Aku kira, setelah sampai di rumah akan dimulailah percakapanku dengan Damian. Mungkin sebuah perbincangan mengenai kejadian tadi. Aku bahkan sudah merancang alasan di kepala untuk menjawab apapun pertanyaan Damian nantinya. Sebisa mungkin aku tidak ingin salah berkata yang akan membuat Damian lebih marah dari yang terlihat saat ini.
Tapi perkiraanku salah ketika Damian justru lebih dulu keluar dari mobil dan meninggalkanku sendirian menatap punggung lebarnya menghilang di balik pintu. Untuk yang kedua kalinya aku terpaku di tempatku. Apa ini memang model terbaru kemarahan dari Damian? sikap diamnya justru membuatku serba salah.
Aku keluar dari mobil dengan menghela nafas. Kututup kepalaku dengan hoodie jaket untuk menyembunyikan rambutku yang mengenaskan. Apakah karena aku terlihat mengerikan saat ini yang membuat Damian enggan bicara padaku?
Suara ringkihan membuatku menoleh ke arah samping rumah. Di ujung kanan taman masih terikat kuda yang tempo hari aku naiki bersama Damian. Kuda itu mengais tanah berumput di bawah kakinya. Seketika aku teringat kehangatan Damian memelukku ketika waktu itu.
Ujung bibirku tertarik. Mengingatnya selalu berhasil mengaliri garis hangat di hatiku. Memang semua tentang Damian adalah alasanku untuk tersenyum. Aku mendongak. Menatap satu jendela yang kuyakini adalah kamar Damian. Kamar yang selalu tertutup tirainya walau di siang hari sekalipun. Seakan sedang menatap sang pemilik kamar, aku tersenyum, kali ini dengan kesedihan yang berusaha kusembunyikan seharian ini.
Aku tau kita berbeda.
Aku tau kita tidak memiliki jalan untuk bersama.
Aku tau rasa yang menyelimuti seluruh hatiku merupakan kesalahan.
Tapi aku juga tau, itu semua tidaklah cukup kuat menahanku untuk tetap berada disampingmu.
Apapun yang terjadi.
***
Setelah memutuskan untuk membersihkan tubuhku sebisanya dan berganti pakaian, aku tetap tidak bisa berhenti memikirkan Damian. Biasanya aku memang selalu memikirkannya, namun mengingat sikapnya saat pulang tadi membuatku tak tenang.
Dengan seenaknya dia mengatakan jika aku sakit dan harus pulang, tidak bisa mengikuti mata kuliah Miss Clara. Dan anehnya Miss Clara mengangguk begitu saja. Tidak membantah ataupun mengelak. Sempat terpikir dikepalaku jika ia menggunakan kekuatannya mempengaruhi orang agar keinginannya terpenuhi. Siapa tahu.
Namun sikap dingin Damian sekarang sangat berbanding terbalik. Ia bahkan tidak menatapku lagi setelah meninggalkan ruang kesehatan. Aku juga tidak melihatnya lagi sampai malam menjelang. Ia tidak lagi membukakanku pintu mobil dan menungguku berjalan di depannya, memastikan langkahku tepat dan tidak melakukan kecerobohan. Ia tidak menahan langkahku, untuk sekedar mengusap puncak kepalaku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Ia juga tidak bertanya, atau memarahiku karena tidak melawan Anggela.
Apakah Damian sudah tidak peduli?
Atau dia sudah lelah untuk menjagaku?
Tapi kenapa?
Bahkan, aku belum memastikan jika Damian mengetahui jika aku mencintainya.
Satu bulir bening lolos dari pertahananku. Kusapu cepat memutuskan untuk keluar untuk mencari Damian. Aku tidak menginginkan sikap dinginnya yang tak ada sebab pasti. Tidak masalah jika ia ingin marah. Setidaknya, lebih baik Damian mengeluarkan emosinya dari pada hanya berdiam diri dan membuatku gila memikirkannya.
"Alice."
Panggilan itu menghentikan setengah langkahku di pijakan anak tangga. Alec berjalan mendekat dan menjajari langkahku untuk ikut turun. Rambutnya basah dan disisir rapi kebelakang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Kiss [Completed]
Romance(Proses Penerbitan) Alicia tidak pernah mengira jika mimpi aneh yang sering mendatanginya berarti sesuatu. Mimpi yang mempertemukannya dengan sebuah sosok bermata biru terang dan mengejarnya. sampai pada suatu pagi, Alicia terbangun dengan menatap...