#44 - Mimpi Buruk

994 181 5
                                    

Vivi membenci pikirannya sendiri, apalagi ketika ia membayangkan skenario terburuk mengenai lelaki bersetelah hitam itu.

Ia berjalan mundur hingga punggungnya membentur batang pohon trembesi. Dia masih berusaha menyangkal, tapi di otaknya berkelindan pikiran negatif yang tak bisa ia enyahkan. Jantungnya mendadak berdenyut-denyut tak teratur dan ia jadi kesulitan bernapas.

Dingin yang menggigit tiba-tiba merayap dengan cepat di sekujur badan. Telapak tangannya berkeringat dan gemetar. Ia terkesiap dan segera berbalik, menumpukan kepalanya yang pening dan seluruh berat badannya pada batang trembesi yang kasar. Vivi membungkuk sambil menutup mulut saat perutnya bergejolak. Organ-organ percernaannya seperti diaduk-aduk dan diremas. Cairan asam telah terkumpul di pangkal lidah. Detik berikutnya, ia memuntahkan seluruh isi perutnya yang belum terisi siang ini. Cairan kekuningan menetes dari sudut bibirnya lalu jatuh mengotori tanah.

Seorang ibu pedagang sayur menghampiri dan menanyakan keadaannya. Sambil terengah-engah Vivi menjawab kalau dirinya tak apa-apa. Beberapa orang yang penasaran berkumpul, mengelilinginya sembari berbisik-bisik, dengungannya terdengar seperti sekelompok lalat yang mengerubungi tempat sampah.

Gadis itu mendesis. Ia amat membenci di situasi seperti ini. Sambil berpegangan dengan batang pohon trembesi, ia pun berdiri tegak dan mengatakan pada si ibu pedagang dia sudah tidak apa-apa. Dengan sedikit terhuyung ia kembali ke minimarket setelah menolak segala bantuan yang ditawarkan si ibu.

Di seberang jalan, lelaki bersetelan itu sesungguhnya tak ke mana-mana. Ia masih setia berdiri di sana, menatap Vivi dalam diam dan tenggelam dalam pusaran perasaan yang berkecamuk. Ketakutan dan keraguan tergambar jelas di wajahnya. Tangannya mengepal, meremas dengan kuat kalung jimat pemberian Dimas—jiwa terakhir yang dijemputnya.

Setitik air mata, menetes, dan terjatuh ketika ia berkedip. Ia terkejut, kemudian menyeka matanya dengan ibu jari.

Truk dengan muatan pasir kemudian melintas dengan kecepatan tinggi. Angin menerbangkan debu dan pasir ke udara. Dalam sekejap, lelaki bersetelan hitam di seberang tak nampak lagi di sana.

*

Vivi menghela napas panjang. Dengan kedua tangan yang bertopang pada wastafel, ia tertunduk sambil memandangi aliran air dari keran. Titik-titik air jatuh dari wajahnya yang basah. Mual yang dirasanya telah reda. Kepalanya yang sempat pening juga berangsur pulih setelah ia menenggak obat pereda nyeri. Akan tetapi, pikiran dan hatinya masih gelisah.

Awalnya ia memang tidak takut—Vivi menertawai diri sendiri. Oke, dia berdusta. Ia sebenarnya amat sangat takut membayangkan apa yang akan terjadi dengan dirinya nanti. Belakangan ini ia berkali-kali berhadapan dengan keadaan ganjil. Bukankah wajar kalau ia khawatir?

"Vivi."

Panggilan dari Mbak Irma berhasil menarik kesadarannya kembali. Ia pun segera menutup keran air, mengeringkan wajah dengan tisu, lalu keluar.

"Itu makanan kamu yang ada di meja?" Mbak Irma bertanya sambil menunjuk piring berisi nasi dan lauk-pauk yang belum disentuh sama sekali.

Vivi mengangguk dan berjalan gontai menuju meja. Ia kemudian menatap Mbak Irma. "Mbak, sudah makan?" tanyanya basa-basi.

Mbak Irma mengangguk sambil tersenyum. Sepertinya ia berpura-pura tengah baik-baik saja. Wajah rekan kerjanya itu tampak sangat lelah dan suram. Vivi sejujurnya ingin sekali menghibur, tapi ia tak bisa melakukannya. Beberapa tahun kebelangan kemampuan komunikasinya menurun tajam, bahkan hampir nol besar. Daripada salah bicara, lebih baik dia diam.

Sisa hari itu dilalui Vivi dengan sangat kacau. Sampai malam tiba, dia merasa separuh kewarasannya hilang, bersamaan dengan perjumpaannya dengan lelaki misterius bersetelan hitam siang tadi sehingga segala sesuatu yang ia kerjakan tak ada yang beres. Dimulai dari salah menghitung harga barang, nyaris menjatuhkan botol-botol parfum yang terbuat dari kaca, sampai hilangnya kunci toilet minimarket—untuk masalah terakhir, bukan sepenuhnya kesalahan dirinya, tapi karena keteledoran Mbak Irma yang lupa meletakkan benda itu ke tempat semula. Alhasil, sebelum pulang Pak Falah memarahinya panjang lebar.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now