Part 29- Kesungguhan

28.9K 3.6K 294
                                    

Telinga berdegung mengamati obrolan kedua lelaki di ruang tamu. Belum pernah terjadi sebelumnya menghadapi situasi seperti sekarang. Terjebak di antara dua lelaki berpenampilan menarik. Biasanya aku lah yang selalu bingung memilih makanan karena isi dompet hanya cukup membeli satu makanan.

Berlawanan dengan kekhawatiranku, Prawira rupanya piawai mengendalikan ketenangan. Ketakutan tidak terjadi ketika mengira salah satu dari keduanya terpancing emosi dan pertemuan ini berakhir keributan. Prawira tidak terpengaruh ekspresi dingin Bimo. Nada bicaranya jelas hingga siapapun akan mengira ia sedang bicara dengan temannya bukan saingan.

Bimo terang-terangan menunjukan ketidaksukaan. Matanya menyorot tajam sejak Prawira memilih duduk di kursi yang sama denganku. Keberadaan Prawira mengusik harga dirinya. Aku tersadar orang tuaku berada di ruangan lain. Kondisi Ayah kurang baik. Membiarkan perselisihan kedua lelaki ini jelas bukan pilihan tepat.

"Aku pulang dulu, Tari. Oh ya, kamu bilang lusa pulang. Gimana kalau besok kita nonton?" Bahuku merosot oleh kelegaan melihat Bimo bangkit.

"Oke. Nanti kuhubungi lagi. Aku akan sampaikan sama Ibu kalau kamu pamit."

Prawira bergeming. Duduk santai seakan dirinya pemilik rumah. Kepercayaan dirinya menguar sekaligus menjengkelkan . Kemarahan yang sempat terbayang hanya sebatas ilusi tak nyata. Ia berhasil membuatku kebingungan dan kesal karena tak menemukan kelebatan kecemburuan di matanya.

Aku melanjutkan berpura-pura tak acuh. Melewatinya saat mengantar Bimo ke hingga pagar. Tindakan itu berbuah rasa bersalah. Bimo tersenyum lebar mengetahui sikap dinginku pada Prawira. Ia mungkin menganggap kepedulianku sebagai bentuk pada siapa pilihan akan berlabuh.

Begitu kembali ke rumah, Ibu tengah bicara dengan Prawira. Ia setengah memaksa lelaki itu makan sebelum pulang.

"Tari, buatkan Prawira nasi goreng. Prawira sudah repot-repot membantu ayahmu."

"Tidak usah, Bu. Nanti saya makan di jalan saja. Biar Tari istirahat."

Ibu mendelik padaku yang masih berdiri di depan pintu. Tangannya meraih pergelangan Prawira. "Tari sudah cukup istirahat kalau terlalu lama dibiarkan nanti badannya bisa melar seperti karet. Pokoknya kamu makan dulu sebelum pulang. Nanti masuk angin kalau ditunda-tunda." Bibirku mengerucut mendengar ledekan Ibu. Buah memang jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Keduanya berlalu menuju ruang makan. Tanpa perlu diperintah berkali-kali diriku beranjak menuju dapur. Samar terdengar pembicaraan di ruang makan saat aku mulai memasak. Nasi goreng bukan jenis masakan yang terlalu sulit. Meski begitu hasil akhir masakan buatanku terkadang sulit diungkap oleh kata-kata, entah kurang bumbu, terlalu asin atau rasanya aneh.

Keahlian memasak memang perlu diasah. Modal niat tanpa praktek tidak akan menjadikanku koki handal. Selama ini aku lebih menyukai posisi pencicip daripada pembuat. Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk membuktikan pada Prawira dan Ibu bahwa kemampuanku sudah berkembang. Sejak tinggal bersama Nini, beberapa kali diriku bereksperimen memasak nasi goreng rempah dan rasanya lumayan enak, setidaknya masih bisa dimakan sama manusia.

Semua yang kulakukan tidak ada kaitannya dengan kata maaf. Prawira sudah membantu orang tuaku terutama Ayah dan menemani mereka selama di rumah sakit. Membuatkannya nasi goreng hanya sebagai bentuk balas budi.

Aku tersenyum puas setelah menaruh nasi goreng di piring. Beruntung tadi sempat menahan diri tidak menaburkan gula dan garam berlebihan. Ibu bisa menceramahi sampai berbusa andai tahu keusilan putri bungsunya.

"Kamu temani, Prawira. Ibu mau cek ayahmu dulu."

Sepeninggal Ibu, tinggalah kami berdua di meja makan. Keheningan menyergap, membuat gerak-gerik menjadi canggung. Beruntung Prawira fokus melahap nasi goreng. Kepalanya menunduk dan makan dengan cepat. Ia seperti orang yang belum mengisi perut selama tiga hari.

One Year Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin