Part 15 - Pulang

29.7K 3.4K 231
                                    

Bi Etty membawakan segelas teh manis hangat. Sepiring nasi goreng telah tersedia di meja. Aromanya mengundang selera, menggoda perut yang keroncongan. Tapi entah kenapa aku tidak merasa lapar, sungguh, padahal jam makan pagi sudah lewat. Sakit maag yang biasa muncul setiap kali telat mengisi perut pun tidak terasa. Aneh.

Yang kuinginkan hanya duduk tanpa memikirkan sesuatu yang buruk. Malas bergerak meski hanya untuk mengaduk sendok di gelas. Perasaan mendadak kebas, antusias memudar seakan cahaya telah hilang. Setelah mencuri dengar pembicaraan Prawira dan perempuan yang dipanggilnya tante, perasaan sulit ditenangkan. Deraan ketidaknyamanan memaksaku menyingkir dari persembunyian sebelum pertemuan kedua orang itu usai.

Sungguh tindakan pengecut. Kamu kehilangan kesempatan emas, Mentari, umpatku dalam hati.

Situasi tiba-tiba terasa menyebalkan. Persoalan yang kuhadapi tidak hanya satu. Pilihan pekerjaan, masalah dengan orang tua, kekhawatiran menipisnya saldo tabungan, godaan untuk melarikan diri dan mencicipi gemerlap kota besar, menghadapi rutinias yang mulai menjenuhkan dan banyak lainnya. Semua berjejal, menghimpit hingga sulit bernapas. Meski bukan kategori masalah besar, kadang memikirkan satu hal saja memusingkan.

Cara praktis yang biasa kulakukan saat menghadapi jalan buntu yaitu bersikap masa bodoh tidak berhasil. Pemikiran yang mengira satu-satunya masalah selama tinggal di tempat ini adalah rasa bosan ternyata jauh dari perkiraan.

Seharusnya aku mendengar jawaban Prawira. Siapa yang lebih lelaki itu cintai. Dan berkat kebodohanku, sekarang yang bisa kulakukan hanya menduga-duga walau kemungkinan terbesar bukanlah namaku yang disebut. Sekalipun Prawira memilihku belum tentu pernyataan itu keluar dari hati terdalam.

Tangan menumpu di meja, siku tertekuk sementara memberikan keleluasaan jemari memijit kening. Keadaan benar-benar membingungkan. Aku merasa bukan diriku yang biasa. Untuk apa terjerumus dalam kubangan masalah bila mampu keluar sebelum keadaan semakin rumit? Bukankah keraguan tetap bercokol sebaik apapun reaksi Prawira? Kenapa aku tidak juga memutuskan jalinan percintaan ini?

"Lambat sekali makanmu."

Jantungku hampir berhenti berdetak. Teguran dari belakang sepertinya ditujukan padaku. "Aku sengaja menunggumu. Siapa tamu tadi?" kataku setelah mengumpulkan segenap keberanian.

"Tanteku, adik Ayah. Ia sudah pergi. Keluarga ayahku punya rumah di daerah Banjar. Untuk apa menungguku? Kamu masih takut gara-gara kejadian semalam?" Prawira berdiri di ujung ruang makan tetapi ia tidak terlihat akan bergabung kembali denganku.

Kupandangi lelaki itu. Kedua alis tebalnya hampir bersatu. Bola mata gelapnya menyiratkan ejekan. Seharusnya aku menyingkir, memakinya atau mengacungkan jari tengah sebagai lambang perlawanan. Tapi hari ini caraku sedikit berbeda. Emosi terlarang untuk terucap.

"Apa yang salah minta ditemani pacar sendiri. Lagi pula kita jarang bertemu. Rasanya wajar kalau aku ingin mengobrol meski cuma beberapa menit kecuali kamu menganggap sebaliknya."

Prawira berjalan, mendekat lalu menarik kursi paling ujung. Mataku memperhatikan cangkir kopinya masih tersisa banyak. Lelaki itu seakan menghindari berhadapan denganku.

"Kamu menganggapku musuh? Kopimu belum habis." Isyarat terselubung dibalik pertanyaanku berbuah lirikan tajam. Ia menangkap artinya namun bergeming di tempatnya.

"Sepertinya selera makan hilang." Kuseret kursi lalu bangkit. "Terima kasih tumpangannya. Aku pulang dulu. Besok atau lusa kausmu kukelambalikan."

"Baiklah." Prawira menarik kursinya dengan kasar. Dengan setengah hati ia kembali duduk di kursi sebelumnya. "Nah. Sekarang selesaikan makanmu."

Aku kembali duduk, memasang senyum semanis permen yang baru saja selesai dibuat. Prawira meraih surat kabar jadi ia jelas tidak memperhatikan.

One Year Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt