#36 - Perempuan Berkalung Rahasia

1.3K 200 3
                                    

Tante Dinar mengecek kembali tulisan yang tertera di ponselnya. Alamat yang ia tuju sudah benar, tapi pemandangan rumah di hadapannya rupanya jauh dari ekspektasi. Bentuknya sangat biasa, malah bisa dibilang sederhana. Dirinya juga tak merasakan hal-hal mistik di sekitar rumah itu.

Seumur-umur, pergi ke tempat 'orang pintar' adalah pengalaman pertama baginya. Dia takut. Sungguh. Tetapi demi keselamatan keponakan yang dititipkan oleh adik tersayangnya, ia harus memberanikan diri. Dia dulu memang sempat marah besar dengan adiknya yang pembangkang itu. Namun, biar bagaimana pun, darah lebih kental dibanding air. Mau seberapa buruk kelakuannya, ibunda Vivi tetap adiknya. Darah yang sama mengalir di pembuluh nadi mereka.

Mendiang Ibunya pun sudah memaafkan jauh sebelum adiknya jatuh terpuruk. Bahkan nama yang pertama kali disebut ibunya sebelum mengembuskan napas terakhir adalah nama sang adik. Sekarang, keluarga sedarah yang ia miliki hanyalah Vivi dan ia hanya ingin yang terbaik untuk keponakannya itu.

Tante Dinar turun dari motornya lalu berjalan mendekati pagar besi yang berkarat. Ia mengetuk dua kali sambil mengintip sedikit ke dalam. Seorang pemuda kurus kemudian yang memperkenalkan diri sebagai pegawai pemilik rumah bertanya perihal kedatangannya. Ia lantas menunjukkan sebuah ruang percakapan di ponselnya kepada pemuda itu. Tak lama, pintu pagar yang membatasi mereka pun terbuka.

Motor yang dikendarai Tante Dinar melaju melewati pintu gerbang. Sesuai arahan pemuda tadi, setelah memasuki pekarangan depan, mereka berbelok ke halaman belakang yang disulap menjadi tempat parkir. Ada tiga mobil dan kurang lebih lima motor yang terparkir. Ia lalu diantar si pemuda ke sebuah ruang tunggu yang dibuat terpisah dengan rumah utama. Beberapa orang yang menunggu di sana dan salah satunya cukup menyita perhatian.

Perempuan muda yang kini duduk di seberangnya berpenampilan biasa. Dandanannya rapi dengan rambut panjang diikat ekor kuda, tapi kelakuannya agak ganjil. Dia sesekali bersenandung sambil berceloteh kecil dengan buntalan kain yang dogendongnya, seolah-olah ia tengah menidurkan bocah. Tante Dinar tidak tahu apa isi buntalan itu tapi ia yakin kalau isinya bukanlah bayi. Di sebelahnya, wanita paruh baya duduk dengan wajah kecut. Dari tadi dia diam saja ketika si perempuan dengan buntalan mengajaknya bicara, kalaupun harus menanggapi, ia hanya akan menggeleng atau mengangguk dengan lelah.

Pemuda kurus yang tadi memandu Tante Dinar masuk lagi ke ruangan dan memanggil si wanita paruh baya dan perempuan muda yang menggendong buntalan.

Sekarang, di ruangan itu hanya tinggal tiga pasien yang tak ingin Tante Dinar pedulikan. Hatinya masih ketar-ketir dengan jawaban dari orang pintar yang akan ia tanyai nanti.

Apakah benar ada 'sesuatu' yang menempel pada diri Vivi sehingga kemalangan selalu menghampiri keponakannya itu. Mulai dari kasus kriminal yang menimpa adik iparnya hingga ia mati di bui, adiknya yang bunuh diri, ditambah sekarang kematian Dimas yang sangat tidak lazim, seakan-akan dewa kematian menghantuinya tiap saat.

Si pemuda kurus kemudian datang lagi untuk memanggil Tante Dinar.

"Saya?" Tante Dinar menatap bingung. "Saya kan datang terakhir?" tanyanya sambil melirik tiga pasien lain, yang kelihatan agak jengkel karena antreannya diserobot.

"Perintahnya Bunda."

Bunda yang Tante Dinar ketahui adalah nama panggilan untuk si 'orang pintar'. Dia pun menghampiri si pemuda dengan sedikit gentar.

Pemuda itu mengantarkannya sampai di ruang kerja Bunda yang berada di rumah utama. Selama perjalanan Tante Dinar mendapati tak perabot atau alat-alat aneh di dalam rumah utama. Ia hanya melihat beberapa pajangan seperti wayang serta hiasan kulit yang tertempel di dinding juga beberapa keris dan benda porselen kecil yang dipajang di lemari kaca, selebihnya sama seperti rumah-rumah orang kebanyakan.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now