16. Nyaris!

2.6K 223 10
                                        

"Oke, CUT!" teriak sutradara.

Edenin langsung membuang nafas lega. Keringat mengucur deras dari dahinya. Hari itu ia baru saja selesai syuting salah satu adegan untuk film terbarunya yang berlokasi di tepi Teluk Balikpapan. Siang itu memang panas luar biasa.

Matahari bersinar terang dan menyengat seolah siap membakar hidup-hidup siapa saja yang menantangnya. Meski demikian, pemandangan pantai yang terhampar indah bisa dijadikan sedikit penyegar mata yang telah lelah.

Raya sang manajer langsung menghampiri Edenin yang saat itu sedang berada di atas bangunan berbentuk tabung raksasa. Edenin menuruni anak tangga besi yang cukup terjal dan sempit itu dengan hati-hati. Sementara Raya telah menantinya di bawah lalu keduanya berjalan beriringan ke tenda yang telah disediakan oleh kru.

"Sumpah gue rasanya meleleh, Ya'. Panas banget di luar!" Edenin melepas helm pengaman yang dipakainya untuk properti syuting lalu mengipasi dirinya dengan jari.

"Iya gerah banget! Heran padahal kita lama di sini... udah hampir sebulan. Tapi, masih aja kita nggak tahan sama panasnya." Raya ikut-ikutan mengeluh sambil membawakan helm properti Edenin.

Keduanya bisa menghela nafas lega ketika memasuki tenda yang cukup teduh. Raya meletakkan helm properti itu di meja rias, sedangkan Edenin langsung terduduk lunglai di kursi meja rias. Raya pun segera menyalakan kipas angin dan menghadapkannya ke Edenin.

Seorang make up artist lalu menghampirinya dan membantunya membersihkan keringat yang ada di sekitar wajahnya.

"Gue kasih elo vitamin ya? Biar elo nggak lemes. Abis emang sumpah panas banget di sini pantainya." Kata Raya sambil merogoh isi tasnya mencari botol vitamin.

"Thanks, Ya'. Gue nggak tau deh... gue bisa apa kalo elo nggak ada." Kata Edenin tulus sambil mengambil sebutir vitamin yang disodorkan Raya.

"Iya, Chelia sayaaang." Sahut Raya sambil menyodorkan segelas air mineral.

"Dasar! Dipujinya tulus juga." Edenin lalu tertawa pelan.

Tak seberapa lama, make up artist itu telah selesai dengan pekerjaannya dan meninggalkan tenda Edenin.

"Elo kurang dua kali take buat scene hari ini, Chel. Abis itu kita bisa langsung balik ke hotel atau jalan-jalan—terserah elo deh mau yang mana?"

Edenin mengangguk sambil memandang keluar tendanya. Edenin melihat deburan ombak datang pergi melahap butiran pasir yang ada di tepinya. Birunya air laut dari kejauhan memang selalu mempesona mata siapa saja. Edenin lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling lokasi syutingnya.

Sebuah hamparan luas bangunan-bangunan berbentuk tabung menjulang kokoh yang entah terbuat dari besi baja atau mungkin sejenisnya. Bangunan berbentuk tabung raksasa itu saling terhubung dengan pipa-pipa besar yang beberapa diantaranya menyembulkan gumpalan asap. Edenin mengejapkan matanya karena mendadak sebuah tangan melambai-lambai di depan matanya.

"Yee... malah ngelamun!" kata Raya sambil  duduk di meja rias dan menghadap Edenin. "Jadi ntar mau ke mana, Chel?" Raya mengulangi pertanyaannya.

"Ehm, gue mau istirahat di hotel aja deh, Ya'. Gue capek banget.  Apalagi scene gue hari ini banyak banget." Jawab edenin sambil kembali mengipasi dirinya dengan jari.

Raya mengangguk setuju. Ia lalu beranjak mengambil skenario milik Edenin yang tergeletak di salah satu kursi dalam tenda tersebut.

"Besok kita syuting di sana, Chel," tunjuk Raya memandang lautan. "ke anjungan pengeboran minyak!" lanjutnya bersemangat.

Edenin mengangkat sebelah alisnya menatap heran pada Raya.

"Gue heran deh! Sejak awal gue masuk di film ini, elo semangat banget tiap kita bahas lokasi syutingnya bakal diambil di kilang minyak sama di anjungan pengeboran minyak. Kenapa sih?! Ngaku deh lo!"

Miss Troublemaker (terlalu sulit untuk dimengerti)Where stories live. Discover now