Pernikahan mereka telah berjalan lima tahun. Pasang surut biduk rumah tangga telah mereka lewati. Tak ada yang bisa menggambarkan kebahagiaan yang ia miliki, meskipun ia juga belum dikaruniai keturunan. Terkadang terselip rasa iri ketika ia melihat kawan-kawannya mengelukan berbagai perkembangan putra-putri mereka. Namun, ia tentu tak akan menyalahkan Rayung. Ia dan sang istri dinyatakan sehat oleh walyan. Dia akan sabar menunggu sampai Yang Kuasa memberikan mereka kepercayaan.
Selama lima tahun juga keadaan istana makin memanas Beberapa tahun setelah kenaikan Sri Gandra sebagai putera mahkota, tersiar kabar jika ia adalah putra pertama raja yang tak diinginkan kelahirannya. Pernikahan kedua orang tuanya merupakan pernikahan politik yang saat itu akan menguatkan posisi kakeknya, Sri Warmeswara. Namun, beberapa waktu berjalan, kedok keluarga ibunya terbongkar. Mereka adalah orang-orang haus kekuasaan yang mengupayakan segala cara demi mendapatkan segalanya. Kejahatan mereka sudah tak terhitung jumlahnya, salah satunya adalah menyelewengkan dana pajak.
Seluruh keluarga ibunya diadili dan diasingkan ke daerah pesisir selatan yang berbatasan langsung dengan Kamal Pandak. Tidak sampai setahun mereka semua mati. Menurut laporan penjaga mereka meninggal karena sakit lepra. Namun, siapapun bisa menduga kalau mereka telah dieksekusi oleh pasukan khusus raja.
Karena statusnya yang masih menjadi salah satu keluarga utama istana, sang ibu tak diasingkan, tetapi sebagai gantinya ia dinyatakan sebagai tahanan kota. Hari demi hari kehidupan ibu Sri Gandra semakin menyedihkan dan pada akhirnya ia bunuh diri setelah melahirkannya.
Isu yang beredar di ibukota rupanya tak hanya sampai di situ. Orang-orang menyebut kenaikan Sri Gandra merupakan konspirasi kotor sehingga semua pejabat menaruh curiga padanya. Bisa jadi kematian putra mahkota sebelumnya adalah ulah dirinya.
Mendengar desas-desus itu, Sri Gandra tak pernah merasa risau. Ia bahkan dapat membuktikan bahwa ia pantas menjadi putra mahkota dengan berhasil meluluhlantakkan pos-pos yang diduduki pemberontak. Dia juga mampu menghalau tentara Dharmasraya yang tiba-tiba menyerang di laut.
Karena semua kemenangan itu, Sri Aryesywara menghadiahkannya pasukan pribadi. Beberapa pejabat kerajaan yang mendukung raja memandang hal ini sebagai sebuah bentuk penghinaan. Namun, sang raja yakin bahwa anaknya itu tak akan mungkin bisa mengalahkannya. Apa yang bisa dilakukan seekor anak ular? Mengalahkan naga?
Konflik di istana makin kuat. Dua kubu yang berseberangan, mereka yang mendukung Sri Gandra dan pejabat yang masih setia dengan Sri Aryesywara, makin terlihat saling menjatuhkan. Magani dalam waktu dekat Sri Gandra akan mengkudeta ayahnya. Tinggal tunggu waktu saja.
Yang Magani pikirkan akhirnya menjadi kenyataan. Sri Gandra memang telah merencanakan kudeta terhadap ayahnya. Jalan pertama yang diambil olehnya adalah mengambil benteng yang berbatasan denga Janggala.
Di tengah rapat di balai pertemuan, Sri Gandra tiba-tiba berdiri. Dengan lantang dan percaya diri ia membuat sebuah sumpah bahwa ia akan merebut kembali Janggala.
Keributan terjadi. Banyak pihak-pihak yang menyatakan tindakan ini terlalu gegabah. Namun, tak sedikit juga yang mendukung keputusan Sri Gandra. Ibarat semut di ujung lautan dapat dikalahkan, tapi gajah di depan mata tak tersentuh sama sekali. Selama ini Panjalu memang tidak pernah berhasil menaklukan Janggala. Sudah saatnya bagian timur Jawadwipa disatukan kembali di bawah panji-panji Panjalu, seperti dulu saat Airlangga berkuasa.
Di atas singgasana, Sri Ayesywara yang tengah duduk bersila tertawa. "Apakah kau bisa berjanji padaku untuk pulang dengan selamat setelah menyerang benteng itu?"
Sri Gandra tersenyum. "Aku bukan hanya akan pulang dengan selamat. Tapi aku juga akan berhasil merebut kembali Janggala untukmu." Ia berhenti sejenak, lalu berdiri dan bersedekap, meninggalkan kesan menantang di mata para hadirin di balai pertemuan itu. Ia kemudian melihat satu per satu pejabat kerajaan yang tengah duduk bersila. "Jika aku berhasil kali ini. Apa yang akan kau hadiahkan padaku?"

YOU ARE READING
Ketika Cahaya Rembulan Mengecup Lautan
Historical Fiction[Pemenang Wattys 2019 kategori Fiksi Sejarah] Seharusnya, di bukit tepi pantai yang cantik ini, hidup Vivi akan berakhir dengan dramatis. Ia jadi membayangkan betapa mengerikannya terjun bebas ke laut lepas, betapa menyakitkan saat badannya tergulun...