part#4- Tetangga aneh

24.7K 3.3K 223
                                        

Aku bernapas lega setelah memastikan mobil yang Prawira kendarai meninggalkan rumah ini. Pembicaraan kami tidak bisa dikategorikan perkenalan biasa antar tetangga. Awalnya aku berusaha ingin meninggalkan kesan baik. tersenyum, berkata santun atau semacamnya seburuk apapun reaksinya. Sedikit bersandiwara, memainkan peran sebagai tetangga yang baik. Seharusnya begitu tetapi pesona laki-laki itu berhasil membuatku melepas cangkang pelindung. Wanita manis sama sekali bukan diriku. Masa bodoh dia akan menganggapku seperti apa, setidaknya aku jadi diri sendiri.

Pertemuan kami bisa dihindari. Prawira hanya datang pada waktu tertentu. Kalaupun datang tidak pernah lebih dari dua malam. Aku bisa tenang menjalani esok hari dan beradaptasi dengan situasi yang baru.

Semenjak itu keadaan berangsur kembali normal. Aku sempat berkeliling diantar Ningsih menggunakan sepeda miliknya. Dia diminta Nini Idah menemaniku. Tawaran itu diiakannya dengan cepat tanpa berpikir panjang. Dia cukup antusias mendengarkan kisah tentang hidup di kota besar.

"Kamu sudah tahu gosip penghuni rumah sebelah?" Ningsih memarkirkan sepeda di halaman setibanya kami di rumah setelah seharian berkeliling.

"Soal anak-anak yang tidak suka sama dia?"

"Itu bukan hal baru. Aku dengar katanya dia berniat menjadikan salah satu wanita di desa ini sebagai istri. Dulu ketika ibunya masih sehat, dia pernah membawa pacarnya. Orangnya cantik dan sangat modern. Entah kenapa ibunya kurang suka lalu menjodohkannya dengan wanita dari desa ini. Permintaan itu ditolak hingga ibunya sakit lalu meninggal. Terakhir kudengar pacar laki-laki itu meninggalkannya setelah menemukan lelaki yang lebih kaya. Menurut berita yang beredar, wanita itu sangat matre dan sering kali menganggap tempat ini terpencil."

Senyumku masam. Perkataan Ningsih menohok keegoisanku. Pemikiran seperti itu pernah melekat dalam kepala. Bagiku berada di tempat ini seperti mengambil kembali ke zaman dulu. Desa yang kutinggali lumayan jauh dari kota terdekat. Jalannya berkelok-kelok dan tidak semua kondisinya bagus. Di sisi kanan dan kiri masih berupa hutan hingga saat malam suasananya sangat hening. Jaringan provider yang kupakai signalnya hilang dan timbul semaunya. Aku kurang yakin Ibu bisa bertahan di sini sampai tua nanti.

"Eh mangga di sebelah kayaknya enak dibuat rujak tuh."

Ningsih bergidik ngeri seakan mendengarkan mantra terlarang. "Sebaiknya jangan. Kita pasti dimarahi kalau ketahuan."

"Itu kalau mencuri. Aku akan melakukannya dengan benar. Penjaga rumah itu masih kerabat. Lagian Prawira biasanya datang menjelang weekend. Merelakan satu atau dua mangga tidak akan membuatnya jatuh miskin."

"Kamu serius mau mengambilnya? Aku dengar pernah ada yang anak yang berani mencuri mangga di salah satu pohon rumah itu. Dia tidak ketahuan tetapi setelahnya perutnya tiba-tiba sakit dan menceret sampai harus dibawa ke puskemas."

"Menurutmu Prawira mengutuk semua harta miliknya? Anak itu mungkin memilih mangga yang terlalu muda atau bisa saja dia sakit perut karena kurang bersih saat memakan mangga itu. Prawira mungkin bukan jenis tetangga idaman tapi aku kurang yakin dia mau repot menjampi-jampi semua pohon agar tidak ada yang mencuri."

"Jadi kamu tetap berniat mengambilnya?" ulang Ningsing dengan nada ragu.

"Kamu takut sakit perut atau diomeli sama Prawira?"

Ningsih tampak menelan ludah. Kekhawatiran membayangi wajahnya. "Keduanya. Aku belum pernah bertemu langsung tapi kabar yang beredar membuatku berpikir ulang untuk membuat masalah dengannya."

Aku menyentuh pundah Ningsih. "Kita bukan akan melakukan kejahatan besar. Kalau tidak diperbolehkan ya tinggal pulang. Kamu tidak perlu takut. Dia bukan hantu atau dukun. Tampangnya memang culas tapi dia tetap makan nasi sama seperti kita."

One Year Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang