sungut Veir membuat anak laki-laki itu menengok ke arahnya.

Tiga temannya pun menoleh kearah anak laki-laki itu.

"yee, suka-suka guelah." sahutnya sewot.

Veir menyipitkan mata, Menatap makanannya seakan membayangkan jika makanannya sudah ternodai.
Vicky, Rayn dan Joshua yang ikut merasa geli akhirnya menyodorkan mangkuknya kemudian empat laki-laki ini beranjak dari tempat duduknya. Joshua yang berdiri di samping anak laki-laki itu matanya melirik ke arahnya.

"Apa?." sahutnya yang menyadari Joshua meliriknya.

Joshua mengembang kempiskan hidungnya seraya memutar bola matanya kemudian berjalan menyusul ke tiga temannya yang sudah meninggalkannya.

🔅🔅🔅

Suasana koridor begitu bising, suara tawa, canda bahkan ucapan setiap siswa di koridor terdengar jelas. Aku hanya melihat sekeliling menatap mereka penuh iri. Aku ingin seperti mereka, bisa dengan mudahnya mereka tertawa dengan lantang bersama temannya. Sedangkan aku.

Aku merasa takut saat ini, karena...

...

...

...

...seseorang yang berdiri di sampingku. Dia berusaha menyembunyikan dariku, berusaha memasang senyuman itu padahal dalam benak tersimpan dendam teramat penuh padaku.

Aku, orang yang di benci olehnya.
Aku, orang yang sudah di bicarakan dengan kalimat kasarnya.
Aku, orang yang akan di jatuhkan.

Aku yakin. itu pasti terjadi padaku, tunggu waktu saja yang akan menjawab.

Senyuman, canda, gurau, kalimat, kebersamaan itu hanyalah...

...tipuan semata.

Itu hanyalah topeng yang dia pakai saat bersama ku. Sesak itu tumbuh saat akan bersamanya.

"Lun, Aku boleh pinjam novel kamu?."

Aku menoleh, menahan sakit yang dia iris secara perlahan. Mengukir senyuman tipis.
"Tentu." sahutku seperti biasa.

"Lo besok bawa novel, ya." katanya seraya tersenyum.
Aku melihat bibirnya yang tersenyum, senyum itu susah di bedakan. Dia jauh lebih pintar dari yang ku bayangkan.

Kami berjalan memasuki kelas bersamaan, seolah dia sedang berakting. Dia mengalungkan tangannya ke lenganku.

Aku hanya bisa tersenyum, membiarkan hatiku yang mulai teriris olehnya.

Jadi bagaimana denganmu, jika di posisiku?.
🔅🔅🔅

Waktu pulang tiba. Aku dan Chessa menunggu angkutan umum dari trotoar yang berjarak 5meter dari sekolah,seperti hari-hari biasanya, kami pulang bersama, menikmati suasana yang menurutku sudah mulai aku takuti.

"Hei."

Chessa menggerakkan tangannya di depanku, membuyarkan lamunan.
Angkutan umum sudah ada dihadapan kami. Aku dan Chessa menduduki kursi berdekatan, Dia berbeda sekali saat bersamaku. terlihat sangat menyenangkan namun itu hanya tipuan.

Tak lama, Aku menuruni angkutan umum, Chessa pun juga. Aku menoleh kearahnya dengan tatapan bingung.
Ini bukanlah jalan menuju rumahnya.

"elo ko turun disini?." tanyaku.
"bukannya rumah lo masih agak jauh, ya?."

Chessa tersenyum, "iya, hari ini gue mau main ke rumah tante." sahutnya.

"rumahnya di dekat sini?." tanyaku lagi.

Chessa mengangguk, "iya."

Aku melangkahkan kaki, Chessa berjalan tepat di sampingku.

"Lun."

"apa?." tanyaku

"Gue boleh tanya sesuatu engga?." tanyanya

"Iya."

"Seandainya nih, Gue suka sama barang yang sama kayak lo dan barang itu hanya cuman lo yang punya." Chessa memberhentikannya.

Aku menoleh ke arahnya.

"Iya, kenapa?." tanyaku.

"Lo mau engga, ngikhlasin barang itu buat gue?."

Kalimat itu membuatku memberhentikan langkah kaki. Pertanyaan yang dia lontarkan, begitu membuatku semakin yakin.

Aku sempat berdiam mematung.

"Lun." Panggil Chessa membuyarkan lamunanku.

Aku terkekeh kemudian menoleh.
"iya, apa?." kataku seraya menggeleng pelan.

"Gimana menurut lo?."

Aku ingin menahannya, namun hati ini semakin terluka karena aku menahannya.

"Gue ikhlasin."

Chessa menatapku, bibir tersenyum semakin lebar. Aku menghela napas.
"Tapi, kalau soal orang yang kita sukai sama. Gue engga bisa." kataku tanpa di sadari.

Senyum itu hilang, Chessa masih menatapku namun dengan tatapan kesal yang sekarang sudah terbaca olehku.

"Ko lo gitu sih?." katanya sedikit menaikkan intonasi tinggi.

Aku hanya diam, menutup mulutku rapat. Bibir ini tanpa disadari mengucapkan benakku.

"Kalau misalnya gue jodoh sama Joshua, lo mau kan ikhlasin?."

Aku memicingkan mata,semakin ketebak.
"Kita masih SMP. Engga pantes ngomongin soal jodoh, lagi pula soal begitu tuh sudah ada yang ngatur." sahutku.

Chessa melangkahkan kakinya, Aku dengan cepat juga mengerjarnya. berjalan di sisinya.

Bagaimanapun dia temanku.
Sekalipun di menghinaku dia tetap temanku.
Bahkan jika dia menusukku dengan busur panahnya, Aku akan selalu menganggapnya teman.

LDR  (Completed√)Where stories live. Discover now