Edenin berjalan beriringan dengan Verinda menuju pelataran parkir di butik milik mama Raditya. Keduanya membisu dengan masing-masing membawa sebuah kantong belanjaan di tangan mereka. Edenin masih tidak habis pikir dengan tingkah Verinda yang dengan mudah berubah. Ia jadi teringat bagaimana sikap Verinda yang dulu pernah dengan dingin meninggalkan dirinya di jalanan sepi.
Verinda menghentikan langkahnya karena menyadari Edenin tertinggal beberapa langkah darinya. Verinda segera menoleh dan mengerutkan alisnya.
“Kenapa?” tanya Verinda yang hanya didiamkan Edenin.
Sekian detik berlalu tidak ada jawaban dari Edenin. Verinda membuang nafas pelan. Ia sebenarnya bisa menduga apa yang ada di kepala kakak tirinya itu. Akhirnya Verinda menghampiri Edenin yang masih menatapnya.
“Sini belanjaan lo.”
Verinda masih berusaha mengalihkan pembicaraan yang mungkin akan segera digagas Edenin. Ia meraih kantong belanjaan yang dibawa Edenin.
“Lo bikin salah apa ke gue, Ver?” kata Edenin sambil menahan kantong belanjanya yang sudah setengah ditarik Verinda.
Verinda mendongak menatap Edenin. Gue heran deh sama dia! Gue nggak mau nurutin ngomel kayak mak lampir, giliran gue nurutin maunya—masih juga diprotes!! Verinda mendengus berusaha menahan dirinya lalu dengan paksa ia menarik setengah merampas kantong itu dari Edenin. Verinda lalu tersenyum sambil menyatukan kantong itu dengan miliknya pada salah satu tangannya.
“Nggak ada.” Sahutnya.
Verinda segera berbalik lalu satu tangannya yang lain menarik lengan Edenin agar segera berjalan mengikutinya. Mending makin cepet makin bagus! Jadi cepet kelar semua masalahnya! Gue juga nggak perlu repot lagi!
“Eh, apa-apaan sih elo, Ver?!” protes Edenin sambil berusaha melepaskan diri.
Tangan Verinda sayangnya sudah terlalu kuat mencengkeram lengannya. Akhirnya Edenin terpaksa mengikuti langkah adik tirinya yang cepat dan lebar itu.
“Buru-buru amat sih!”
Edenin masih terus protes ke Verinda ketika dari sudut matanya ia menyadari ada sosok yang berdiri tak jauh dari posisinya. Edenin segera menoleh dan merasakan nafasnya serasa berhenti. Hal yang paling dia takutkan benar terjadi.
Verinda menghentikan langkahnya ketika tahu Edenin sudah menyadari kehadiran Raditya. Ia lalu terdiam beberapa saat dengan tangannya yang masih mencengkeram lengan Edenin. Diliriknya Edenin yang berdiri kaku menatap Raditya dengan mata yang mulai merah. Dasar cengeng!! Verinda perlahan mengendurkan cengkeramannya.
Edenin berusaha melangkah mundur dan berbalik ketika melihat Raditya berjalan mendekat ke arahnya, tapi tangan Verinda segera menahannya. Edenin segera mendongak menatap kaget pada Verinda yang seolah sudah tahu akan ada Raditya di sana.
“Lo mau penjelasan, kan?”
Edenin makin terkesiap mendengar perkataan Verinda. Kedua matanya semakin terasa panas dan pandangannya mulai kabur. Perasaannya langsung campur aduk. Sikap Verinda yang justru begitu tenang begitu melihat Raditya itu terlalu membingungkannya.
“Gue tunggu di mobil.”
Verinda melepaskan genggamannya namun Edenin menahannya. Verinda menatap heran kakak tirinya sementara Edenin menggeleng.
“Listen to him.” Kata Verinda setelah beberapa saat berlalu.
Verinda tersenyum sekilas lalu berjalan menuju mobilnya setelah mengusap wajah Edenin yang mulai basah. Verinda mendengus ketika berpapasan dengan Raditya. Ia sempat melihat ke sekitar pelataran parkir yang tampak sangat sepi karena hanya ada mobil Verinda yang parkir di zona itu. Dasar belagu! Sok ngosongin lapangan parkir segala lagi! Mau nunjukin kalo elo berkuasa di sini?! Huh! Sekali kampret tetep aja kampret!

YOU ARE READING
Miss Troublemaker (terlalu sulit untuk dimengerti)
ChickLitSequel of Miss Troublemaker (nona si pembuat onar) Edenin stress mikirin nasib Verinda, adik yang selama ini dia musuhin tanpa alasan itu pergi nggak tau ke mana. Bertahun-tahun dihantui perasaan bersalah dan ketakutan soal nasib adiknya, bikin hid...