Edenin mendongak kaget ketika tiba-tiba ia merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya. Begitu sadar ia melihat Verinda sudah duduk sambil bersila dengan salah satu kaki dilipat di depan dada.
Verinda menebar pandangannya ke seisi ruangan kamar Edenin. Ia sengaja tidak langsung menatapnya, karena tidak ingin membuat Edenin tidak nyaman jika dilihat dengan kondisi seperti itu. Verinda bukannya tidak sadar jika Edenin terus menatapnya. Verinda berdehem sambil pura-pura menyamankan duduknya dengan menyandarkan punggungnya ke ranjang.
"Kok elo tiba-tiba baek ke gue?" tanya Edenin serak. "Elo kan nggak bikin salah apa-apa?" suara Edenin timbul tenggelam karena berusaha menahan tangisnya.
Verinda akhirnya menoleh ke Edenin. Karena elo selalu baek ke gue, kak. Gue tau elo nggak mungkin bisa lupa kejadian itu—dan, sejak kejadian itu... mungkin elo bakal selalu inget pengkhianatan dia tiap elo liat muka gue. Gue nggak suka liat elo yang kayak gini—gue harus gimana biar elo nggak sedih lagi? Verinda hanya sanggup mengucapkannya dalam hati. Entah kenapa ia tidak pernah sanggup melepaskan diri dari gengsinya.
Edenin menatap Verinda tepat di mata. Sorot mata Verinda yang tajam dan dingin kembali mengingatkannya pada orang yang telah membuatnya begitu sakit hati. Perlahan air mata mulai membanjir lagi. Tangis dan isakannya akhirnya benar-benar pecah tidak tertahan ketika Verinda merentangkan tangan dan memeluknya.
"Harus gimana biar bisa lupain semuanya, Ver?" Edenin mencengkeram lengan Verinda erat seolah dengan begitu sakit di hatinya berkurang. "Ver, maafin gue ya? Jujur dari tadi sebenernya gue nggak tau kenapa mendadak jadi kesel dan marah ke elo," Edenin mengigit bibir bawahnya menahan getar tangisannya. "gue tau nggak seharusnya gue ngerasa kayak gini, gue nggak mau tapi, gue,"
"Stupid jelousy, I know," potong Verinda tenang. "lo nggak perlu minta maaf." Lanjutnya sambil menghela nafas dan menyadarkan dagunya di atas kepala kakak tirinya yang masih terus menangis. "Gue ngerti."
Edenin mengangguk lega sambil terus menyembunyikan wajahnya di dekapan adik tirinya yang mendadak berubah menjadi sangat pengertian malam itu.
"Dia itu jahat banget sih, Ver... dia bahkan nggak pernah coba sekali pun buat ngehubungin aku lagi, jelasin ke aku," Edenin makin sesenggukan. "harusnya aku benci dia—tapi, tapi kenapa?" Edenin makin terbata dan tersendat-sendat.
Verinda kali ini memilih diam, ia hanya bisa mempererat pelukannya berusaha meyakinkan Edenin bahwa ia tidak sendirian. Lama Edenin tertunduk di bahu Verinda sebelum mendadak sebuah kenangan lamanya berputar dalam otaknya. Edenin tiba-tiba mendorong adik tirinya menjauh.
"Lo nggak lagi sakit, kan, Ver?" tanyanya serak.
Verinda yang masih kaget hanya bisa mengerutkan alisnya. Tidak mengerti.
"Terakhir lo meluk gue—dulu, waktu di sekolah itu kan, nggak taunya, elo jadiin gue tameng," Edenin tersendat-sendat saat bicara diantara tangisannya.
Verinda nyaris menyemburkan tawanya. Pada akhirnya ia hanya bisa tersenyum sambil menggeleng mengingat kejadian waktu mereka masih SMA. Edenin yang patah hati karena Azzam mantannya yang dulu ketahuan selingkuh, datang dan menangis padanya padahal saat itu Verinda sedang mati-matian menahan sakit di perutnya.
"Kok elo tiba-tiba bisa inget kejadian itu sih?!" tanya Verinda gemas tidak habis pikir. "Don't worry. I'm all ears," katanya lagi namun Edenin masih sangsi. "like, seriously." Lanjutnya lagi sambil mengangguk.
Verinda menatap lurus Edenin berusaha meyakinkannya melalui mata. Edenin masih tidak bereaksi tapi air matanya terus mengalir. Verinda berusaha tersenyum setulus hati karena tidak ingin sorot matanya yang selalu terkesan galak dan sinis itu membuat kakak tirinya jadi salah paham.
Edenin tertegun menatap Verinda yang dirasa sudah seabad tidak pernah tersenyum setulus itu padanya, tanpa ada alasan baik-karena-merasa-bersalah seperti kebiasaan Verinda selama ini. Edenin memperhatikan sorot mata Verinda yang mendadak terasa begitu menenangkan dan meneduhkan. Tangan Verinda kemudian mengusap pipinya yang basah dengan penuh empati.
"Elo tuh ya," Edenin mengusap wajahnya yang basah sambil menggeleng. "sekalinya baek, bikin gue makin baper tau nggak?!" Edenin kini menunduk dan menyadarkan kepalanya ke bahu Verinda lagi.
Verinda mengelus pelan kepala kakak tirinya dengan prihatin.
"Berarti, gue boleh curhat apa aja ke elo?"
"Boleh."
"Elo nggak bakalan marah dengerin semua rengekan manja gue ke elo?"
"Nggak bakal."
"Beneran?"
"Iya."
"Janji?"
Verinda mendengus menahan tawa karena Edenin yang sangat meragukan kualitas kesabaran yang dimilikinya.
"Promise!"
Verinda menghela nafas berat melihat Edenin yang masih sesenggukan. Semua gara-gara si playboy kampret itu!! Dasar buaya tukang ngelaba! Setan! Verinda makin tidak tega melihat Edenin begitu terpuruk dengan kesedihannya.
"Kenapa sih, Ver, tiap gue pacaran—gue selalu dikhianatin?"
Verinda diam saja mendengar pertanyaan kali ini Edenin yang memang tidak ada jawabannya. Verinda akhirnya menarik bahu kakak tirinya itu dan membiarkan Edenin merebahkan kepalanya di pangkuannya.
Sepanjang malam Verinda membiarkan kakak tirinya itu menumpahkan segala resah di hatinya. Verinda bertindak sesuai janjinya. Sejauh ini dia berhasil menjadi pendengar yang sangat baik untuk Edenin yang terus merengek seperti kaset rusak.
Edenin memejamkan matanya yang mulai terasa berat dan bengkak. Edenin mencoba menyamankan posisinya sambil menarik pergelangan tangan Verinda yang berada di atas bahunya. Edenin menggenggam erat sekali pergelangan tangan adik tirinya seolah dengan begitu beban di hatinya bisa berkurang dan ia merasa terlindungi.
Edenin terus menangis hingga tertidur karena kelelahan di pangkuan Verinda yang justru tidak bisa memejamkan matanya sama sekali.
Tangan Verinda yang bebas perlahan bergerak menyentuh kepala Edenin yang tertidur dengan posisi miring di pangkuannya. Verinda mulai merasakan kebas pada pangkal pahanya karena menahan beban kepala Edenin, sedang pergelangan tangannya yang lain juga mulai terasa kaku dan kesemutan karena digenggam Edenin.
Si kampret itu emang nggak tau diuntung!!! Dasar pengecut!! Banci!!! Bisa-bisanya dia ngilang—dan, selama ini tetep nggak kasih penjelasan apapun?! Orang kayak dia emang harus dihajar!!! Verinda menatap lurus wajah Edenin yang hanya bisa dilihat sebagian olehnya. Tangan Verinda masih bergerak pelan menyentuh rambut kakak tirinya.
Elo tenang aja, kak, nggak lama lagi... penjelasan yang elo mau dari dia bakal lo dapetin. Secepatnya. Tangan Verinda kemudian terkepal menahan gejolak amarahnya. Itu bajingan juga harus jelasin semua kelakuannya ke gue!! Dasar buaya!!!
____________________________________
😤😤😤
siap-siap si miss troublemaker mo ngamuk lagi keknya 😥😂🤣don't forget to vote and share yah semua 🤗 makasih 😇

YOU ARE READING
Miss Troublemaker (terlalu sulit untuk dimengerti)
ChickLitSequel of Miss Troublemaker (nona si pembuat onar) Edenin stress mikirin nasib Verinda, adik yang selama ini dia musuhin tanpa alasan itu pergi nggak tau ke mana. Bertahun-tahun dihantui perasaan bersalah dan ketakutan soal nasib adiknya, bikin hid...