Part 21

6.5K 511 19
                                    

Malam terasa sangat panjang bagi Dyta. Matanya tak mau tertutup, hatinya tak mau tenang dan pikirannya tak mau mengelak dari Aben.

Tak ada komunikasi. Tak ada kontak. Tak ada tanda-tanda.

Aben naik gunung sendirian, gara-gara dia. Apa? Sebegitu bodohnyakah Aben? Sebegitu sedihnyakah dia gara-gara Dyta?

Dyta menggeleng, memiringkan tubuhnya. Figura yang berbicara padanya. Mata Aben yang menatapnya dari balik bingkai itu. Foto mereka bersama.

Well... good bye.

Itu hanya ucapan perpisahan biasa, kan? Nggak ada yang lain, kan? Perpisahan yang masih bisa mempertemukan mereka disatu waktu. Dyta memukul dadanya, mengusahakan rasa sakit itu agar pergi sebentar saja. Dia butuh tenang.

Dia mengambil ponsel, menghubungi Aben. Hanya suara yang bilang nomornya tak aktif. Dyta terisak. Dia nggak bisa. Mengelap matanya, dia duduk, memperhatikan jendela kamarnya yang sengaja dia buka. Gerimis.

"Karena aku nggak nemu alasan kenapa harus pisah sama kamu! Karena aku mulai terbiasa sama kamu. Nggak ada kamu, aku nggak tahu kenapa kayak ada yang hilang! Makanya aku pertahanin kamu di dekat aku. Aku nggak tahu sejak kapan aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, yang jelas rasa itu masih ada sampai sekarang! Masih ada, Dyt!"

Dyta menutup wajahnya, menahan tangisnya agar tak mulai lagi. Aben pasti baik-baik saja. Dia Aben. Karena dia Aben. Dia tahu apa yang dia lakukan, karena tak ada yang seperti Aben.

"Wow, what's with that face?" tanya David saat melihat Dyta di ruang makan pagi ini.

"Kenapa?" tanya Dyta, berusaha sebiasa mungkin. Abangnya ini punya darah intel, jadi bisa mengendus kalau ada yang tak beres.

"Kamu nangis semalaman?" tanyanya enteng, lebih pada menebak. Dia mengambil roti dan menaruh keju lapis di atasnya. Mengunyahnya berselera sambil menatap Dyta.

Dyta menelan ludah, menenggelamkan wajahnya dalam-dalam "Oh ya, bagus banget aku nangis semalaman. Kayak nggak ada yang lebih penting dari itu." tangannya mengaduk potato soup buatan mamanya.

"Itu bukan tampang kayak ngerjain tugas semalaman. Atau abis marathon nonton drama Korea!" tunjuk David.

Sial. Dyta menghela nafas "Yah,, ini nangis gara-gara drama sialan itu!" katanya, merapikan rambut dan menatap abangnya.

"Oh girls!" David menyindir. "Apa sih yang penting untuk ditangisin dari drama?" dia geleng-geleng kepala.

Damn! Karena ini drama aku sendiri, kata Dyta dalam hati.

Entah apa yang membuat David begitu lama menyelesaikan sarapannya. Nggak biasanya dia bertele-tele seperti ini. Jadi, Dyta cepat-cepat menghabiskan sarapannya dan minggat dari depan David.

Dia harus pergi dengan sisa-sisa kesadarannya setelah tak bisa tidur tadi malam. Ada urusan yang harus dia selesaikan di kampus hari ini. Ada banyak. Ada janji temu dengan dosen untuk membahas judul skripsinya. Belum lagi mengurus ulang surat magang lantaran dia nggak mau satu tempat sama Gugi.

Gugi!

Nama itu bagai sumbu yang menyala. Entah mungkin atau tidak, yang jelas Dyta tak bisa tidak menanyai Gugi. Dia punya hubungan dengan Aben belakangan ini. Korban dan tersangka! Dia harus menemui Gugi. Dia mesti menanyai anak itu. Tak peduli sebenci apa sekarang dia ketemu Gugi, ini urusan mendesak.

Dibawah perhatian Willy yang terus-terusan ingin tahu dia baik-baik saja, Dyta menyelesaikan tugas pertamanya menemui dosennya. Mengkonsultasikan bakal judul skripsinya. Dia mesti ke perpustakaan sekarang, memastikan dia punya cukup referensi untuk penelitiannya. Dia butuh waktu sejam mengecek beberapa judul penelitian yang dia rasa cocok dengan apa yang akan dia lakukan.

Tukar PacarWhere stories live. Discover now