"Lagi berantem, ya?"
Maira yang tengah serius menakar tepung terigu menoleh bingung. "Huh?"
Ana melambaikan tangan. "Gak usah pasang muka bingung gitu. Mama ini udah lama hidup berumah tangga. Lihat interaksi kalian barusan, keliatan banget kalau kamu lagi ngambek."
Maira menelan ludah. Jika bukan karena Ana adalah mertua yang ia sukai, ia mungkin akan meledak karena tidak terima disebut tengah 'ngambek'.
Semalam, Maira menyimak dengan baik semua perkataan Derry di depan kamarnya. Dan saat mengetahui bahwa Ana membutuhkan bantuannya, Maira jelas tidak bisa menolak wanita lembut itu. Karena alasan itu, Maira akhirnya memilih merendahkan egonya untuk menggunakan ponsel baru yang diberikan Derry. Ia mengaktifkan nomornya, lalu menghubungi Ana.
Ana memutar badannya. Gesturnya seperti tengah mengintip sudut ruangan tempat pintu kamar mereka berhadapan. "Pisah kamar, kan?"
Maira gagal menutupi keterkejutannya karena Ana sudah menoleh kembali memergokinya terkesiap. "Mm, i-itu,..."
Ana menggeleng sambil kembali melambaikan tangannya lembut. "Ssst. Tentu saja Mama tahu. Ingat, Mama ini sudah puluhan tahun hidup dalam rumah tangga yang 'rumit'."
Kedua tangan Ana bergerak seperti telinga kelinci, saat menyebutkan kata terakhirnya. Senyum tipisnya terbit. Maira tidak tahu harus menerjemahkan senyuman itu sebagai senyum bangga atau senyum miris.
"Sini, sudah saatnya para wanita bicara dari hati ke hati."
Ana menarik lengan Maira dan mengajaknya ke ruang tengah.
"Kuenya, Ma?" tanya Maira berusaha mencari alasan untuk menghindari pembicaraan apapun dari Ana.
Ana melambaikan tangan, lagi. Maira mulai mengambil kesimpulan bahwa wanita tua ini sangat suka melambaikan tangan.
"Itu bisa dilakukan nanti."
Saat keduanya telah duduk berdampingan, Ana menatap Maira beberapa saat.
"Ma?" tanya Maira risih.
Ana tersenyum. Kedua tangannya tetap menggenggam kedua tangan Maira yang terasa tebal karena sisa tepung.
"Derry melakukan kesalahan besar, ya?"
Lagi-lagi, Maira tidak berhasil menutupi keterkejutannya. Namun kali ini, Maira memilih diam.
Ana tersenyum lemah. Pelan, ibu jarinya bergerak pelan seperti berusaha menyalurkan pemikirannya yang belum terungkap.
"Derry terlahir seperti Papanya."
Maira tahu. Semua orang pasti melihat kemiripan fisik, dan yang paling jelas, dari temperamennya.
"Kasar, mudah sekali marah, berpikiran pendek, dan yah, untungnya tampan."
Maira menahan diri agar tidak mengangguk. Maira bahkan ingin menambahkan kata 'brengsek'.
Ana menunduk, menghembuskan nafasnya pelan. "Tapi mereka tetaplah pribadi yang berbeda."
Maira menggigit lidah agar tidak kelepasan bicara. Sungguh, ia sangat ingin membantah.
"Kamu mungkin sudah tahu, kalau Mama bukan satu-satunya nyonya Rahman."
Maira melotot kaget. Perasaan dongkol untuk Derry menguap entah kemana.
Ana menangkap keterkejutan itu. "Wah, jadi Derry belum cerita? Karena sudah terlanjur, biar Mama yang cerita."
Maira menanti antusias. Ia tidak tahu apakah karena ini berkaitan dengan Ana, atau Derry, atau bahkan karena berkaitan dengan dirinya sendiri.
"Dulu, Derry sangat mengidolakan Papanya. Ia menyukai pribadi Rahman yang tegas, kuat, dan dominan."

KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Datang Terlambat
RomanceBook One of Rahman's Family Maira hanya gadis biasa. Keluarganya cukup berada, namun Maira terbiasa hidup apa adanya. Seharusnya itu menjadi modal cukup bagi Maira, atas kesulitan yang harus dialami keluarganya. Untuk itu, ia memilih kekeh menola...