Dia Tania. Menarik piring mieku yang baru akan kumakan. Tiga puluh menit lagi film yang mereka tonton akan mulai, tapi dia malah mengejarku. Kok bukan Dulfi sih?
Dibelakangnya ada Wisnu yang menemani sambil chatting. Berdiri seperti body guard mengawal Tania. Ga disuruh duduk sama Tania, dasar.
"Mba ini ya, ngapain sih pake kabur gitu?" Cerocos Tania.
"Biar aku ga ganggu" kataku sambil menarik piring mieku kembali.
"Yang ada nenek sihir itu yang pengganggu" Tania kembali menari piring mieku. Yaelah, kapan makannya ini?
"Nenek sihir?" Aku mengangkat sebelah alisku. Ga salah dengerkan?
"Ajeng itu nenek sihir berkedok princess" katanya lagi kemudian menyendok mieku dan memakannya. Kalo laper ngomong toh nduk, ojo nyosor wae. Ck!
"Aku gagal paham, maksudnya gimana?"
"Dia itu.."
"Ori, Tania"
Aku dan Tania menoleh kearah suara. Dulfi dengan nafas terputus langsung duduk disebelahku dan meneguk habis es teh pesananku. Aku menatapnya bingung. Dua bersaudara ini ngapain sih? Yang satu masih menikmati mie gorengku, yang satu telah mengabiskan segelas es tehku.
"Kamu ngilangnya cepat banget sih Ri, bikin kuatir tau ga?" Dulfi mencium puncak kepalaku.
"Dulfii, kamu keringetan.. sana jauuuuh" usirku.
"Aku udah kenyang, aku ke bioskop duluan ya.. dua puluh menit lagi aku tunggu diatas, awas pergi sama nenek sihir" pamit Tania disertai ancaman.
"Bawel lo" teriak Dulfi.
"Jauh iih Dulfi.. keringetan" usirku lagi. Yang diusir cuek bebek nyenderin kepalanya dibahuku.
"Ri.. jangan ngabur gitu dong, ga nyelesain masalah" katanya pelan.
"Wait.. aku ga pernah punya masalah sama kamu.."
"Kenapa kamu kabur?"
"Aku ga kabur"
"Kamu ngindarin aku"
"Enggaaaaaaak"
"Kenapa pergi?"
"Dengar ya Dulfi, aku laper, dan kehadiran kamu disini bikin aku ga selera makan"
"Aku ga pergi saat kamu dan Putra bersama"
"Siapa suruh masih nimbrung"
"Kamu kok Afgan sih Ri?"
"Sory Bro, aku harus memproteksi hatiku biar ga sakit lagi"
"Aku nyakitin kamu ya Ri?"
"Ga usah dibahas ya"
"Ri.. aku mau jadi pacar kamu"
"Aku menyerah Fi"
"Please... "
"Maaf... kesempatanmu sudah hilang"
"Ri..."
"Aku pulang, balik sana, Princessmu nunggu"
Aku berdiri dan meninggalkan tempat itu. Meninggalkan Dulfi yang mematung dalam angannya sendiri.
"Ri, aku anter pulang" katanya cepat dan menggandeng tanganku. Aku takjub dengan kemampuan berlari Dulfi. Pantesan dia bisa juara basket.
"Aku bisa sendiri, ga perlu kamu anterin Dulfi" kataku kesal dengan segala tindakan Dulfi yang semena-mena.
"Enggak, kamu milikku, jadi aku yang pastikan kamu selamat sampai rumah" katanya tanpa menoleh padaku. Khas wajah pria dengan arogansi tinggi ala-ala CEO ganteng dan muda di wattpad.
"aku kan ga mau jadi pacarmu" teriakku. Dulfi masih menarikku kencang. Mengarah ke parkiran tempat mobilnya parkir dengan cantik.
"Kamu bakalan jatuh cinta sama aku Ri" katanya mantap ketika kami telah meninggalkan Mall.
"sudah kok" ucapku sambil tersenyum manis sebelum melanjutkan "tapi sekarang kembali layu"
"Ri.. aku bener-bener minta maaf"
"Maaf ga akan mengembalikan semua rasaku padamu yang berkeping Fi"
"Tapiii... ga bisa kamu kasih aku kesempatan seperti kamu kasih kesempatan sama Putra?"
Aku menggeleng lemah, "Putra masih belum dapat kesempatannya, dan sepertinya tidak ada kesempatan juga"
"Ri..."
"Maaf membuatmu begitu sakit, tapi Ajeng benar-benar trauma dengan air panas, dia pernah kesiram air panas yang bikin kulitnya melepuh. Makanya..."
"Makanya kamu marah sama aku ya Fi, karena tidak sengaja membangkitkan trauma masa kecilnya yang menakutkan"
"Bukan begitu Ri?"
"LALU APA?" Teriakku dengan emosi membuncah. Amarahku keluar.
"kamu kenapa sih pake teriak-teriak gitu?" Dulfi menghentikan laju kendaraannya.
Aku menahan nafasku yang menderu. Susah payah menahan airmata yang siap mencair dari kedua mataku. Sial, rasanya masih sakit.
Dulfi membawaku ke pantai tempat kami pertama kali bertemu dalam diam.
"Aku ga tau kenapa kamu sampai semarah itu sama aku Ri, jangan paksa aku memilih kamu atau Ajeng"
"Kalau begitu jangan paksa aku memilih kamu atau Putra"
"Itu lain hal Ri"
"Sama" potongku cepat. Jika setahun lalu kami dalam diam, malam ini kami dalam pertengkaran. Ironis.
"Dia trauma Ori.. kamu tau kan trauma?"
"Apa bedanya denganku?" Setetes airmata jatuh.
Dulfi terdiam. Dia baru tau tentang phobia yang mendera Ori beberapa hari yang lalu, itupun karena Putra yang memberikan informasi. Rasa bersalah menghinggapi perasaan Dulfi.
"Aku benar-benar minta maaf, aku ga tau tentang phobiamu"
"Kepalaku pusing, aku mau pulang"
"Ceritakan dulu tentang phobiamu"
"Aku ga mau" aku segera berlari dan menyebrang. Meninggalkan Dulfi yang masih mengejarku. Aku naik kedalam taksi dan segera menghilang ditengah kepadatan lalu lintas kota.
***********
Trauma, traumaaa apa yang bikin senyam senyum?
Traumaaakaan teringat padamu
*sambil nyanyi*
(Gombal Mukiyo)Huwiiih satu hari tiga chapter??
Tumbenan yaaahhhh banyaaak tapi masih belum dieditttt gapapa yaaak...
Hahahahhahahahaha
Dan Ori sudah dua ribu kali dibaca dan empat ratus lima puluh votenya...
Terima kasih banyaaaaakkkAku yang masih makan dikondangan
Author

YOU ARE READING
ORI
ChickLitCOMPLETE Perjuangan Ori lepas dari bayang masa lalunya yang telah di bangun dengan susah payah harus hancur lebur menjadi butiran debu setelah sang mantan menyapanya via inbox sosial medianya. Damn it!!! gara-gara "hai" semenit rusak move on set...