Part 3

23.3K 3.1K 141
                                    

Kepulangan orang tuaku besok pagi memaksaku menepikan berbagai rasa tak nyaman. Senyum, tawa dan raut senang, ketiganya terpasang agar mereka tenang. Sepanjang sisa malam kami mengobrol di ruang makan. Topik tentang Prawira mau tak mau harus kudengar. Aku sempat menanyakan kebenaran kabar kalau laki-laki itu kurang suka anak-anak.

"Anak-anak di sekitar sini terlalu melebih-lebihkan berita. Kejadian sebenarnya bukan begitu, anak yang masuk ke pekarangan itu bukan hanya berniat mengambil bola tapi juga mencuri mangga. Kebetulan Den Prawira ada di tempat. Anak itu diperingati dengan baik mungkin karena takut dimarahi orang tuanya, dia mengarang cerita seolah mendapat perlakuan kurang enak." Pejelasan Nini Idah membawa perhatianku pada Dewi.

Dewi tersenyum kecut. "Maaf ,Teh. Dewi juga baru tahu tadi."

Nini Idah menghela napas. "Kamu juga kalau main bola jangan terlalu dekat sama pagar rumah tetangga. Sudah berapa kali bolanya jatuh ke pekarangan orang."

"Iya, Ni."

Berpura-pura mengantuk, aku pamit menuju loteng. Dewi mengikuti dari belakang. Dia mungkin bosan diomeli karena masalah Prawira. Aku tidak tega melihat kecemasan di matanya. Boneka bayi dipeluknya erat saat memasuki kamarku. Tanpa aba-aba, dia memilih duduk di lantai dekat tempat tidur. Pandangannya berkeliling, mengamati ruangan yang kini lebih terang. Kekhawatiran berganti antusias begitu kusodorkan laptop. Wifi portable lumayan berguna walau signal datang dan pergi sesukanya seperti mantan.

Kami tertidur menjelang tengah malam. Rasa kantuk harus tertahan demi menemani gadis cilik. Dewi belum terbiasa menggunakan laptop. Komputer pribadi berukuran kecil dan bisa dibawa-bawa itu kini bagaikan mainan favorit terbarunya. Dia bahkan sudah lupa dengan boneka yang di bawanya.

Keesokan pagi, tepat pukul sembilan, orang tuaku pamit. Dibanding hari sebelumnya, mereka banyak memberi nasihat. Ibu mendadak mellow padahal kedatanganku ke rumah Nenek atas desakannya. Ayah cukup tenang. Dia memberi buku kecil berisi nama dan nomor telepon beberapa sodara jika terjadi hal buruk.

"Jangan sering bertengkar ya. Wasitnya cuti dulu," kelakarku ketika menemani keduanya ke mobil.

"Kamu itu hobi sekali sih mencandai orang tua," gerutu Ibu saat membuka pintu depan mobil.

Aku menegarkan diri, mengusir rasa panas di bola mata. Keduanya akan jarang kutemui. Ini perpisahan terlama kami selama sejak aku lahir. Aku selalu memimpikan hidup mandiri tetapi kenyataannya berpisah dengan orang terdekat lebih sulit dari dugaan.

Kedua tanganku terangkat layaknya orang berdoa. "Semoga tahun depan aku dapat adik lagi. Amin."Ayah tersedak sementara Ibu melotot.

Mobil akhirnya perlahan pergi meninggalkan pekarangan. Sekuat tenaga aku menahan kesedihan. Keluarga kami memang sering berdebat. Omelan, gerutuan, nasihat bahkan sampai dimarahi sudah jadi makanan sehari-hari. Mataku memanas namun air mata tidak jua turun. Aku sudah lupa kapan terakhir kali menangis selain mengeluarkan air mata palsu dengan bantuan obat tetes mata. Salah satu cara paling jitu agar orang tuaku iba saat putri bungsunya membuat masalah.

Nini Idah berusaha menghiburku dan mengajak menemui sodaranya yang bekerja menjaga rumah Prawira. Awalnya aku menolak mengingat kesan pertama pada pria itu sangat buruk. Kebetulan ada film yang ingin kutonton. Lagi pula malas saja harus bertemu dengan Prawira. Setelah Nini menjelaskan bahwa pria itu sudah pulang jam enam pagi tadi, aku baru bersedia mengikuti permintaanya.

Prawira biasanya berkunjung sekitar dua sampai tiga hari menjelang weekend. Dia kembali ke Bandung setiap Minggu pagi.

Dewi memilih pergi ke rumah salah satu temannya. Dia menolak ikut meski dibujuk dengan makanan. Nama Prawira sepertinya sudah terlanjut jelek di mata anak-anak.

One Year Where stories live. Discover now