"Dino ditolak," ujar Indra keesokan paginya di kelas.
"Ooh..." Adhitya menanggapi datar seolah tak peduli.
"Ah, suka sok muna' lu! Tuh cewe disamber orang baru tau rasa, deh."
Adhitya terdiam. Benar saja, saat pulang sekolah, di sekretariat OSIS berita Dino ditolak Ajeng sudah menyebar. Dino tampak ceria meski terlihat sorot matanya memendam kecewa. Dari kabar yang diterimanya, Ajeng sengaja tidak menolak Dino di depan umum karena tidak ingin membuat cowok itu merasa dipermalukan.
Adhitya sempat berpapasan dengan Ajeng di depan laboratorium fisika. Tapi mereka hanya saling melempar tersenyum dan berucap 'hai'.
***
"Put, anterin gw ke toko kaset ntar pulang sekolah, ya."
Putri menatap Ajeng dengan tatapan sayu. "Maaf, Jeng... Gw udah ada janji sama Indra."
Ajeng tersenyum mengerti meski sedikit kecewa. "Ya udah, nggak apa. Gw sendirian aja. Mau jalan kemana emang?"
"Cuma belajar bareng doang di perpus. Itu enaknya punya pacar senior sendiri. Hihi.."
"Yah, belajar apa belajar...??" Ajeng tertawa.
***
"Hey, Ndra! Mau kemana? Hari ini jadi tanding futsal sama anak IPS, kan?" tanya Adhitya sepulang sekolah.
"Sorry, udah ada janji sama cewek gw!" Indra berlari meninggalkan kelas.
Adhitya hendak menyusul Indra ketika ia nyaris menabrak Ajeng yang kebetulan lewat di depan kelasnya.
"Hai!" sapa Ajeng. Wajahnya tampak terkejut.
"Oh, hai." Adhitya tersenyum. Pandangannya lalu beralih ke Indra yang sudah di ujung lorong dan mengacungkan jempol serta mengedipkan sebelah matanya.
Adhitya mengacungkan tinju dan tertawa. Ajeng menoleh ke belakang, melihat Indra dan Putri sudah jalan berdua.
"Sahabatmu, merebut sahabatku," ujar Ajeng pelan.
"Sahabatmu juga merebut sahabatku," balas Adhitya.
Mereka tertawa.
"Mau kemana? Pulang?" tanya Adhitya.
"Mau ke toko kaset dulu."
"Kuantar saja, yuk."
Ajeng terkejut. "Nggak usah ngerepotin."
"Nggak kok. Sekalian aku juga mau beli kaset. Balasan juga buat Indra dan Putri. Memangnya hanya mereka yang bisa berduaan senang-senang." Adhitya tertawa santai. "Sebentar aku ambil tas dulu, ya."
Ajeng masih terdiam tak percaya. Gw bakal jalan bareng Adhit? Apa ini nge-date? Hatinya berbunga-bunga.
***
Di tengah perjalanan pulang, langit yang sedari tadi mendung akhirnya menurunkan hujan. Resiko tinggal di kota hujan, harus siap jika hujan mengguyur hampir tiap hari. Meski tidak terlalu deras, tapi Adhitya khawatir Ajeng akan sakit bila ia memaksakan mengantarnya pulang di tengah hujan seperti sekarang.
"Kay, kita berhenti di halte depan dulu, ya. Hujan, nih!"
"Iya!"
Motor Adhitya menepi. Di halte ternyata sudah banyak orang yang juga sedang berteduh. Setelah memarkirkan motor, Adhitya dan Ajeng bergabung dengan orang-orang itu.
"Kayaknya bakal lama nih hujannya," ujar Adhitya. Ia melihat Ajeng menatapnya dan mengangguk. Tampak baju seragam putih gadis sedikit basah dan tembus pandang. Adhitya langsung melepaskan jaketnya lalu memakaikan pada Ajeng.
"Aku nggak kedinginan, kok." Ajeng terkejut dengan sikap Adhitya.
"Nanti cowok-cowok di halte ini yang kepanasan," bisik Adhitya. Senyum jahilnya tersungging.
Ajeng tersipu menyadari bajunya memang basah. Ia merapatkan jaket Adhitya ke tubuhnya. Wangi khas lelaki bercampur parfum tercium menggelitik hidungnya. Wangi Adhitya.
Hampir satu jam mereka menunggu hujan reda. Sembari ngobrol dan berdiskusi tentang banyak hal. Ajeng banyak bertanya tentang OSIS dan kinerja pengurus sebelumnya. Adhitya menjelaskan diselingi cerita-cerita pengalaman lucu selama ia di OSIS. Ajeng bertanya tentang guru-guru di sekolah. Adhitya bercerita tentang tingkah aneh guru-guru seperti Bapak X yang hobi menggoda siswa putri dan masih melajang hingga sekarang usianya 40 tahun. Penyakit jomblo stadium akhir. Ibu Y yang selalu tampak killer tapi ternyata sangat takut pada cicak. Atau tentang penjual bakso di kantin yang punya obsesi ingin menjadi penyanyi rocker.
Sesekali mereka tertawa atau tersenyum. Ada rasa nyaman merayapi hati masing-masing, ada rasa tertarik.
Tak terasa, langit mulai cerah dan menyisakan hujan rintik-rintik. Mereka memutuskan untuk pulang.
"Makasih udah anterin aku pulang," ujar Ajeng setelah ia sampai di depan rumahnya.
"Sama-sama. Makasih untuk hari ini." Adhitya tersenyum. Senyum yang selalu membuat hati Ajeng melayang.
"Mau mampir dulu?" tanya Ajeng.
"Makasih. Lain kali aja, ya. Udah terlalu sore juga. Aku pulang, ya."
Ajeng mengangguk. "Hati-hati di jalan, ya. Jangan ngebut, jalanan masih licin karena hujan tadi."
"Tenang aja, aku nggak akan buat kamu sedih karena aku kecelakaan, kok."
"Huuu... ge-er!" cibir Ajeng.
Adhitya tertawa. "Ya udah, duluan, ya!" Adhitya memakai helm, menstarter motornya. Melambaikan tangan sebelum benar-benar pergi meninggalkan rumah Ajeng.
Ajeng balas melambaikan tangan. Senyumnya merekah. Bunga-bunga di hatinya tumbuh sumbur hari ini.
***

YOU ARE READING
Dansa Masa Lalu
RomanceMengapa harus ada kata "terlambat" untuk sebuah pertemuan yang masih menyisakan kisah cinta masa lalu?