Kalau bukan karena mempertimbangkan kondisi Arsen yang sedang sakit, Kay pasti akan berdebat panjang dengan laki-laki itu. Ia tidak akan mau meninggalkan Arsen sendirian di rumah sakit mengingat Mbok Isah yang sedang pulang ke rumah. Bagaimana jika nanti terjadi hal yang tidak diinginkan? Kemana Arsen akan meminta tolong.
"Entar kalo kenapa-napa, gimana?" wajah Kay memerah, kentara jelas menahan emosi.
Arsen mengerutkan dahi. "Gak usah peduliin gue!"
"Selagi elo ciptaan Allah, gue peduli!" gerutu Kay menahan amarah yang sudah di ubun-ubun.
"Ck! Gue gak pa-pa!"
"Gue gak yakin. Kalo elo butuh sesuatu gimana?" tanyanya pada laki-laki yang terbujur di atas dipan.
"Ada ini." Arsen menunjuk tombol di kepala dipan. "Udah sana pulang!"
"Gue bakal pulang kalo Mbok Isah udah balik!" Kay duduk di kursi dengan kedua tangan terlipat di dada.
"Elo!" Kalimat Arsen terjeda akibat nyeri yang mendadak menyerang kepalanya. Tangan dengan selang infus yang semula berada di atas perut kini beranjak menuju bagian kepala. Mengurut pangkal hidung guna meredakan nyeri. Namun sayangnya tidak berguna sama sekali.
Perlahan, jemari Arsen menekan tombol di kepala dipan. Tak lama kemudian, dokter beserta perawat datang.
"Mohon tunggu di luar, ya." kata seorang suster mempersilakan Kay untuk keluar.
Tanpa penolakan, Kay menyeret langkahnya mundur. Membiarkan Arsen diperiksa oleh dokter.
Kini, pikiran Kay melanglang buana ke kamar Cempaka 22. Beribu pertanyaan tentang kondisi Arsen hanya tinggal pertanyaan tanpa jawaban. Gara-gara gue nih, penyakit Arsen jadi kumat begitu! Rutuk Kay dalam hati sambil keluar dari lift.
Matanya memperhatikan ubin yang menjadi pijakannya. Tapi gue gak salah kok, kan niat gue baik. Buktinya belum gue tinggal aja penyakitnya udah kumat lagi.
Saking fokusnya bermain dengan logika, Kay tidak menyadari bahwa ia kini sudah berada di teras rumah sakit. Ia merasakan hantaman intens mengenai pucuk kepalanya. Tidak terlalu keras, namun membuat surainya basah.
Ia mendongak. Sial! Gue sampe gak sadar kalo hujan!
Kay berjalan mundur dan bergabung dengan kerumunan orang yang menunggu hujan reda di teras rumah sakit. Ia mengusap kepala dan pundaknya yang basah. Gue kenapa sih jadi gak fokus gini? Apa karena laper kali ya?
Kay melirik arloji silver di pergelangan kiri. Dua puluh menit beranjak dari pukul 5 sore. Pantas saja ia sangat lapar. Ditambah lagi hujan di sore hari seperti sekarang.
Ia menoleh ke belakang. Perasaannya campur aduk. Rasa bersalah dan kecemasan menjadi satu, Kay benar-benar kalut. "Gue susul lagi apa gimana ya?"
Kay melangkah. Satu. Dua. Pada langkah ketiga, ia kembali mundur dua langkah. "Ah, entar tu anak marah lagi! Ya udah deh, gue tunggu kabar dari Mbok Isah aja nanti."
"Kay."
Pelan tapi pasti, ia menoleh. Matanya memperhatikan seseorang yang kini berdiri di hadapannya. Jarak antara mereka hanya satu langkah. Dari jarak sedekat ini, Kay bisa melihat pantulan dirinya pada manik mata cokelat itu.
"Gimana kondisi Arsen?" laki-laki itu membuka obrolan. Ia melangkah dan berdiri di sebelah Kay. Kini posisi mereka sejajar, namun pandangan Kay masih terkunci sebelum laki-laki itu kembali bertanya. "Gimana?"
Kay menghirup napas panjang. Hawa dingin karena hujan menyentuh dinding parunya. "Alhamdulillah, tapi tadi sempat kumat lagi." ujar Kay penuh rasa bersalah.

YOU ARE READING
FREEZE HEART ✔[END]
Teen Fiction04/04/2019 #1 Freeze 12/11/2019 #1 Freeze 08/1/219 #3 Beku 04/01/2021 #1 Freeze 04/02/2021 #beku Apa jadinya jika cinta muncul di antara persahabatan dan masa lalu? Apakah Kay tetap bersikukuh menganggap bahwa hubungannya dengan Kenan hanyalah sebat...