chapter 5: penghargaan musik

8.5K 1.2K 93
                                    



"di umur 19 kamu menyadari bahwa tidak ada waktu untuk main-main lagi. apalagi, main perasaan."

AMA terbangun dengan tepukan pelan di pipinya.

"Bangun, Na. Udah sampe," sahut-sahut suara managernya, Mama Onel, menelusup telinga Ama yang sedang mengenakan earphone.

Ama mengucek matanya seraya menegakkan posisi duduk di mobil yang membawanya ke acara penghargaan musik malam ini. Terlihat Mama Onel yang sedang sibuk mengatur perlengkapan Ama di bangku belakang. Ama mencari ponselnya yang entah bersemayam di mana, dan ketika menemukannya terselip di tas, Ama langsung mengecek pesan.

Ara: Lo di manaaa?

Ara: Ngebo lagi ya lo di mobil???

Ara: WOIIII, gue udah sampe nih

Ara: Lo gak lagi bete sama gue kan

Ara: Ama!

Lalu sederet huruf P dikirim puluhan kali oleh Ara, rekan penyanyi sekaligus teman dekatnya. Ama tersenyum melihat pesan-pesan itu. Entah kenapa, sikap petakilan dan cerewetnya Ara membuat Ama merasa lebih hidup dan tidak sendirian. Ama yang diam dan Ara yang cerewet. Dari sejak pertama mereka berdua masuk di agensi yang sama, keduanya tidak pernah terpisahkan.

Ama mengetikkan balasan untuk Ara, karena yah, temannya itu ribut lagi karena Ama hanya membaca pesannya tanpa sempat menjawab.

Ama: Iya.

Ara: Gue ngomong panjang kali lebar kali tinggi terus dikuadratin abis itu dikasih pangkat tiga, cuma dibales 'Iya' doang. Cukstaw.

Ama: Di mana?

Ara: Bd amat males jawab

Ama: Oke.

"Na, udah bangun?" suara Mama Onel diiringi dengan pintu mobil yang terbuka. Mama Onel melihat Ama yang asyik main ponsel dengan sedikit jengkel. "Atuh, ayo cepetan. Meuni lila pisan."

Ama meminta maaf sambil dirinya sibuk mengambil barang-barang yang berserakan di mobil dan dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Ama juga membawa serta setumpuk tugas untuk ia kerjakan di kala senggang. UTS sebentar lagi, dan Ama juga perlu belajar, kan?

Ama bergegas mengikuti Mama Onel ke ruang persiapan. Karena Ama belum bersiap-siap dari kampus, maka Ama harus ke ruang persiapan terlebih dahulu sebelum menyapa di karpet merah. Di sana, tentu saja, Ara sudah menunggu dengan tangan terlipat. Teman seperjuangannya itu sudah cantik menggunakan gaun berwarna ungu dengan rambut sebahu yang diurai sedemikian rupa.

"Masih pake kaos sama celana jins. Muka bantal. Bawa tas ransel gede. Fix lo udah kayak mahasiswi abadi, tau gak," komentar Ara. "Sini gue bantu hairstyle rambut lo."

Ama nyengir. "Thanks."

Butuh waktu sekitar satu jam untuk Mama Onel, Ara, dan penata riasnya dalam mempercantik penampilan Ama malam ini. Mama Onel mempersiapkan gaun yang sudah dipilih jauh-jauh hari—gaun warna merah muda, aksesorinya, dan me-crosscheck aksesori dari sponsor mana yang belum tersemat di penampilan Ama. Ara membantu menata rambutnya, kali ini, Ara ingin menyanggul rambut Ama, dan Ama memperbolehkan Ara menata rambut Ama sesukanya. Sementara penata rias, seperti biasa, bertugas membuat penampilan Ama senatural mungkin.

          

Setelah semuanya beres, Ara langsung menyeret Ama ke karpet merah untuk bertemu dengan rekan yang lain. Mama Onel tentu saja mengikuti kedua remaja beranjak dewasa itu dengan sedikit menjaga jarak, mengawasi dalam diam.

"Hai, haiii," sapa Ara pada rekan penyanyi lain yang satu agensi dengan mereka.

Mereka menyapa Ara dan Ama. Sementara Ara menyapa dengan ramah dan ceriwis, Ama hanya menyapa dengan sapaan ringan dan senyum sopan. Kalau dipikir-pikir lagi, dulu juga Ama tidak mendekati Ara, tapi Ara yang bersikeras mendekati Ama hingga akhirnya menjadi dekat dan tidak terpisahkan.

"Hai, Na," sapaan itu diiringi tepukan ringan.

Ama menoleh untuk mendapati Depha Alkantara berdiri di sebelahnya dengan senyum menawan yang biasa. Ama membalas sapaan Depha, kemudian mengajaknya mengobrol, meski Ama rasa, Depha menyadari kecanggungan yang sekarang Ama alami di sampingnya.

"Cieee, Depha, yang nanti nyanyi di atas panggung. Udah gladi resik belum, sih?" goda Ara.

Depha membalas dengan sedikit tertawa, "Udah, kok, tadi. Kenapa? Ara mau ikut juga?"

"Enggak, aaah, kan yang dapet nominasi penyanyi pendatang terbaik itu Depha, bukan Ara. Blweee," balas Ara lagi, meledek.

Depha menepuk puncak kepala Ara sambil tertawa, sementara Ama melihat semua itu dengan diam.

"Depha, ada produser mau ketemu," bisik manager dari belakang punggung Depha.

Depha mengangguk dan pamit kepada teman satu agensinya. Setelah kepergian Depha, teman-teman yang lain langsung heboh membicarakan perihal cowok itu. Ama lagi-lagi hanya mengamati dalam diam. Entah kenapa, ketika ada yang membicarakan orang lain di belakang, Ama jadi bertanya-tanya, apakah dia juga dibicarakan ketika dirinya tidak ada seperti ini?

"Katanya, nanti Depha bakal jadi penyanyi 'itu'," ucap salah satu teman agensinya.

Mata Ara membelalak. "Serius?"

"Gue denger dari yang megang acara. Gak heran, sih, kan Depha juga lagi naik daun tahun ini. Pasti heboh banget beritanya. Kira-kira ceweknya siapa, ya?"

Penyanyi 'itu'. Entah sejak kapan, acara penghargaan musik di stasiun TV ini, pasti selalu ada satu penyanyi 'itu' yang menyatakan perasaannya pada seseorang ketika sedang bernyanyi. Konsepnya memang seperti di cerita-cerita fiksi remaja, sebuah momen yang memang hanya ada di cerita saja, bukan di kehidupan nyata. Dan, entah sejak kapan, penyanyi 'itu' selalu menjadi daya tarik tersendiri di acara penghargaan musik satu ini. Ada yang benar-benar jadi pasangan—kalau tidak salah, bahkan sampai jenjang pernikahan.

Ama menggelengkan kepala pelan. Sungguh, dia tidak mau memikirkan hal ini.

Ama dan Ara melakukan tugas masing-masing setelah mengobrol ringan dengan teman satu agensi mereka. Ama diwawancarai terkait album terbarunya dan lagi-lagi Ama hanya bisa tersenyum tipis sembari mengatakan bahwa albumnya sedang dalam proses penulisan.

Setelah wawancara dan sesi foto selesai, Ara langsung menggeret Ama menuju tempat acara. Teman-teman agensi mereka sudah menunggu di salah satu titik meja, bagian sayap kanan panggung. Ama duduk di antara Ara dan Depha.

"Single lo bentar lagi rilis ya, Ra? Congrats yaaa," ucap salah satu rekan mereka.

Ara nyengir. "Bantu-bantu promo okay, makasih teman-teman."

di umur 19Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang