Chapter 23 Part 3

2.6K 114 6
                                    

8.20 pagi.

Tidak wajar seperti biasanya, Raven sudah berpakaian rapi, memakan sarapannya lalu duduk termenung di tempat biasanya, sofa tunggal di ujung. Ia tidak keluar untuk ngamen ataupun nonton acara kesukaannya, hanya duduk. Entah sudah berapa kali di dalam keheningannya, ia terus melirik ke arah jam dinding dengan resah, begitu juga dengan ponselnya yang selalu ia keluarkan dari saku dan masukkan lagi setelah melihat layarnya sejenak. Ia kelihatan sangat gelisah, tidak tenang seperti biasanya, dan tentu Elizia menyadarinya.

"Kamu kenapa, Ven?"

Mendengar ada yang memanggil namanya, sontak Raven pun mendongak menatapnya, Elizia sedang melangkah mendekati dirinya. Raven menggeleng pelan. "Aku tidak apa-apa," jawabnya.

Elizia yang sudah berdiri di hadapan Raven pun menjulurkan tangannya hendak menyentuh wajah Raven. "Benarkah? Kenapa kamu kelihatan sangat—"

TING TONG.

Tangan Elizia yang sempat menggantung itu tertepis. Begitu mendengar suara bel pintu rumahnya berbunyi, Raven dalam seketika itu bangkit lalu melangkah menuju pintu utama, meninggalkan Elizia yang sempat terbengong. Bedanya, Raven yang sudah membuka pintu itu pun tampak tegang, apa yang ia tunggu-tunggu sudah datang. 

"Selamat datang," sapa Raven.

Sapaan Raven tidak disahut. Orang yang berdiri di hadapannya itu, Sylva, malahan hanya melirik ke kedua ujung matanya lalu tanpa berbicara tiba-tiba melesat masuk ke dalam rumah Raven dengan cepat. Dan anehnya lagi, belum juga Raven menyambutnya, ia yang sudah masuk pun dengan mendadaknya menutup seluruh gorden, menghalangi seluruh tempat yang mungkin akan mendapatkan sinar matahari dari luar.

"Tutup pintunya!" tukas Sylva aneh dengan keras, seolah ketakutan. Raven yang kebingungan hanya bisa menurut dan menutupnya erat. Mereka pun duduk saling berhadapan setelah Sylva tampak lebih tenang.

"Apa yang telah terjadi?" tanya Raven dengan wajar.

Sylva melirik lagi ke jendela yang ada di belakangnya sejenak lalu beralih kembali ke Raven. Ia seperti sedang memastikan situasi. "Aku dibuntuti."

"Apa?" Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Raven mewakili kebingungan dan kekagetannya. Ini aneh sekali. Tiada badai tiada topan, tiba-tiba Sylva dibuntuti. Apa dia melakukan sesuatu yang bersifat rahasia? "Kenapa bisa?" lanjutnya.

Sylva menggelengkan kepalanya pelan. "Aku tidak tahu," jawabnya.

"Kenapa kamu datang lagi? Apa yang kamu inginkan dari kami? Aku tidak akan menyerahkan Raven untukmu!" Seolah Sylva datang untuk menagih utang, Elizia dengan penuh waspada pun melototi Sylva dengan tajam, tidak lupa memeluk Raven yang ada di sampingnya dengan erat, takut direbut olehnya. Sylva hanya bisa membelalak waktu mendengar ucapannya, sedangkan Raven menghela napas pendek.

"Dia tidak datang untuk merebutku, tenanglah. Dia hanya bertamu ke si—"

"Buat apa dia bertamu ke sini?"

Raven terdiam sejenak. Ia harus memilih kata-katanya dengan hati-hati atau nyawa Sylva taruhannya. "Dia hanya sekadar berbincang-bincang dengan—"

"Bincang-bincang tentang apa? Apa itu hal penting yang mengharuskan dia datang ke sini setiap hari?" Elizia kelihatan makin panas dibuatnya. Seluruh wanita yang datang mencari Raven adalah musuhnya, tidak boleh lengah!

Raven menggigit bibirnya. Kalau ia terus menjawab, Elizia juga akan terus bertanya tiada henti kecuali Sylva keluar dari rumah ini. Namun apa hal itu dapat terjadi? Raven harus menggunakan akalnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. "Ngomong-ngomong aku sudah download lagu kesukaanmu tempo hari, kamu mau dengar?"

Rage in Cage (Complete)Where stories live. Discover now