Masih Aji POV. 😂😂
20++ ada gigit menggigit soale.. whakkak.
***
Dhini menggeliat dengan ponsel di telinga. Masih satu ronde nggak mungkin udahan kan? Lagian dia yang ngebet buat cari hotel.
“I—iya Bu. Dhini udah praktekin menu yang Ibu kirim kemarin.”
Tanganku masih menjelajah. Seringaiku timbul saat Dhini mendaratkan telapak tangannya ke wajahku. Sebagai warning aku nggak boleh jilatin belakang telinganya. Dua malam tempur sama Dhini aku paham itu titik kelemahannya.
“Hah? Aji? Oh...” Dhini menjauhkan telapak tangannya, gantian dia yang memberikan seringai. “Ini Aji mau ngomong sama Ibu,” tandasnya yang membuatku mendelik. Kalau nggak lagi proses internal global buat cucu mungkin aku sama sekali nggak nolak ditelepon Ibu. Tapi, ini?
Aku turun memakai boxer dengan mengapit ponsel di telinga. “Iya Bu,” sahutku.
“Kok, iya bu? Bukannya kamu yang mau ngomong?”
Kugaruk tengkukku. Sementara di belakang, di balik selimut Dhini cekikikan. Dasar, untung sayang.
“Oh, nggak. Itu, Ibu sama Bapak apa kabar?”
“Baik... kami sekeluarga baik. Bapak makin tenang nggak ada Dhini yang ngerecokin di rumah. Nggak rebutan TV katanya.” Aku tertawa sebelum balik ke ranjang. Menarik kepala Dhini ke ketiakku yang berkeringat.
“Aji ih!” serunya geram.
“Itu Dhini kenapa?” Ibu langsung tanya.
Aku menyengir. “Nggak kenapa-kenapa Bu. Nggak sengaja ketarik tadi rambutnya.”
“Kok bisa? Kalian lagi di mana?”
“Lagi di kamar,” celetukku spontan.
“Di kamar? Udah jam sebelas loh ini—“ Ibu tiba-tiba diam. “Oh, eh, Ibu ganggu ya?”
Alisku terangkat, mungkin Ibu mertuaku ini ngerti ya?
“Eng... nggak kok Bu.”
“Pasti iya. Kalian mana pintar bohong sama Ibu. Ya udah. Ibu tutup ini.”
Makasih atas pengertiannya Bu, kataku dalam hati, lalu mematikan ponsel Dhini dan mencampakkannya ke nakas.
“Kok dimatiin, ntar ada yang nelepon lagi gimana?”
“Siapa? Mona? Bukannya semalam udah curhat sampe berjam-jam? Sampe aku nggak dapet jatah karena kamu keburu molor?”
Dhini menggigit pentil kananku.
“Oh, jadi sekarang mainnya gigit-gigitan?” Aku menyeringai, sementara Dhini menahan senyum. Gantian kugigit daun telinganya, membuatnya kegelian.
“Ji... Ji. Tunggu. Tunggu...”
Aku menarik wajah dari lekuk lehernya. “Kenapa?”
“Bener ya, nanti kita makan Mi Aceh kepiting.”
“Iya...” seruku lanjut menciumi lehernya.
Tadi Dhini bilang mau Mi Aceh, walau di sini sebutannya bukan Mi Aceh, tapi Mi Goreng. Sempat berdebat sedikit hanya perihal nama, nggak penting banget kan. Tapi, akhirnya kuiya-iyakan saja biar cepat.
Dhini mulai mengeluarkan suara-suara yang membuat semangat naik. Dia lalu menarik rambutku dan menciumiku ganas. Sepertinya besok aku harus mencukur botak kepalaku biar nggak selalu jadi sasaran jambakannya.
“Ji,” gumamnya disela desahan.
Lucunya Dhini itu, nggak bisa tenang kalau lagi kegiatan berlangsung. Pasti ada aja yang ditanya, atau diobrolin. Dia tipe yang berisik abis. Wajar dia nggak tenang kami gituan di kamar. Bunyi-bunyi yang keluar dari mulutnya sulit dikondisikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Come Back Home
General Fiction[Tersedia di Google Playbook] Sekuel False Hope Sepenggal kisah. Bahwa menikah karena cinta pun tak lantas membuat segalanya berjalan mulus.