Serius, Tari? Sebegitu pentingkah membahas bulu hidung daripada ciuman. Kenapa tidak sekalian bulu ketek atau kerak upil? Rasakan akibatnya kalau Prawira semakin ilfeel denganmu.
Berbagai ejekan memenuhi kepala beberapa jam terakhir. Pembicaraan terakhir sebelum kami meninggalkan kediaman Prawira berakhir canggung. Lelaki itu menolak senyuman, memasang raut masam sepanjang jalan. Ia tidak memandang padaku seakan tidak ada yang menemaninya. Aku sendiri kebingungan. Tidak habis pikir dengan sudut pandangku melihat suatu masalah. Bagaimana bisa momen romantis yang super langka teralihkan oleh... bulu hidung.
Sebenarnya bukan pernyataan tentang bulu hidung yang ingin keluar dari mulut. Setiap orang pasti memiliki bulu hidung tapi hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali yang memasukan dalam daftar obrolan setelah berciuman kecuali diriku. Hati kecil terang-terangan bicara tentang Prawira, sedikit mengakui kekaguman tetapi semua hanya mampu bertahan sebatas tenggorokan.
Di luar persoalan bulu hidung. Entah karena masih jengkel atau menganggap ciuman tadi sesuatu yang sangat biasa, Prawira tidak sekalipun menunjukan kejadian itu patut dilanjuti tatapan mesra. Ekspresinya nyaris datar, bergeming di tempatnya dan membiarkan suasana dipenuhi keheningan. Sepertinya hanya diriku yang bereaksi terlalu berlebihan hingga mengatakan kalimat bodoh karena gugup.
Setibanya di rumah sakit, orang tuaku bergantian pulang ke rumah dan beristirahat. Nini masih tertidur saat kami datang. Aku memilih tinggal di kamar, menunggui perempuan paruh baya itu sementara Prawira pergi keluar. Setengah jam telah berlalu namun sosoknya belum muncul dan membuatku yakin lelaki itu sedang meredam kemarahannya.
Aku bergerak menuju jendela. Menyandarkan salah satu lengan di tembok yang bersisian dengan tempat masuknya cahaya matahari. Kedua tangan melipat di dada, menatap Nini tanpa berkedip. Kondisi Nini mengingatkanku pada almarhum Nenek. Keramahannya sulit dilupakan. Senakal apapun cucu-cucunya terutama diriku, kasih sayangnya tidak pernah berubah.
Raut Dewi perlahan berkelebat memenuhi pelupuk mata. Kesedihan di mata gadis kecil itu membuatku miris. Ia begitu ketakutan kehilangan Nini, keluarga satu-satunya sedangkan aku meributkan perbedaan kasih sayang dan melupakan arti bersyukur karena orang tua masih lengkap.
Pandangan beralih pada tas selempang di tubuh. Gerakan tangan perlahan membuka ristleting, meraih lembaran sticky note dan membacanya tulisan kecil berulang kali dalam hati. Siapa sangka tiga kata di lembaran itu mampu membuatku tersenyum seperti orang gila.
Dehaman mengusik keheningan. Terlalu asyik menatap lembaran mengaburkan kesadaran akan keadaan sekitar. Prawira rupanya baru saja kembali. Ditutupnya pintu sangat pelan, khawatir suara yang dihasilkan menganggu istirahat Nini. Agak ironis mengingat dehamannya tadi cukup keras.
Dengan terburu-buru lembaran tadi masuk kembali dalam tas. Prawira mendekati ranjang, tersenyum pada Nini sebelum menghampiriku. Sebuah plastik berisi roti dan air mineral di sodorkan padaku.
"Cuma ini?"
Kening Prawira berkerut. Kedua alisnya hampir bertaut. "Bukan cuma ini tapi terima kasih."
"Terima kasih," ulangku. "Cuma ini?" lanjutku mengabaikan desahan jengkelnya.
"Kamu sengaja menguji batas kesabaranku?"
Kepalaku menggeleng. Meraih salah satu roti dari plastik. "Buat apa? Cuma orang yang hilang akal yang mau dimarahi sama kamu. Kamu terlalu serius. Tinggal jawab, adanya cuma ini kan beres."
"Tapi itu tidak sopan, Tari."
Mulutku terus mengunyah roti. "Kamu memang mengutamakan kesopanan sampai mau menciumpun minta izin dulu kecuali yang pertama kali. Aku akui itu." Prawira terbatuk. Tangannya menolak waktu kudosorkan air mineral.
"Kamu akan kembali ke Jakarta atau gimana?" Punggung tegap Prawira bersandar di dinding, beberapa langkah dari tempatku berdiri. Kedua tangannya menyusup ke balik saku celana.
Pengalihan, desisku pada diri sendiri.
"Rencana semula aku berniat seminggu kurang tinggal di sana. Itu sebelum ada kejadian ini. Dengan kondisi Nini sekarang rasanya kurang etis kalau aku membiarkan Dewi merawatnya seorang diri." Mulut mengunyah potongan roti terakhir. "Tahun depan hidupku akan kembali normal. Yang kuperlukan hanya menikmati hari sebelum hari itu tiba."
"Kamu tetap akan pergi?"
"Tentu saja, bukan karena aku tidak menyukai tempat ini atau Nini maupun Dewi. Ada beberapa perusahaan yang sejak kuliah ingin kumasuki. Sejauh ini memang belum ada balasan tapi siapa tahu kesempatanku hanya tertunda. Lagipula aku tidak mungkin terus bergantung sama orang tua."
"Aku berniat membangun kembali perusahaan yang sempat ibuku miliki. Kebetulan pemiliknya menawarkan bangunan itu karena terlilit hutang. Aku butuh orang-orang yang
"Lalu?"
"Kamu bisa bekerja untukku. Sekalian menjadi pengawas. Kamu bisa belajar, memperkaya pengalaman. Gajimu akan disesuaikan dengan kinerja. Aku tetap akan mempertahankan batasan, bersikap profesional dalam menyikapi persoalan pribadi atau pekerjaan. Posisimu tetap karyawan selama di kantor."
Pipiku mengembung. Tawaran Prawira cukup menggiurkan. Yang perlu dilakukan hanya belajar dan bekerja keras. Tidak ada jalan mudah mendapatkan kesukseksan bahkan keberuntungan bisa jadi bumerang bila terlalu mengagungkan ego. Dan permasalahan pada situasiku sekarang adalah hubungan kami. Pernyataan Prawira terdengar serius. Ia tidak akan mengabaikan kesalahanku bila teledor.
Lelaki itu masih diam. Bola matanya menatap ke ranjang Nini.
"Entahlah," keluhku bingung. "Aku tidak bilang mudah mencari pekerjaan. Tawaranmu juga kedengarannya cukup bagus. Selain itu kita punya hubungan lebih dari teman. Mm... aku belum bisa memutuskan tapi berada di tempat ini lebih dari setahun bukan rencana awalku."
Prawira menggerakan kaki. Tubuhnya menyamping, bersandar pada dinding dan menajamkan pandangan. Mataku terbuka lebar. Butuh konsentrasi demi terlihat berani.
"Aku lupa kamu gadis kota." Nadanya yang dingin seakan mengirim ribuan air es ke wajahku. Meski raut di hadapan menunjukan ketenangan, sindiran halus tersirat dari balik kata-katanya.
"Kamu sendiri lebih banyak tinggal di kota besar. Paling lama tiga hari dalam seminggu. Kadang hampir sebulan kamu tidak datang. Tentu saja kamu tidak bisa melepaskan gaya dan kehidupan sosialmu, bukan?"
"Mungkin jumlah temanmu lebih banyak. Aku juga bukan tipe yang suka menghabiskan waktu di luar tanpa alasan kecuali memang penting termasuk orang-orangnya."
Keingintahuan menggelitik, mengusik kepura-puraan yang berusaha kubangun. Tanpa sadar kakiku melangkah mendekati Prawira. Akal sehat terbuang. Rasa gugup tertutup sikap tak tahu malu.
Prawira mengawasi gerakanku. Mendapat seluruh perhatiannya membuat bulu roma berdiri. Tatapannya semakin intens.
Aku tidak gugup melainkan takut. Khawatir terjerumus terlalu dalam dalam kubangan perasaan atas nama kasih sayang. Selama ini aku bermain aman. Berdiri pada lapisan luar hingga bila pondasi kami runtuh setidaknya diriku mampu menyelamatkan sebagian hati.
"Hm... orang-orang penting itu termasuk perempuan?" Mulut hampir terkatup,menyesal memilih topik yang akan membuatku terlihat seperti gadis pencemburu.
"Kita sedang membicarakan tentang masa lalu,kan?" Kepalaku mengangguk sebagai balasan. "Kata yang terakhir termasuk dalam kategori penting." Walau sudah tertebak, membayangkan kebersamaan Prawira dengan sejumlah perempuan menimbulkan kerutan di dahiku.