hyu, apa yang sedang terjadi?

996 259 54
                                    

"Aku melihat di cermin aneh, tetapi aku tak menemukan bayanganku, Hyu. Aku hanya melihat Soobin di cermin itu," ungkapku.

"Apa yang terjadi?"

"Soobin berkata padaku, bahwa aku sudah mati."

Hyu menatapku. Matanya redup. Kami berbagi ketakutan. Terlebih hawa dingin semakin terasa. Seakan semesta sengaja membuat kami takut. Aku menengok ke arah jendela. Tirai tersibak keras. Angin bertiup cukup kencang.

"Apa yang sebenarnya sedang terjadi, Hyu?"

Hyu mengalihkan pandangannya. Ia menggeleng, terlihat putus asa.
"Aku tidak mengerti, Hara."

"Apa yang salah dari Choi Soobin?" tanyaku, lebih kepada diri sendiri tetapi tampaknya Hyu mendengarku.

"Kita tidak bisa menemukan jawabannya di sini, Hara. Kita harus menemukan seseorang yang bisa membantu kita," usul Hyu. Aku mengangguk setuju.

"Memangnya ada orang yang akan mempercayai ucapan kita? Mereka akan menertawai kita, Hyu."

Hyuningkai menggeleng.
"Aku kenal seseorang."

***

"Kau tidak pernah mengatakan padaku kalau Kak Yeonjun juga mengalami keanehan yang sama," tuntutku, kesal. Salahkan Hyukai yang ternyata mengenal Kak Yeonjun jauh lebih dalam daripada yang kukira.

"Kau tidak bertanya," jawabnya. Singkat.

Benar juga, batinku.

"Kak Yeonjun itu jenius dan kurasa semua orang di sekolah kita mengenalnya."

Aku mengangguk setuju. Tidak hanya mengenal, sebenarnya. Hei, aku menyukainya sejak tahun pertama, tetapi seperti melirikku pun ia tidak pernah.

"Ada yang aneh juga dari Yeonjun. Kau tahu apa itu?" tanya Hyu, retorik.

Aku menggeleng, tentu saja. Setelah semua yang kualami, aku menjadi orang yang tak mudah menaruh kepercayaan. Aku tahu itu tidak bagus, tetapi itu yang kubutuhkan sekarang.

"Apa yang aneh dari Kak Yeonjun?"

"Ia lebih sering pulang awal. Kau tidak memperhatikan, ya?"

Dahiku mengerut.
"Lalu?" tanyaku, masih tak mengerti maksudnya.

"Aku juga sering melihatnya diam-diam masuk ke laboratorium. Kurasa ia sedang membuat sesuatu di sana."

Aku mencoba mengingat-ingat. Benar juga. Aku memang pernah melihat Kak Yeonjun sedang mengutak-atik sesuatu di dalam laboratorium. Aku tak tahu alat apa itu. Bentuknya belum terlalu jelas. Tetapi sepertinya alat itu menyerupai helm atau apapun sebagai pelindung kepala dengan banyak kabel atau selang mencuat dari dalamnya.

"Kurasa kita harus menemuinya, Hara."

Aku menatapnya dan mengangguk setuju. Mendadak semangatku muncul. Hyu berdecak dan memutar bola matanya.

"Jangan jadikan pertemuan itu sebagai kesempatan untuk pendekatan dengannya," godanya, tetapi wajahnya terlihat tertekuk. Aku tertawa melihat ekspresinya, menggeleng heran karena sepertinya ia tak pernah senang jika aku punya kesempatan untuk mengenal Kak Yeonjun lebih jauh.

"Kau semakin imut kalau sedang merajuk," pujiku seraya mencubit pipinya. Ia menepis tanganku perlahan. Bukannya mengelak atau membela diri, ia justru menenggelamkan diri dengan kesibukannya mengutak-atik file di laptopku.

Terkadang, sebuah pertanyaan muncul di otakku.

Apakah Hyuningkai memandangku lebih dari sekadar teman?

***

Satu malam berlalu. Pagi ini aku merasa lebih baik. Beban di pundakku seakan berkurang. Tubuhku terasa ringan untuk digerakkan. Menit-menit pertama aku terbangun, suara pertama yang kudengar adalah kicauan burung bernyanyi. Kepalaku menoleh ke jendela dan mendapati mentari pagi seakan tersenyum menyapaku.

Pagi yang indah. Mungkin ini pertanda bahwa hari ini semua akan baik-baik saja. Setidaknya aku berpikir begitu. Aku turun dari ranjangku dan bergerak menuju balkon, salah satu tempat favoritku. Aku duduk di kursi empuk di ujung, dekat pagar pembatas.

"Hara?"

Aku menoleh ke belakang. Ibu tengah berdiri di ambang pintu balkon dan tersenyum. Setelah itu ia berjalan menghampiriku.

"Sudah baikan?" tanyanya. Tipikal.

Aku mengangguk, tak tahu apakah responku tepat. Memang apa yang ibu maksud baikan? Mungkin secara fisik, aku terlihat sehat. Perlu kugarisbawahi, secara fisik.

"Temanmu tadi menelepon," ungkapnya. Aku menoleh dan bertanya melalui tatapan.

Ingin ku bertanya padanya, teman yang mana? Lalu aku sadar bahwa aku hanya memiliki seorang teman.

Haha. Menyedihkan.

Tetapi aku senang. Setidaknya aku memiliki teman yang bisa kuandalkan dan ia pula bisa mengandalkanku. Setidaknya dia ada untuk mendukungku. Ada untuk mengingatkanku jika aku berbuat salah. Ada untuk menjagaku di saat diriku mudah diserang. Ada untuk memberiku suntikan semangat di saat dunia berusaha menjatuhkanku.

Bagiku, orang itu hanyalah Kai Kamal Huening. Biasanya aku memanggilnya Hyu atau Hyuka. Atau jika ia sedang merajuk, aku akan memanggilnya dengan nama panggilan yang sudah kami sepakati sejak kecil. Unique-corn dan rabbit doll.

Terdengar aneh memang. Tetapi memanggil Hyu dengan panggilan itu akan membuatnya tersenyum malu, dan astaga, dia menggemaskan.

"Hei, ibu berbicara denganmu, Hara."

Suara ibu membuyarkan lamunan pagiku. Salahkan Hyuka, oke?

"Ya? Teman? Apa maksud ibu Hyuka?" tanyaku, memastikan.

Aku tidak akan terkejut jika ibu mengiyakan. Tetapi kali ini ia menggeleng. Aku dibuatnya mengernyit heran. Bukan Hyu? Lalu siapa?

"Siapa?" tanyaku.

"Kalau tidak salah, ia memperkenalkan dirinya sebagai Choi Soobin."

Saat itu juga tubuhku menegak. Rasa was-was yang seharusnya tidak perlu itu muncul lagi. Aku mengingat-ingat apa yang kuketik sore tadi. Jika teoriku benar bahwa Soobin si murid baru itu adalah karakter yang kuciptakan, maka ia akan melakukan aktivitas yang sudah kutulis sebagai sebuah narasi fiksi.

Sore itu aku memang menulis bahwa ia akan datang padaku dengan memakai hoodie berwarna abu-abu, topi putih, dan sweatpants hitam. Aku membayangkannya ia akan pergi ke suatu tempat untuk berolahraga.

Tetapi kuharap tidak. Aku tidak mau mimpi buruk itu jadi kenyataan.

Aku menatap ibu.
"Untuk apa ia kemari, bu?" tanyaku.

Ibu tersenyum.
"Ia bilang ia ingin berteman denganmu. Tadinya ia akan mengajakmu berolahraga, tetapi ibu mengatakan padanya bahwa kau sedang sakit, jadi ia langsung melanjutkan joggingnya."

Aku terdiam.

Jadi benar?

Aku pun bertanya lagi untuk memastikan.
"Hoodie warna apa yang ia pakai, Bu? Apa ia memakai topi?"

"Ia memakai hoodie berwarna abu-abu dan bertopi putih."

Haha, benar. Soobin adalah karakter yang kuciptakan.

Ia hidup.

"Hara, tunggu. Darimana kau tahu dia meamakai topi?" tanya ibu curiga.

Aku menggeleng dan tersenyum simpul.

***

Serem gak sih kalo karakter yang kamu ciptain tiba-tiba muncul aja gitu di real life hehe

tapi kalo yang muncul cogan mah gapapa yak wkwk

klik bintang dong.
rajin komen biar aku semangat yak hehe

Figment [✔]txtWhere stories live. Discover now