7

16.8K 2.7K 68
                                        

FLAVIA

Aku termenung di tengah kebisingan arena bermain salah mal terbesar di Jakarta Barat. Sesekali aku meilirik si kembar yang terlihat asyik bermain tangkap bersama Bi Mar—ya— hari ini aku meminta izin pada Ray untuk belanja bulanan dan membawa anak-anak jalan supaya tidak jenuh di rumah terus. Aku juga memanfaatkan waktu untuk bertemu dengan Dela, kebetulan kantor Dela lumayan dekat dengan mal ini, jadi kamu memutuskan bertemu.

Aku butuh hiburan setelah empat hari masuk pada situasi aneh di dalam rumah Ray. Sejak adegan ciuman dan ungkapan wanita pertama, hubunganku dan Ray menjadi aneh. Kami sama-sama menghindar, atau lebih tepatnya dia yang menghindar. Dia meneruskan kegiatan berangkat pagi dan pulang larut, bukan itu saja, dia juga memerintahkanku soal pekerjaan melalui Bi Mar. Baru tadi pagi kami saling bertatap muka dan bicara secara langsung, itu pun aku yang rela bangun dua jam lebih awal.

"FLAVIA CHANDRA NETTA." Seseorang berteriak di samping telingaku dan refleks aku menutup kedua telingaku dengan tangan.

Aku melirik ke arah si pelaku. Alih-alih menunjukkan wajah bersalah karena berteriak, dia justru mengembangkan senyum dengan sangat lebar. "Nora Alexander Himawan! Bisa nggak sih, kalau manggil biasa aja...? Nggak perlu teriak."

Wanita dengan tinggi 177 cm itu berdiri di sampingku. Seperti biasa dia selalu terlihat fashionable dengan pakaian branded dan potongan pas di tubuhnya, seolah semua baju yang dia pilih memang sengaja dibuat hanya untuknya. Wajah campuran Manado-Inggris yang dia punya, selalu membuat Nora menjadi pusat perhatian ketika di tempat umum dan pusat keramaian. Seperti sekarang, dia tidak melakukan apapun. Tapi sudah empat pria nyaris terbentur tiang, karena terlalu fokus memperhatikannya.

Nora mengangkat bahu. "Aku udah manggil kamu pakai suara paling lembut, tapi kamu nggak nyahut. Ya udah, aku teriak deh." Dia memainkan ujung rambutnya yang menggantung pada bagian dada. Dan aku baru sadar, rambut hitam pekatnya sudah berganti dengan cokelat kayu mahogany. "Berarti ini bukan salah aku, ini salah kamu! Iya kan, Del?" ketusnya.

Aku melirik ke arah Dela—dia berdiri di belakang Nora. Hanya tersenyum tipis, tanpa mau mengutarakan pendapatnya. Kami selalu punya kebiasaan mengalah kalau Nora sudah mengeluarkan kalimat; berarti ini bukan salah aku, ini salah kamu.

Aku memutar bola mataku malas. "Iya! Iya! Aku yang salah, kapan sih Princess Nora salah?"

"Nah, itu pintar!" Dia mengangkat dagunya sedikit, bersikap layaknya seorang putri sombong pada sebuah film.

Aku mendaratkan cubitan kecil di tangannya. Alih-alih berteriak, dia justru tertawa puas karena berhasil membuatku kesal. Dia memang seorang putri, di antara kami berempat, Nora memiliki kehidupan paling berlebihan layaknya seorang putri. Tapi dia bukan putri sombong, dia jauh lebih baik daripada orang duga, hanya saja terkadang dia sedikit menyebalkan.

"Lagian kamu tuh aneh, Via. Melamun kok di sini, beruntung kamu nggak dihipnotis terus diculik." Dela ikut menggodaku.

"Ya ampun, Dela! Nggak ada kali yang mau nyulik cewek model Via, bukannya dapat untung malah rugi. Kamu tahu sendiri, dia kalau makan sebakul." Aku memukul lengan Nora, tidak memperdulikan tiga pasang mata tengah memperhatikanku.

"Hei!" Dela memilih untuk memindahkan perhatiannya kepada anak-anak. Tangan keduanya masih sibuk menggenggam pacingan, tapi masih sanggup menanggapi sapaan Dela dengan senyum malu-malu.

Dela menghampiri anak-anak, membungkuk sedikit, lalu mencium pipi keduanya secara bergantian.

Seperti awal aku bertemu denganku. Keduanya sibuk mencuri pandang ke arah Nora, sepertinya mereka belum pernah bertemu dengan Nora, begitu pun sebaliknya. Umur si kembar dan lama Nora tinggal di Inggris sama, empat tahun. Dan Nora baru kembali tiga hari lalu.

SECOND CHANCETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang