Tubuhku membeku merasakan cengkraman kuatnya. Bisa kurasakan dingin dari telapak tangannya menjalar melalui sendi yang tersentuh jarinya. Bukan cengkraman itu yang membuatku hampir saja menjatuhkan mulutku sendiri karena terlalu lebar terbuka. Tapi atas apa yang ia katakan barusan?
Bayangan?
Ia benar benar menyebutkan itu? Aku tak mungkin salah dengar.
"Apa?" Suaraku tertahan.
"Aku adalah bayanganmu."
"Kau sudah menyebutkan itu tadi. Maksudku dari semua hal yang bisa kau jadikan alasan keberadaanmu dan menggangguku disini, Kau malah mengatakan hal konyol itu? "
Ia melepaskanku. Mundur beberapa langkah dengan wajah yang menurutku- sedikit kecewa, sama sekali tidak kentara karena wajahnya kembali serius ."Itulah mengapa aku tak ingin memberitahukannya padamu."
"Aku tidak mengerti". Seberkas rasa penasaran tumbuh dikepalaku.
"Ini tidak akan bisa kau mengerti, Alicia."
"Demi Tuhan aku hanya ingin kau mengatakan siapa dirimu sebenarnya. Bukan justru mempermainkanku seperti ini."
Ia kembali mundur beberapa langkah untuk menemukan sofa di sudut sana lalu mendudukinya. Terlihat jelas ia sudah berubah menjadi santai, hal yang sedikit kusesali karena senyum menyebalkan itu kembali di wajahnya.
"Jelaskan yang sebenarnya." ucapku tegas. Ia tidak bisa mempermainkanku dengan mengatakan kekonyolan lalu bersikap seolah ini adalah rumahnya.
"Aku sudah mengatakannya tadi."
"Aku bilang katakan yang sebenarnya."
"Kau tidak percaya?"
"Tentu saja tidak. Aku bukan anak umur 5 tahun yang bisa tertipu dengan hal seperti itu."
Ia terdiam. Sama seperti halnya diriku yang menarik nafas keras karena emosi yang coba kutahan.
"Baiklah," ucapnya dengan sudut bibirnya berkedut. Entah kenapa perasaanku mendadak berubah menjadi tidak enak hanya dengan melihat ekspresi mencurigakannya. Ia mengangkat satu tangannya. Mengarahkan kearahku dengan telapak tangan menghadap keatas. Seperti ia sedang menungguku untuk menyambut uluran tangannya.
Aku mengkerut bingung. Tidak mengerti dengan maksud dari tangan terangkatnya. Hampir saja aku kembali meneriakinya sebelum sebuah aliran dingin merayapi telapak kakiku. Dingin seperti aku sedang berdiri di atas sebuah balok es, namun saat aku melihat kearah kakiku hanya ada lantai berkarpet coklat.
Kakiku dingin. Sangat dingin sampai kurasakan itu mati rasa. Lalu menjalar keatas mata kakiku. Berjalan menghinggapi lututku yang bergetar. Pergerakannya tak berhenti sampai rasa dingin itu memenuhi sela di seluruh tubuhku.
Ada apa ini?!
Aku kedinginan. Tapi dingin itu tidak menyakitiku. Bukan sebuah dingin dari cuaca atau pendingin ruangan. Dingin seperti menyapu seluruh tubuhku yang menjadikannya tegak dan sedikit kaku. Tiba-tiba kedua tanganku terangkat tanpa aku berniat untuk menggerakkannya. Aku menatap horor kearah laki-laki yang masih menjulurkan tangannya yang duduk di ujung sana sedangkan aku diliputi perasaan menakutkan karena seluruh tubuhku seperti bergerak dengan sendirinya.
Aku ingin berteriak. Namun sepertinya keinginanku tertelan karena dengan perlahan tubuhku melayang hingga yang kurasakan di bawah kakiku hanyalah udara. Aku sudah bersiap untuk menjeritkan ketakutanku saat pada detik berikutnya tubuhku melayang maju dan terlempar.
Dengan refleks mataku tertutup dengan antipasi meningkat, percaya bahwa tubuhku pasti akan membentur dinding dan meremukkan paling tidak sebagian tubuhku. Seluruh tubuhku tertarik cepat bersama hawa dingin yang masih melingkupiku dan terhempas. Bukan terhempas pada padatnya dinding kamarku, melainkan pada tubuh padat yang melingkupi bersama dengan tangan kokoh yang melilit di balik punggungku.

YOU ARE READING
Shadow Kiss [Completed]
Romance(Proses Penerbitan) Alicia tidak pernah mengira jika mimpi aneh yang sering mendatanginya berarti sesuatu. Mimpi yang mempertemukannya dengan sebuah sosok bermata biru terang dan mengejarnya. sampai pada suatu pagi, Alicia terbangun dengan menatap...