#32 - Tragedi

1.3K 218 8
                                    

Paginya, Angreni terbangun dengan bingung. Kenapa ia bisa berada di kamar? Hal terakhir yang ingat adalah ia pergi ke sungai untuk menari, lalu ... menolong Miruda.

"Aku yang membawamu kembali," aku Dharmaja, tanpa ada niatan untuk menutupi apa pun.

Gadis kecil itu memandang kaget. "Lalu, bagaimana dengan Miruda? Kau memindahkannya juga?"

Mendengar nama adik tirinya disebut, rahang Dharmaja mengeras, tapi ia masih sudi untuk menjawab, "Dia meninggalkanmu di sana sendirian."

"Begitu, kah?" Walaupun Angreni sudah bisa menduga hal seperti itu akan terjadi. Namun, ia tetap tak bisa menyembunyikan rasa kecewa yang menyeruak. "Berarti, kau sudah tahu kalau Miruda pulang dengan keadaan terluka?"

Lelaki itu tak menjawab dan Angreni tahu apa artinya. Dharmaja kemudian beranjak dari depan jendela lalu berjalan mendekatinya. "Maukah kau berjanji satu hal denganku?" kata laki-laki itu.

Angreni memandang Dharmaja lekat-lekat. Terdapat riak kekhawatiran yag memantul dari matanya. Dua tangan laki-laki itu lantas terangkat untuk membingkai wajahnya.

"Jangan pernah berurusan dengan Miruda lagi, kau mengerti? Dia membencimu dan aku tak ingin kau terluka karenanya."

Mendengar perkataan Dharmaja, secara spontan Angreni menghempaskan tangannya. "Bagaimana bisa kau bisa berpikiran dia akan menyakitiku, Raka? Dia adikmu, kau tidak boleh berpikiran picik tentangnya," ujarnya tak percaya.

Laki-laki itu mengembuskan napas gusar sambil mengusap wajah. "Justru karena dia adikku, aku tahu perangainya. Tolong, mengertilah, Angreni," ucapnya sambil berbalik karena ia tak ingin Angreni melihat sisi lemahnya.

Selama beberapa saat Angreni memandangi punggung Dharmaja sambil menimbang keputusan mana yang harus ia ambil. Tak selang beberapa lama ia menghela napas panjang dan membalas, "Baiklah, Raka. Kalau itu yang kau mau, aku tak akan lagi berurusan dengannya."

Dharmaja tersenyum kecil, lalu menoleh ke jendela. Garis keemasan perlahan mengintip di cakrawala. Di luar pun ayam dan burung sudah sangat berisik keluar dari kandang dan mencari makan. "Hari ini jadwalku mencari kayu bakar. Kau mau ikut ke hutan bersamaku?"

Angreni mengangguk kecil. "Tapi, setelah aku selesai membantu ibu membuat sarapan."

Ibu yang dimaksud olehnya adalah ibunda Rawisrengga. Semenjak tinggal di pedepokan, gadis kecil itu memang sangat dekat dengan wanita itu lantaran tanpa sadar ia menjadikannya sebagai pengganti sosok ibunya yang telah tiada. Dharmaja tak mempermasalahkan hal ini karena ia tahu wanita itu tak akan menyakiti Angreni.

Saat keluar kamar, harapan Angreni cuma satu; hari ini akan berjalan seperti biasa—seakan-akan masalah Miruda tak pernah terjadi. Sayangnya, harapannya tak terkabul karena kini hanya kebisuan menyelimuti seluruh penjuru rumah. Tak ada senyum teduh ibu, celoteh riang Unengan, atau sapaan ramah Rawisrengga yang biasa ia temui kala pagi. Raut wajah mereka terlihat sangat keruh, terutama Miruda. Ya, Miruda. Bahkan bocah lelaki itu melewatinya tanpa menunjukkan reaksi apapun, seolah-olah dirinya adalah makhluk tak kasatmata.

Angreni memotong-motong sayuran dalam diam. Sesekali ia melirik ke arah ibu dan Unengan. Wajah ibu hari ini sangat pucat. Setelah tiba di tempat persembunyian ini kesehatan ibu memang agak menurun. Ketika ditanya tentang kondisinya, wanita itu selalu bilang bahwa dirinya baik-baik saja.

Karena tak tahan dengan kesunyian yang terjadi, Angreni akhirnya memberanikan diri untuk mencairkan suasana. Sayuran yang telah dipotong-potongnya disisihkan sementara. "Ibu," panggilnya seraya mendekati wanita itu.

"Ya?" Ibu membalasnya tanpa menoleh, sibuk dengan potongan daging yang tengah diiris-irisnya.

Dahi Angreni mengerut saat mendengar bunyi napas ibu yang tersendat-sendat dan berat. Ia pun beringsut mendekat dan duduk bersimpuh di samping balai-balai yang diduduki ibu. "Hari ini aku akan pergi mencari kayu bakar dengan Raka Dharmaja, bolehkah?" Dengan gerakan pelan dan tak terbaca ia mengambil alih pisau dari tangan ibu, dengan tujuan agar wanita mau menyerahkan pekerjaan itu kepadanya.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora