“Jutek amat sih lo sama Edenin!” protes Jeany begitu Verinda menutup kelambunya.
“Gue mau pulang sekarang, Jean.” Kata Verinda cuek dengan protes Jeany.
Jeany mendengus kesal. Memang sejak kejadian Edenin yang dibiarkan menunggu seharian di luar rumah Verinda hingga diguyur hujan, membuat Jeany jadi lebih berpihak pada Edenin. Ia bahkan tidak segan-segan langsung memprotes tingkah Verinda yang sering keterlaluan pada kakak tirinya itu.
“Dasar lo!”
“Sekarang, Jean.”
Verinda menatap lurus Jeany yang langsung ciut nyalinya karena sorot mata galak Verinda yang selalu berhasil membuat lawan bicaranya speechless. Jeany berdehem sambil menghindari kontak mata.
“Ehm, dokter emang bilang kalo lo boleh langsung pulang kok, Ver.” Katanya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Oiya, mumpung elo belum ngomel ke gue—gue jelasin dulu,” Jeany lalu memberanikan diri menatap Verinda karena tidak ingin dimarahi atas insiden yang terjadi barusan dengan Jessica. “semua kamar di rumah sakit ini penuh. Jadi, emang cuman tinggal kamar ini yang kosong. Gue mau pindahin lo ke rumah sakit biasa juga percuma—kan katanya, lo boleh pulang hari ini makanya lo sekamar sama,”
“Nggak masalah.” Potong Verinda.
Jeany membuang nafas lega. Ia lalu melihat Edenin muncul dan meletakkan sebuah bungkusan di ranjang tepat di depan majikannya itu.
Verinda melihat sekilas bungkusan itu sebelum berpaling ke Edenin.
“Itu baju elo.” Kata Edenin. “Tadi Jeany nelpon gue. Dia minta tolong ambilin baju elo soalnya tahu gue sekalian mau ke sini.” Jelasnya lagi.
Verinda mengerutkan alisnya. Ia lalu mendengus sambil melirik ke Jeany.
“G-gue urusin administrasi lo dulu ya, Ver.” Kata Jeany buru-buru pergi. Ia sudah terlalu hafal dengan gelagat majikannya yang hobi marah itu.
Verinda menatap kesal kepergian Jeany yang terkesan sengaja melarikan diri itu.
“Udah nggak usah marah-marah ke Jeany. Lo mau pulang nggak sih?!” Edenin membuka kantong bungkusan yang dibawanya. “Minggir!” lanjutnya ketus.
Verinda terpaksa bergeser ke samping karena Edenin mendesak ke arahnya.
“Gue tadi sempet bingung mau pilihin yang mana. Abisnya baju elo banyak banget—nyampe satu ruangan sendiri. Udah kayak artis banget ruang wardrobe lo.” Kata Edenin terus sibuk membongkar isi bungkusan itu. “Nih,” lanjutnya sambil membeberkan sebuah kaos v-neck hitam polos di depan hidung Verinda. “ini selera elo, kan?” Edenin tampak sangat puas dengan pilihannya.
Verinda segera mengambil kaos itu sebelum tulang punggungnya keseleo karena Edenin yang terlalu dekat menunjukkan kaos itu di depan wajahnya.
“Ini juga celananya.” Kata Edenin yang sudah membeberkan lagi sebuah celana jeans belel yang sobek di bagian lututnya. “Itu juga elo banget.” Tambahnya.
Verinda menghela nafas panjang sambil mengambil celana itu. Dalam hati ia membenarkan semua pilihan Edenin itu.
“Udah sana buruan ganti.” Kata Edenin membuyarkan lamunan Verinda.
Verinda memilih diam dan menurut saja. Ia segera berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.
“Nih sandal lo.” Kata Edenin begitu melihat Verinda keluar. “Udah cepetan dipake.” Edenin yang tidak sabar lalu menarik Verinda yang masih berdiri mematung.
Verinda segera memakai sandalnya dan merapikan pakaian yang tadi ia kenakan dari rumah sakit dan meletakannya di ranjang.
“Gue sengaja loh milihin baju elo yang ini. Soalnya, ini kan yang elo pake pas kita makan di warung yang di Balikpapan itu. Masih inget nggak?” Edenin antusias.

YOU ARE READING
Miss Troublemaker (terlalu sulit untuk dimengerti)
ChickLitSequel of Miss Troublemaker (nona si pembuat onar) Edenin stress mikirin nasib Verinda, adik yang selama ini dia musuhin tanpa alasan itu pergi nggak tau ke mana. Bertahun-tahun dihantui perasaan bersalah dan ketakutan soal nasib adiknya, bikin hid...