The Kuntilanak Rises

25.5K 3.8K 343
                                    

-Part 22-
.

.

Mengangguk dan tersenyum sesekali. Rivera tidak menghitung sudah berapa lama dia mengubah 'gaya' berjalannya. Langkahnya tetap tegas, dagunya tetap terangkat, tapi wajahnya tidak seangkuh dulu. Rivera pernah mendengar beberapa orang membicarakan perubahan sikapnya ini, lebih lemes kata mereka sih. Dan Rivera tidak keberatan dengan apa yang mereka katakan.

Rivera tidak lagi menunggu lift sendirian seperti orang yang memiliki penyakit mematikan menular. Beberapa orang yang mengenalnya tersenyum dan menyapa ramah. Tak terkecuali Danar yang baru saja datang sambil menenteng helmnya.

"Eh, Mbak. Udah masuk?" Rivera mengangguk dan tersenyum menjawab pertanyaan Danar. Beberapa sifatnya--seperti irit bicara, rasanya sulit diubah. "Gimana Papanya?"

"Alhamdulillah, Nar. Udah di rumah sih. Tapi ya masih harus banyak istirahat."

"Alhamdulillah."

"Maaf ya, waktu kalian datang jenguk saya lagi pulang ke rumah, jadi nggak ketemu."

"Nggak apa-apa, Mbak. Mbak Vera kan juga butuh istirahat."

Lagi Rivera tersenyum membuat Danar sedikit menyesal pernah menjulukinya Medusa. Bedanya Rivera dan Medusa sekarang adalah, jika Medusa bisa merubah orang menjadi batu dengan tatapannya, kalau Rivera bisa membuat orang membatu begitu melihat senyumnya.

"Mbuulll!!"

"Kutu kupret!! Lo ngapain sih maho!"

Danar membentak Rama yang tiba-tiba saja sudah bergelayut di pundaknya. Rama sendiri tidak menyadari Rivera berdiri di sebelah Danar. Salahkan badan Danar yang lebarnya menyaingi papan reklame, hingga menutup pandangan Rama.

Sedetik Rama terpaku saat mendengar suara familier terkekeh di sebelahnya. Begitu sadar suara itu berasal dari bos cantiknya, Rama mengumpat dalam hati berkali-kali dan buru-buru melepas rangkulan lengannya di leher Danar.

Nasib. Setelah nggak ketemu hampir seminggu, Rivera harus melihatnya bertingkah konyol seperti tadi. Bukan berarti Rama tidak pernah bertingkah konyol. Dia konyol setiap saat. Cuma ya nggak meluk-meluk laki macam orang kehilangan jati diri juga!

"Pagi, Rama!"

Rivera memutuskan menyapa Rama terlebih dahulu saat melihat Rama salah tingkah sok-sokan membetulkan simpul dasinya yang jelas-jelas tidak bermasalah sedikit pun.

Rama mendongak dan bersitatap dengan Rivera yang sudah menampilkan senyum andalannya yang bisa buat dengkul Rama lemas. Seperti biasa, Rama gagal fokus. Otaknya bekerja lambat, seakan senyum Rivera memiliki racun tersendiri yang mematikan beberapa saraf otaknya.

Saat saraf otak Rama masih saling bekerja sama untuk membantu Rama merespon dengan benar sapaan Rivera, sapaan lain muncul dari belakang Rama diiringi tepukan ringan di bahu kirinya.

"Pagi, Mas Rama!"

Rama menoleh dan disuguhi senyum berlesung pipi milik Rosie.

"Eh, Oci!"

Ting!

Rama menoleh saat mendengar suara denting lift. Rivera sudah tidak ada di tempatnya. Wanita itu sudah masuk ke dalam lift, berdiri paling depan, diam memandang ke depan, tapi bukan ke arah Rama.

"Masuk nggak lo?" Danar yang berdiri di dekat tombol lift yang berinisiatif menegur Rama, menahan tombol lift menunggu Rama untuk masuk.

Rama melirik Rivera yang kini memandang ke arahnya. Tapi wajah itu tidak seperti beberapa menit yang lalu. Rama ingat ekspresi seperti ini yang dia temui beberapa bulan lalu, saat dia masih menjadi karyawan baru, alasan Rama memberi julukan Rivera dengan nama Titisan Kuntilanak.

Cupid's MistakeWhere stories live. Discover now