Daddy.

31.8K 1.9K 353
                                    

Maaf keisengan chapter tadi hahahahaha, sesuai dengan chapter sebelumnya itu. Cerita ini aku update untuk kado ultah @nasibungkuskaretdua. Dan hanya satu chapter, ngak jadi update langsung tamat. Tapi bakal aku update secara marathon dengan jarak waktu dekat dekatan. Nanti malam aku update lagi.

Trimakasih sudah nunggu cerita ini sampai 5 bulan. Cerita ini ngak di HOLD lagi. tapi setelah kata Tamat, ceritanya akan aku tarik dari dunia Wattpad.

-----------------------------------

Tiga bulan berlalu. Marsyah mengikuti serangkaian tes yang di berikan oleh Patricia Ding untuk penyembuhan fisik maupun rohani. Selama dua bulan penuh di tangani Patricia langsung. Bulan berikutnya Marsyah tinggal di asrama tempat para biarawati dididik. Menjalani kehidupan yang sangat membosankan baginya.

Namun lambat laun ia menemukan kedamaian di ketenangan asrama biarawati. Setiap hari tepat pukul 6 pagi ia mengikuti para biarawati berdoa di saat teduh. Pukul 6 sore, 3 siang dan serangkaian doa yang mampu menyentuh batin hinga menangis, memaki dan terhenyuh sendiri. Membuka pikiran akan kasih, semua karunia begitu luar biasa, dan menyadari sungguh baiknya Tuhan merakit hidupnya yang di penuhi cinta.

Hari ini adalah jadwal kepulangan Marsyah dari asrama para biarawati. Ia keluar dari pintu asrama di dampingi suster kepala biarawati. Langit terik mendadak mendung, awan hitam terseret angin, menandakan sebentar lagi tampaknya gerimis akan rubuh.

Di hadapannya ada seorang pria memakai kemeja hitam berdiri dengan rupa yang amat ia kenal. Angin menerpa wajah pria tua itu, ada keriput yang mengabarkan usia pada paras yang mampu melepas sendu. Pria itu tersenyum tipis ke arahnya. Senyum teduh menggoda akal, sipit simpul malu tersipu di kedua pipi, alis hitam tebal di atas dua bola mata itu sejenak mampu membuat ia tak berdaya. Ia merasakan sesuatu yang lebih lembut dari angin, tengah bertiup di dadanya. Sesuatu yang ia tahu, berasal dari senyum pria tua itu.

'Daddy'

Lirih suara hati memanggil.

~~~~~~~~~~~~~~~

Di taman kediaman Olsen Manuel yang di tumbuhi rerumputan hijau, dua orang itu duduk di sebuah kursi panjang yang dijatuhi daun -yang digugurkan pohon. Suasana sangat sunyi, pandangan tertuju pada hamparan laut luas jauh di bawah taman seperti bukit tempat mereka duduk.

Entah mengapa Ayah dan putrinya itu juga saling hening, sementara angin tak pernah benar-benar hening. Angin dan daun berdialog gaduh tentang semesta yang tak meninggalkan hangat, ia hanya meninggalkan isyarat pada gumpalan awan hitam penghias mendung di pagi pilu hari ini.

Marsyah duduk tegap bersandar pada punggung bangku, ia menyimpulkan kakinya anggun. Memejamkan mata dan mendongak pada awan, menghirup aroma pagi, menghikmati nyanyian sunyi, merasakan hembusan angin yang mengecup daun-daun, lalu menggugurkan daun dari dahan yang telah lama merawatnya.

Olsen Manuel terdiam lama, dengan mata mencuri mata ia memperhatikan gerak gerik tubuh putrinya. Sungguh tenang, dan begitu mengabaikan kehadirannya. Marsyah membuka mata, menoleh pada pria itu dengan perlahan. Pria itu memberi senyum tipis, namun sayang, putrinya tidak memberi respon berarti, begitu datar.

Olsen Manuel mengalihkan tatapannya kembali ke laut luas, tersenyum miris, mengusap tengkuk resah. Ia tidak pernah menyangka ternyata ada seseorang yang mampu membuatnya bak terjerat dalam beku, saat ini di hadapan putrinya ia gagu, berkata pun tak mampu. Segala kata menyelam, keberanian bersembunyi terlalu dalam.

Rasa besalah begitu menyelimuti lara. Belakangan ini ia selalu di hantui rasa bersalah atas perlakuannya di masa lalu. Masa lalu yang kepulangannya tidak pernah bersegera menemui putri kecilnya.

Datangnya terlalu telambat, membiarkan putrinya menanti dekap di alam mimpi. Membiarkan putrinya yang masih kecil hanya berkawan dengan kesepian.

Rasa bersalah itu akan terus hadir, menghantui penyesalan yang takkan pernah berakhir sampai maut mampu menyapa. Rasanya, jumlah tetes air mata putrinya yang jatuh setiap detik kenangan yang terlewat tak bisa mewakili hati yang sakit yang ia rasakan saat ini, dan tak bisa dibayar dengan kata maaf. Bahkan beribu maaf. Malu rasanya untuk mengucapkan sebuah kata maaf. Dan juga takut dendam itu masih tersusun rapi di hati dengan mengenggam belati.

It's a curious wanting thing. [ complete ]Where stories live. Discover now