37. Jalan Terbaik

1K 135 19
                                    

37. JALAN TERBAIK 

Mondy masih komat-kamit seperti melafalkan sesuatu. Mereka yang melihat pasti megira ia tengah menghafal lafaz untuk ijab qabul. Tapi sebenarnya ia sedang berzikir sembari berdoa dalam hati. Ia memohon diberikan yang terbaik untuknya, Raya dan kelurga mereka.

Kalo sampai acara ini gagal, pasti Abah marah sekaligus menanggung malu. Tapi jika berlanjut, Mondy tidak tahu apa yang akan terjadi antara dirinya dengan Raya.

Malam pertama? Ah, Mondy bahkan tak yakin acara ini bakal lancar, dan ia sama sekali tak berpikir ke arah sana.

“Raya-nya mana Ram? Masih di dalam?” tanya Pak Dadang.
Abah celingukan, harusnya Diana telah turun membawa Raya. Bukankah tadi Abah sudah berpesan agar segera turun karena Dadang hanya punya waktu sedikit?

“Kalo gitu biar aku saja yang naik, aku tanya ke dia dulu. Bagaimana pun juga yang akan menjalani pernikahan kan dia.” Dadang melirik Mondy, “Calon mempelai prianya sudah siap rupanya? Jangan gugup Mas!”

Abah mempersilakan dan menemani Dadang ke lantai 2 meski sedikit ragu. Tentu saja ia takut putrinya akan menolak pernikahan ini.

Raya sudah siap keluar kamar ketika Abah dan Dadang naik ke lantai 2. Polesan make up Tari yang merias Raya nampaknya tak bisa menutupi wajah pucatnya. Pintu kamar yang sengaja dibuka membuat kedua Bapak setengah baya ini bisa dengan jelas melihat calon mempelai putri beserta para pendampingnya.

“Mah… apa justru tidak menambah dosa kalo Eneng tidak bisa menjadi istri yang baik. Eneng belum siap Mah,” lirih Raya seperti memeohon untuk terakhir kali. Suasana mendadak hening, karena mama, Tari dan Okta yang menemaninya terdiam. Mereka menjadi saksi kesediahan Raya. Mereka semua bahkan tak mampu berkata apa pun. Mama tak tega, Tari dan Okta merasa iba.

Meskipun demikian mereka tetap membantu Raya berdiri karena meyakini semua telah menunggu di lantai bawah.

Abah dan Dadang pun mengurungkan langkah dan kembali ke bawah.

Raya mencoba untuk tersenyum sekalipun penglihatannya mulai samar, tubuhnya terasa melayang, seandainya Mama dan Okta tak menggandengnya mungkin ia sudah ambruk.

Tepat di anak tangga terakhir Raya merasa hawa dingin menjalar disekujur kulitnya yang terbalut kebaya brokat putih tulang. Seketika yang semula tampak samar menjadi gelap, dan…

BRUK!
“RAYA!” Jerit hampir semua yang melihatnya, tak terkecuali Mondy.
Mama Anis yang duduk mendampingi Mondy membungkam mulutnya kaget.

Raya terkulai ambruk di lengan Okta. Dani yang berada dibelakangnya dengan sigap menangkap tubuhnya dan langsung membawanya ke kamar Abah yang karena  paling dakat dengan bantuan Okta.

Wira bangkit dari duduknya dan segera berlari menyusul mereka. Mondy langsung berdiri tapi langkahnya tertahan oleh Anis.

“Jangan buat mereka makin berprasangka buruk Mon!”

Mondy mengerti maksud mamanya.

“Biarkan Ayah saja yang memeriksa Raya,” lanjut Anis.

Dengan berat hati, Mondy kembali duduk dan hanya bisa menunduk.

Pak Penghulu taampak berbisik dengan Abah. Raut wajah keduanya tampak begitu tegang.
Mondy hanya melirik sekilas ke arah mereka. Ia berpikir mungkin Abah dan penghulu sedang bernegosiasi untuk memundurkan waktu ijab qabul.

Mondy kembali menunduk sambil terus memanjatkan doa berharap mendapatkan jalan terbaik.

Ia begitu khusuk, hingga tak menyadai Wira telah keluar dari kamar dan berbincang serius dengan Abah. Ia baru menyadari  tak ada Pak Penghulu disana.
“Apa Pak Dadang ke kamar meminta persetujuan Raya?” pikir Mondy.

JANGAN SALAHKAN CINTADove le storie prendono vita. Scoprilo ora