Delapan Belas

2.9K 245 6
                                    

"Marun?" tanya Derry dengan dahi berlipat.

Maira mengangguk. "Sebenarnya aku pengen tema kali ini pake warna ungu. Tapi aku pikir, warna ungu terlalu lembut buat pribadi kasar kayak kamu."

Derry memicingkan mata. Ia menatap Maira yang terlihat manis dengan atasan blouse marun dan celana jeans berwarna putih. "Kamu bahkan terlalu nyinyir untuk warna ungu, Nyonya."

Maira berdecak, siap melanjutkan debat. Namun matanya terlanjur menangkap keanehan dari penampilan Derry.

"Loh? Kok pake celana warna hitam?"

Derry menunduk. "Males ganti."

Maira cemberut. Kedua alis lebatnya menukik, dengan kedua pangkal yang nyaris bertemu. "Kan jadi gak couple bawahannya. Padahal aku udah siapin celana putihnya."

Derry memutar bola mata. "Gak usah lebay. Lagian atasannya udah sama-sama marun gini, bawahannya gak bakal ada yang perhatiin."

"Ganti, gak?!" ancam Maira dengan tatapan membunuh.

Derry membalas dengan tatapan menantang. "Gak."

Maira berdecak. "Kamu loh, yang minta aku menyiapkan pakaian couple. Sekarang malah kamu yang gak kompak. Gimana, sih?"

"Ya masak kita mesti serageman terus kayak mau kasidahan?"

Suara ringtone ponsel Derry menggagalkan apapun yang ingin Maira katakan.

"Iya, Ma?"

"... "

"Iya, Derry sama Maira baru mau jalan."

"... "

"Oke."

Setelah mengantongi ponselnya, Derry menatap Maira yang masih cemberut. "Nanti aja kita lanjut lagi, Ra. Mama udah nungguin."

"Ya udah basi!" desis Maira.

Derry melangkah mendekati Maira yang masih mengetuk lantai dengan ujung flatshoes-nya. Tangannya terjulur merangkul kepala Maira dan sedikit membekapnya di dada.

"Ih, kamu ngapain?!" pekik Maira panik.

"Udah, nurut aja sama suami."

"Lepas, Derry!" jerit Maira risih, sambil terus berusaha menarik lengan Derry yang terasa keras di tangannya.

Melihat Maira yang terus meronta sambil mengomel, membuat Derry tak bisa menahan senyum. Setelah menutup pintu apartemen, Derry sengaja berbisik di dekat telinga Maira.

"Biasakan diri dengan sentuhanku selama kamu jadi istriku. Karena aku suka sekali menyentuh."

Merasakan tubuh Maira yang mendadak kaku, tawa Derry justru meledak.

***

Suasana makan siang di kediaman keluarga Rahman berlangsung cukup tenang. Sesekali Rahman dan Derry terlihat berbincang serius mengenai hal ihwal perusahaan. Ana dan Radit, adik Derry, bahkan beberapa kali menanyakan beberapa hal kepada Maira.

Maira benar-benar menunjukkan sikap sebagai istri yang baik. Maira menyiapkan makanan untuk Derry terlebih dahulu, sebelum mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Sesekali Maira akan bertanya apakah Derry ingin menambah sesuatu atau tidak. Hal-hal sederhana yang membuat Rahman dan Ana saling lirik dan tersenyum penuh rencana.

Setelah membantu membereskan meja makan, Maira mengantarkan nampan berisi makanan ringan ke ruang tengah. Suasana ruang tengah terlihat tegang. Rahman dan Radit terlihat melancarkan tatapan mematikan, sedangkan Derry hanya menatap keduanya dengan tatapan datar.

"Kok tegang, gini?"

Suara Ana dari belakang Maira membuatnya menoleh. Ia baru tersadar bahwa ia tengah berdiri canggung sebelum Ana datang.

"Sini, Maira. Duduk bersama kami." sapa Rahman saat menyadari keberadaan istri dan menantunya.

Maira menurut. Saat meletakkan nampan, ia sempat melihat Ana mengusap pundak Radit. Tatapannya terlihat sedih.

"Radit kenapa?" bisik Maira setelah duduk di samping Derry. Ia sengaja menempeli Derry agar suaranya tidak terdengar oleh Rahman.

Derry menegang merasakan kontak pertama Maira yang cukup intim. Tangannya dipeluk Maira, membuatnya bisa merasakan kelembutan gundukan dada Maira di tangannya. Ditambah lagi dengan bisikan Maira yang meniup lembut daun telinganya. Membuat bulu kuduknya meremang. Derry berusaha melenyapkan bayangan erotis yang tercipta karena sentuhan Maira.

"Nanti." bisik Derry, berharap itu cukup menjawab rasa penasaran Maira.

Maira tidak melawan seperti biasa. Saat ini, ia perlu menjaga sikap sebagai menantu pertama yang sempurna si hadapan mertuanya. Mengingat temperamen ayah mertuanya yang mirip dengan suaminya, Maira tidak boleh membuat masalah.

"Jadi, bagaimana Derry? Apa dia menyusahkanmu, Nak?" tanya Rahman.

Maira tersenyum kecut. "Sedikit."

Rahman tergelak, sedangkan Ana menatap Maira prihatin.  "Apa Derry menyakitimu?"

"Ma?" sahut Derry tidak terima dengan pertanyaan ibunya.

Rahman merangkul istrinya. "Sayang, sangat wajar seorang suami menyakiti istrinya. Tapi rasa sakit itu kan hanya ada di awal. Selanjutnya, lihat kita. Kita bisa memiliki Derry dan Radit."

"Papa!" seru Ana dan Derry bersamaan. Maira hanya terlihat bingung.

Rahman kembali terbahak.

Kali ini Ana menatap Derry. "Kamu gak bikin Maira kelelahan, kan?"

Derry melotot memandang ibunya horor. Ia melirik Maira yang menatapnya dengan mata membulat. Ia meneguk ludah karena salah tingkah.

"Benar-benar seperti Papanya." sahut Rahman bangga.

Maira hanya meringis dan memilih menyembunyikan wajah. Sikap yang tepat, karena di mata Rahman dan Ana, Maira terlihat sedang menahan malu karena godaan mereka.

"Papa gak heran kalau beberapa bulan lagi, Papa sudah bisa menimang cucu."

Maira terbatuk karena tersedak ludahnya sendiri. Sedangkan Derry melenguh karena tidak sengaja membuat lidahnya tergigit.

"Kalian kenapa?" tanya Ana prihatin. Tiba-tiba air mukanya berubah curiga. "Atau jangan-jangan, Maira sudah hamil?"

Rahman ikut menatap pasangan kikuk itu penasaran. "Benar begitu?"

Derry dan Maira saling pandang.

Hamil dari Hongkong!

***

Cinta Datang TerlambatDonde viven las historias. Descúbrelo ahora