==Author==
Setelah Marsyah mengklakson mobilnya dua kali, tidak tampak tanda tanda Indah keluar dari rumahnya, Marsyah pun turun dan memasuki gerbang rumah Indah. Tetapi rumah itu tampak sepi. Marsyah berjalan masuk kedalam rumah Indah, ia memang tidak pernah mengetok atau memencet bel rumah itu karena Marsah sudah akrab dengan rumah itu sejak ia kecil. Saat Marsyah berjalan ke arah ruang makan, terlihat aktifitas pagi seperti biasa di rumah itu.
"Ma. Indah mana?" Tanya Marsyah ke mamanya Indah, mama Indah menoleh ke arah suara yang tidak lain adalah Marsyah. Sedari kecil Marsyah memang terbiasa memanggil Mama ke ibunya Indah.
"Lho Syah.. Indah udah pergi dari jam 7 tadi.. kok kamu.." ibunya Indah tampak berpikir sebentar "Eh kalian nggak bareng perginya?" lanjut ibu Indah, terlihat raut heran di wajah wanita itu.
"Emm.. enggak Mam" Marsyah menjawab dengan gelengan pelan
"Bukannya aku biasanya jemput dia jam segini?" tanya Marsyah yang ikut heran
"Oh gitu.. tumben nggak bareng kamu tu anak, Syah"
"Iya mam, Asyah juga bingung. Ya udah Asyah berangkat sekarang aja deh ya" Asyah mendekat ke arah dan menyalam tangan ibu Indah untuk pamit pergi
"Ah.. ayo mama antar kedepan" ibunya Indah berjalan di belakang Marsyah, sesampainya Marsyah di dekat mobilnya
"Kamu berantem ya sama Indah?" tanya ibu Indah sebelum Marsyah masuk kemobilnya
"Ha? eh enggak Ma., emang kenapa?" tanya Marsyah hati-hati
Ibunya Indah tersenyum pelan dan menggelengkan kepalanya "Sudah mama perhatikan satu bulan ini Indah banyak diamnya, dia sering melamun, gak bawel seperti biasanya, mama kira ada masalah sama kamu"
"Enggak Mah, nggak berantem kok, mungkin Indah lagi pusing belajar ngadepin UAN kali Ma, aku jamin Indah nggak ada masalah kok di sekolah apa lagi sama aku" Marsyah mencoba menenangkan ibu Indah yang tampak sedih.
"Em.. yasudah, tolong jaga Indah ya nak" kata ibunya Indah ke Marsyah dengan lembut. Marsyah menggangguk, ada rasa sedih menjalar di hati Marsyah. Benar saja, Indah satu bulan ini memang berbeda. Dia bukan Indah yang manja dan expresif lagi.
----------------------------
Sesampainya di sekolah Marsyah berjalan cepat ke kelasnya, ia heran Indah sudah berangkat lebih awal, tumben-tumbennya Indah tidak menunggunya ke sekolah, padahal sudah 9 tahun sejak mereka duduk di sekolah dasar mereka selalu berangkat bersama, ataupun jika tidak, Indah pasti akan menghubunginya jika ayahnya mengantarkannya ke sekolah.
Sesampainya di kelas, Marsyah melihat Indah yang menelungkupkan kepalanya di meja. Seperti tidur. Marsyah mendekat dan duduk di samping Indah
"Indah.." Marsyah berbisik pelan, mencoba menggoyangkan tubuh Indah "hey.. Ndah" Marsyah mengacak rambut Indah
"Aah.. Apaan si" Indah menaikan kepalanya menoleh ke Marsyah di sampingnya
"Kamu kenapa nggak nungguin aku?!" tanya Marsyah langsung. Terdengar sedikit suara bentakan
"Ha?" Indah memicingkan matanya menatap Marsyah sebentar, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan
"Nggak apa-apa, lagi pengen aja" jawab Indah cuek. Mendengar itu Marsyah cemberut
"Kamu kenapa si!" Marsyah mencoba menarik lengan Indah, agar tubuh Indah berbalik menghadap arahnya, tetapi Indah melepaskan cengkraman tangan Marsyah dengan kasar.
"Emang gue kenapa? gue nggak kenapa kenapa" jawab Indah dingin tanpa melihat raut sedih di wajah Marsyah
"Kalau nggak papa, kanapa kamu dingin gini ke aku?" tanya Marsyah pelan, ia tidak ingin suaranya terdengar bergetar, karena ia sudah tidak tahan menahan air matanya yang mau jatuh, ia tidak peduli dengan semua pandagan teman-teman di kelasnya yang ter-arah ke dirinya dan Indah.
Ia tidak peduli lagi menjadi tontonan sekelas, sikap Indah sudah benar benar melukai hatinya. Ia tidak tau salah apa ke Indah sampai-sampai gadis itu menjahuinya, setidaknya Indah bilang salahnya apa, dengan begitu dia tau harus berbuat apa untuk memperbaiki semuanya.
Indah hanya diam, ia sedikit terkejut mendengar suara Marsyah sedikit bergetar, "apa dia menahan nangis?" tanya Indah dalam hati. Saat Marsyah ingin mengatakan sesuatu lagi omongannya terhenti dengan kedatangan guru mereka, memang sudah waktunya belajar
==Indah pov==
Semua pandangan teman-temanku bukan lagi terarah kepada kami, tetapi kembali ke guru untuk belajar. Selama jam pelajaran sesekali aku melirik Marsyah yang terlihat sedih. Pandanganya seperti tidak fokus ke guru yang di depan. Melihat raut sedih di mukanya akupun merasa bersalah, sudah satu bulan sikapku dingin ke Marsyah, tidak menegurnya di sekolah, berangkat duluan ke sekolah, jalan bareng dengan gank cheersku, dan saat tiba tiba Marsyah datang kerumahku dan aku tidak sempat untuk melarikan diri pergi keluar rumah, aku pun mendiamkan Marsyah, menganggap dia tidak ada dirumahku.
Memang aku sedang marah, satu bulan yang lalu aku melihat dia berciuman dengan Daniel di depan gerbang rumahnya, tidak bisa dibilang ciuman sih, karena Daniel hanya menempelkan bibirnya secepat kilat di bibir Marsyah, saat Daniel melakukan itu Marsyah sedikit terkejut dan langsung tertawa dan memukuli Daniel berkali kali, mereka tertawah bahagia.
Aku bukan marah karena itu, bukan karena Marsyah tertawa senang. Sudah dua tahun Daniel mendekati Marsyah, sudah dua tahun semenjak Daniel mengacaukan latihan chers-ku di gedung aula sekolah. Mungkin sudah selayaknya Marsyah luluh dengan sikap manis Daniel kepadanya.
Aku juga tidak mengerti apa yang membuat hatiku sedih, marah, hatiku serasa diremuk. Satu bulan ini aku bersikap dingin ke Marsyah bukan karenan membencinya, atau marah atas insiden ciuman itu ah entahlah aku sudah menegaskan kepada diriku sendiri bahwa aku tidak cemburu!! Ini beneran tidak cemburu, aku tau cemburu itu apa, waktu aku pacaran sama Robie, aku cemburu dia mendekati kakak senior kami, saat itu aku beneran cemburu nah prasaanku ini aku yakin bukan cemburu.
Alasan aku marah ke Marsyah adalah... adalah... ah sudah aku bilang aku tidak marah kepadanya titik. Aku marah ke diriku sendiri. Aku marah ke jantungku yang tidak berdetak dengan normal jika melihat senyumnya, aku sangat marah kediriku sendiri karena meski sudah dua tahun aku meredam perasaanku yang aneh ini.
Ini sudah titik puncak rasa frustasiku, dengan berat hati harus aku akui. Aku mencintainya.
Perasaanku ini bukan rasa suka melihatnya, suka bersamanya, bukan sayang terhadap seseorang tetapi jauh dari rasa sayang ke sahabat, aku mencintainya, aku sangat mencintainya.
Sudah jutaan cara aku lakukan untuk meredam perasaanku ini, tetapi tidak pernah berhasil, sudah berpacaran dengan ke lima orang laki laki tetapi tidak juga berhasil. Aku membenci perasaan ini, ini yang membuatku frustasi, ini yang membuat aku marah kepada diriku sendiri bukan marah kepada Marsyah.
Insiden tadi aku tidak sengaja bersikap kasar, aku tidak mau menyakiti hatinya, aku hanya tidak ingin berbicara denganya, tetapi melihat kesedihan di wajahnya kenapa hatiku terasa ter-iris begini?