Part 1 - Setahun sebelumnya

43.5K 3.2K 95
                                    

Hangatnya sinar mentari mengawali kegiatan hari ini. Bias cahaya menyusup malu-malu dari balik tirai. Kain polos berwarna biru muda seolah menari-menari saat tersibak angin dari kisi-kisi jendela. Pemandangan yang biasa namun berhasil mencuri perhatianku. Sejak lima menit lalu, mata telah terbuka lebar akan tetapi berada dalam balutan selimut masih terasa menyenangkan.

Semenjak lulus kuliah dua bulan lalu, menghabiskan waktu di tempat tidur menjadi hobi paling menyenangkan. Aku bukannya tidak berniat mencari pekerjaan. Selama lima tahun terakhir, diriku justru lebih banyak berada di luar rumah dengan beragam aktifitas. Mulai dari kuliah, mengerjakan tugas atau pergi bersama teman-teman jadi agenda tak terlewatkan. Lagi pula mencari pekerjaan di zaman sekarang tidak semudah membeli permen di warung. Selain kemampuan akademik, kesempatan dan keberuntungan sulit dipungkiri memiliki peranan penting.

Sementara ini aku masih tinggal bersama orang tua. Ayah bekerja sebagai PNS sementara Ibu mengurus rumah tangga. Untuk menambah biaya hidup kami, keluargaku kebetulan mempunyai rumah kontrakan dari almarhumah Nenek. Aku sendiri kadang mendapat tambahan uang saku dari mengajar les anak-anak SD di sekitar kompleks. Orang tuaku selalu mengajari arti bersyukur pada dua putrinya meski hidup kami biasa saja.

Setahun lalu Kak Maya, si anak sulung telah pindah ke Jogja ikut bersama suaminya. Sejak kepindahan Kak Maya, perhatian kedua orang tua tercurah sepenuhnya padaku. Dalam pandangan mereka, aku diibaratkan layaknya putri kecil meskipun usiaku telah melewati dua puluh dua tahun ini. Bukan karena kepribadian yang manis tetapi akibat seringnya membuat ulah. Dibanding Kak Maya, sifat dan sikapku lebih sulit diatur. Keluar masuk ruangan BP saat SMA karena ketahuan bolos atau melanggar aturan seragam seringkali membuat Ibu mengurut dada. Ia sangat malu setiap mendapat surat panggilan dari sekolah. Meski begitu kenakalanku tak pernah mengubah rasa sayang mereka.

Mata mengerjap berulang kali. Selimut kusibak lalu bangkit setelah mengumpulkan kesadaran,. Selama beberapa menit tubuhku mematung di depan cermin. Bayangan sosok perempuan berambut kecokelatan memantul. Rambut panjang nan lurus tampak berantakan. Kulit putihnya terlihat pucat seperti orang sakit. Kedua bola mata bulat dipayungi alis tebal. Bibir mungil tipis menutupi kekurangan hidungnya yang kurang lancip.

Kaus polos biru yang mulai pudar dan celana piama bercorak bunga berukuran besar dengan warna merah cabai melekat di tubuh. Pakaian favorit untuk tidur itu selalu jadi pilihan pertama setiap kali membuka lemari. Aku sudah terlalu nyaman meski kaus itu tampak kumal dengan lubang seukuran uang koin mengintip pada bagian ketiak. Ibu bahkan sengaja membelikan beberapa kaus untuk mengganti kaus itu karena ingin sekali menjadikannya lap.

Kedua tangan menepuk pipi pelan sebelum beranjak menuju kamar mandi. Sisa air liur menempel di punggung tangan. Baunya membuatku mual. Nyanyian cacing di perut setengah memaksa diri mempercepat gerakan mencuci muka dan gosok gigi.

Mandinya nanti saja deh setelah sarapan, pikirku sebelum meninggalkan kamar.

"Pagi, Ayah. Laki-laki paling ganteng di keluarga ini." Sapaan cemprengku memecah keheningan. Aroma kopi segera menggelitik indera penciuman.

"Pagi, Mentari yang selalu bangun siang." Ayah tersenyum, sesaat perhatiannya teralihkan dari surat kabar ketika mendapat ciuman singkat putrinya di pipi. Aku nyengir mendengar ledekan Ayah.

Kuutari meja makan lalu menyeret kursi di hadapan Ayah. "Ibu mana, Yah? Tumben suasana damai begini." Sosok perempuan yang melahirkanku tak terlihat di sekitar ruangan.

Ayah menghela napas panjang. Ia meneruskan membaca surat kabar. "Biasa, lagi belanja sayur ke warung. Kamu seperti tidak tahu kebiasaan ibumu saja. Belanja telur lima menit, bergosipnya hampir setengah jam."

"Maklum saja, Yah. Namanya juga ibu-ibu. Gossip anytime and everywhere," sahutku sambil meraih piring berisi nasi goreng. "Memangnya Ayah tidak bilang sama Ibu kalau belanja jangan terlalu lama?"

One Year Where stories live. Discover now