"Jadi, kamu tinggal di Korea sampai umur 14 tahun? Terus pindah ke Jakarta sampai akhirnya ke Makassar?"
Ara mengangguk sebagai respon dari pertanyaanku, ia lalu memasukkan satu potong Pisang Epe' ke dalam mulutnya. Saat ini kami sedang berada anjungan Pantai Losari. Duduk behadap-hadapan, dipisahkan oleh meja kayu panjang, mendengarkan keramaian orang-orang yang berjualan atau bahkan pengunjung lain yang sedang bercengkrama. Ara tiba-tiba saja menjemputku malam ini, tanpa bilang-bilang. Untung saja Ayah sedang tidak berada di bawah pengaruh alkohol, dan untungnya lagi dia memberiku ijin. Aku tidak percaya malam ini terjadi.
Setelah insiden di UKS minggu lalu, kupikir kita berdua akan semakin canggung karena waktu itu Ara tiba-tiba melepasku dan pergi begitu saja. Dia seperti orang bingung atau sedang meruntuki dirinya sendiri, sebelum akhirnya meninggalku tanpa meninggalkan sepatah kata. Aku jadi bingung sesaat, tapi itu tak bertahan lama karena besoknya dia membaik, meski di siang hari dia masih tampak kaku dan dingin, tapi dia tidak terlalu mengabaikanku lagi.
Ngomong-ngomong, aku tidak pernah tahu bahwa akan bisa menikmati malam Minggu lagi di luar dengan seorang cowok. Setelah putus dari Albi, rasanya tidak pernah ada yang berani mendekatiku lagi.
Entah karena apa.
Tapi, Ara? Dia hadir dan memberiku banyak kejutan.
"Kamu ingin ke Korea?" tanyanya setelah menelan potongan apa yang sebelumnya ia kunyah.
Aku berpikir sejenak. "Ibu cuman sering cerita soal Korea. Aku penasaran aja, sih. Jadi, kalau aku lolos beasiswa ini, aku pengen coba ke Korea."
"Kamu akan suka di Korea. Banyak hal yang akan kamu temukan di sana." Ara tersenyum saat memberi informasi.
"Ohya, di Korea kamu tinggal di mana?"
"Seoul. Kantor Mamah di sana. Sampai sekarang Mamah di sana. Dia mengalami tahun yang berat dalam pekerjaannya, itu yang membuatnya meminta saya tinggal bersama Papah. Tapi, dia selalu berhasil menyembunyikan semuanya, saya baru tahu semuanya saat Papah menjelaskan alasan saya dipindahkan ke sini. "
Aku mencoba mencerna. "Mamahmu cuman nggak ingin membebani kamu."
"Iya, dia selalu seperti itu. Mau bagaimana lagi? Saya harus menurut."
"Dan, kamu nyaman tinggal sama Papah kamu sekarang dan Mamah tiri kamu?" Aku bertanya dengan hati-hati, takut menyinggung.
Ara menunduk dan memainkan sendoknya. "Butuh waktu, sebenarnya." Lalu dia menganggkat kepala, secepat kilat merubah eskpresinya yang murung menjadi senyum. "Kamu bagaimana? Apa senang dengan puisinya?"
Sontak aku menepuk jidatku. "Ohiya, puisinya. Itu serius kamu yang bikin?"
"You like it?"
"Sukaaaaa. Kamu kok bisa? Padahal kamu belum lama di Indonesia. Aku aja nggak bisa."
"As I said, I'm unique," ucapnya penuh percaya diri. Ara lalu melihat jamnya di tangannya. "Sudah hampir jam 9. Lets take you home," ajaknya.
"Hmm, setengah jam lagi deh. Boleh nggak?" tanyaku sedikit pelan.
Ara mengerutkan kening. "Wae?" Ya ampun, kenapa dia begitu menggemaskan saat berbahasa Korea.
Aku menghela napas. "Di rumah ada Kak Vahrus, aku males aja ketemu dia."
"Memangnya kenapa?"
Aku membasahi bibir bawahku, lalu menggeleng dan menarik senyum. "Hm, nggak apa-apa. Eh, jalan ke sana yuk," ucapku sembari menunjuk pada satu keraiman yang entah sedang mengerumuni apa, aku hanya mencoba mengalihkan pembicaraan.

YOU ARE READING
SOUTHERN ECLIPSE
Teen Fiction"Lun, akan saya ceritakan padamu tentang sebuah kisah." "Tentang apa?" "Tentang Bulan dan Matahari yang tak ingin terpisah." "Nggak minat. Nggak suka endingnya." "Memangnya apa?" "Sesuai dengan puisi yang kamu tulis, kan? Pada akhirnya, semesta hany...