Part 32 - Rahasia takdir

29.5K 3.3K 204
                                        

Malam semakin larut. Sayup suara jangkrik menemani kesunyian. Aku sudah mencoba berbagai macam cara supaya bisa tidur. Semua cara sudah kulakukan mulai dari mandi air hangat, minum susu sampai mengisi perut. Bahkan berlindung dalam hangatnya selimut tidak membantu. Mataku tetap terjaga. Otak seperti kehilangan kendali padahal tubuh luar biasa lelah.

Penyebabnya berita yang Prawira sampaikan. Dada masih terasa berat oleh kejutan tak menyenangkan. Kabar yang ia katakan bagai mimpi buruk. Widuri menghilang tetapi latar belakang kepergiannya lebih mengejutkan. Ia sedang berbadan dua dan keluarganya menuding Prawira sebagai lelaki yang paling bertanggung jawab.

Akal sehat seolah mengkerut menjadi sebesar kelereng. Tanpa sadar aku berteriak histeris, mempertanyakan dengan suara tinggi kebenaran ayah sang janin. Semua kemungkinan bisa saja terjadi. Selama ini kami tinggal di kota yang berbeda. Terpisah ratusan kilometer. Dalam situasi yang tidak memungkinkan bertemu setiap hari kami saling mengandalkan kepercayaan.

Prawira menegaskan ia bukanlah lelaki yang menghamili Widuri. Seandainya memang benar ia akan bertanggung jawab alih-alih merepotkan diri membujukku kembali dalam pelukannya.

Hati kecil berbisik memercayai pernyataannya. Entah kenapa aku meyakini Widuri akan mengambil kesempatan pertama mengikat Prawira bila berita itu benar. Ia akan menuntut statusnya di sah kan bukannya justru pergi setelah melempar bola panas yang mengejutkan orang-orang di sekelilingnya.

Dan untuk kesekian kali, aku menyalahkan diri sendiri. Seandainya sejak pertama diriku bisa sedikit lebih percaya diri memperlihatkan kepemilikan atas Prawira di hadapan Widuri, mungkin kejadian semacam ini bisa dihindari. Hasrat perempuan itu masih menyala setiap berada di sekitar Prawira. Senyuman terpaksa ia sunggingkan namun dibuat setulus mungkin ketika aku dan Prawira bersama. Pada akhirnya kenaifanku menjadi bumerang.

Aku mengigit bibir. Sekali lagi mencoba memejamkan mata. Luapan rasa nyeri menghujam dada saat kecemasan membentuk bayangan Prawira dan Widuri dalam balutan pakaian pengantin. Secepat mungkin semua terhapus dari kepala sebelum imajinasi semakin liar. Tidak banyak yang bisa kulakukan selain menunggu. Widuri harus ditemukan agar permasalahan semakin jelas. Perempuan itu tidak akan bisa berkelit dan Prawira akan mempertanggungjawabkan pernyataannya. Hasil tes DNA akan membuktikan siapa yang telah berbohong.

******

Keesokan pagi mataku terasa berat. Kepala pusing karena terbangun di luar jam kebiasaan. Masalah semalam berhasil membuatku bak mayat hidup. Lidah tidak berselera menyantap makanan Nini yang biasanya tidak mungkin kulewatkan. Tempat tidur terasa seperti dipenuhi ribuan jarum padahal tidur adalah salah satu hobi favoritku. Dan yang paling parah, mood-ku terjung bebas dalam gelapnya kubangan tak berdasar.

Beruntung Nini dan Dewi tidak menyadari keanehanku. Keduanya melihatku sebagaimana seorang Mentari bersikap. Aku mati-matian menyembunyikan perasaan, berlindung dibalik alasan-alasan kebohongan seperti melewatkan sarapan karena ingin memeriksa keadaan perpustakaan lebih dulu.

Pikiranku melayang begitu berada di perpustakaan. Sejujurnya bukan tempat ini yang ingin kudatangi. Bertemu muka dengan Prawira adalah obat paling manjur. Tapi aku perlu menahan diri. Sekalipun memutuskan memercayainya bukan berarti keraguan sepenuhnya sirna. Hal semacam ini perlu mendengar pernyataan dari kedua belah pihak yang terkait.

Kemunculan diam-diam Prawira di perpustakaan cukup mengejutkan sekaligus melegakan. Entah sejak kapan ia berada di tempat ini. Ternyata aku membutuhkannya bahkan ketika otakku kacau balau mempertanyakan kebenaran kehamilan Widuri. Di tengah gempuran ketidakpastian logika tetap berfungsi. Aku menghindari menumpahkan kegelisahan dengan cara yang buruk.

Sebelum kembali ke Bandung, Prawira berjanji akan membawa kebenaran ke hadapanku. Kepercayan dirinya seolah menyakinkan diriku tidak perlu ragu. Aku sendiri mengambil keputusan menghadapi permainan Widuri apapun risikonya. Tindakannya kali ini melampaui batas yang bisa kuterima. Jika dibiarkan entah apalagi kemungkinan terburuk yang sanggup perempuan itu lakukan.

One Year Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang