Kay langsung menghambur ke dalam kamar tanpa mempedulikan Gara yang tengah mengerjakan tugas kuliah di ruang tamu. Laki-laki berjaket jeans itu dibuat heran dengan sikap adiknya. Mengetahui ada yang tidak beres, ia langsung mengetuk pintu kamar Kay.
"Kay? Kamu kenapa?"
"Gak pa-pa, Kak. Aku capek aja."
"Yakin gak pa-pa?"
"Iya."
"Ya udah, istirahat aja dulu. Abis itu siap-siap, Kakak mau traktir makan malam di luar."
"Eh, besok aja deh Kak. Kay capek banget, mau langsung tidur aja."
Gara semakin yakin ada sesuatu yang sedang Kay sembunyikan. "Kan tadi kamu yang minta?"
"Besok aja ya, Kak. Kay ngantuk."
Gara menghela napas panjang. Tidak pernah tercatat dalam sejarah ia berhasil menang saat berdebat dengan adiknya. "Oke, deh. Untung juara 1." ledek Gara tanpa sahutan dari Kay.
Kay duduk bersandar pada kaki dipan. Kedua tungkainya ia selonjorkan di lantai. Matanya terpaku pada ransel di dekat kakinya. Rapor bersampul hijau tebal itu mencuat dari dalam tas. Seharusnya hari ini menjadi hari bahagianya. Meraih peringkat teratas nyatanya tidak menjamin kesenangan.
"Dasar bego!" Kay menepuk jidatnya. "Cewek itu cuma untuk disakiti, Kay! Gak ada kapok-kapoknya lo ya?! Yang namanya cowok sama aja! Lo masih aja percaya sama manusia bermulut manis itu!" monolog Kay pada dirinya sendiri.
Kay bangkit. Ia berjalan menuju meja belajar lalu mendaratkan bokongnya di kursi. Dibukanya laci bagian tengah. Tangannya meraba-raba hingga sebuah botol kecil berisi obat berhasil ia dapatkan.
"Gue capek berharap sama seseorang. Semua cowok sama aja! Gak bisa diandelin! Bisanya cuma pergi!"
Setelah berhasil mendapatkan apa yang ia mau, Kay mengambil botol minum di ranselnya. "Kalau dia bisa pergi seenaknya aja, gue juga bisa!" ia menenguk dua pil obat tidur sekaligus.
Dalam hitungan detik, kantuk menyergap. Ia terlelap untuk waktu yang panjang.
•••
Wajah Arsen pucat pasi dan tampak begitu lemas ketika venflon mulai menusuk kulit tangannya. Dia tak berdaya. Tonjolan di lehernya ternyata berimbas pada kesehatan yang kian memburuk. Sambungan juntaian selang infuse berwarna mengalir dari kantung berisi darah yang mulai merangsek masuk ke pembuluh.
Dua puluh tetes darah permenit dalam 4 jam menjadi penyambung denyut nadinya. Sudah jutaan bahkan miliaran keping darah menjadi penyambung nyawanya. Seringkali tubuhnya meronta, menolak pemberian darah, ditandai dengan panas yang tak kunjung turun dan semacam infeksi lainnya.
Kesadarannya mulai pulih. Entah sudah berapa lama ia tertidur di ruangan bernuansa putih ini. Cahaya lampu super terang di atas langit-langit menjadi objek pertama yang menyambut kehadirannya. Ia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya sekitar.
Tak lama kemudian, seorang dokter berseragam serba putih datang untuk memeriksa kondisinya. Disusul oleh tiga orang yang berjalan terseok.
Arsen samar-samar melihat Mbok Isah, Papa, dan Mama masuk dengan wajah mendung. Mama langsung mendekap tubuhnya yang layu. Ia yakin mereka tengah berbicara. Arsen bisa melihat gerakan mulut Mama, Papa, dan Mbok Isah diiringi air mata yang menitik berat. Tapi kenapa ini? Pendengarannya tidak berfungsi. Ia tidak bisa mendengar.
Sekuat tenaga ia membuka mulutnya yang semula terkatup. Ia tidak bisa bersuara. Kemana perginya suara dan pendengarannya?
Papa masih berbicara dengan Dokter Farhat, sementara Mama terus menciumi kening Arsen.

YOU ARE READING
FREEZE HEART ✔[END]
Teen Fiction04/04/2019 #1 Freeze 12/11/2019 #1 Freeze 08/1/219 #3 Beku 04/01/2021 #1 Freeze 04/02/2021 #beku Apa jadinya jika cinta muncul di antara persahabatan dan masa lalu? Apakah Kay tetap bersikukuh menganggap bahwa hubungannya dengan Kenan hanyalah sebat...