Prolog

60.2K 4.2K 127
                                        

Mataku mulai basah. Aku menangis dalam diam. Isakan menggema dari palung hati. Sebagian mengejek drama yang kuperankan sebagai bentuk ketegaran. Di sisi lain, kelembutan mengetuk kerasnya ego untuk merelakan sesuatu yang tidak akan pernah kumiliki.

Sadarlah, Mentari. Berhenti menipu diri sendiri sebelum hunusan kebencian menancap semakin dalam.

Jeritan meneriakan namanya  berdegung dalam kepala. Air mata masih membasahi pipi. Kepedihan seharusnya membuka logika yang terkunci. Pada kenyataannya tubuhku justru mematung, menatap lurus ke luar jendela.

Di sana, pada bagunan yang tertangkap oleh mata, ada sejumput asa ketika jejak kenangan satu persatu menari-nari menjejali ingatan. Dadaku semakin sesak oleh ketidakrelaan namun tak kuasa meski hanya mengucap sebuah kata selamat.

"Tari, kamu sudah siap? Ada yang perlu aku bantu?" Suara di balik pintu menjejakan kembali kesadaran.

"Sebentar lagi aku turun, Bim."

"Ok. Aku tunggu di teras. Panggil saja kalau kamu butuh bantuan."

Pandangan beralih pada kalender   di dinding. Setiap tanggal ditandai silang spidol merah. Tidak terasa keberadaanku di tempat ini hampir setahun. Rangkaian peristiwa berkelebat bagai album kenangan yang terbuka.

Kuusap sisa air mata lalu mengerjap. Perlahan kaki bergerak menjauhi jendela, meraih koper dan tas di dekat lemari pakaian. Tangan menggenggam erat kedua benda itu sebelum menyeret langkah menuju pintu.

Di depan pintu jemariku bergetar, menyentuh kenop besi penuh karat. Wajah berpaling pada jendela seakan berharap kesempatan terakhir menahan rasa putus asa. Namun kesunyianlah yang menjawab harapan semu.

Pintu segera terbuka. Jalan mundurku telah pupus. Seharusnya sejak awal aku mampu mengikhlaskan hati.

Tbc

One Year Where stories live. Discover now