***"Ini serius, Papa tinggal di komplek ini, Ma?"
Aruna memandang ibunya sangsi, sebelum ia menoleh pada wajah kucel Akbar yang entah kenapa masih saja terlihat tampan di matanya. Padahal, pria itu tampak lelah berada di balik kemudi sejak beberapa jam lalu. Belum lagi, menghadapi kerewelan Aruna dan Ibunya yang ingin ini dan itu selama perjalanan. Fix, kalau boleh di ibaratkan, Akbar bak seorang pemandu wisata yang begitu ikhlas membawa pengunjungnya ke sana dan kemari.
Mereka tiba di Bandung saat hari sudah gelap. Setelah beberapa kali berhenti untuk makan, membeli camilan, dan juga buang air kecil. Akhirnya, mobil yang di kendarai oleh Akbar memasuki kawasan komplek perumahan mewah di daerah Buah Batu.
"Serius, Papa tinggal di sini, Ma?" Aruna mengulang pertanyaan setengah meringis. Sedikit menyesali, kenapa ia tak pernah tahu bahwa Papanya memiliki asset mumpuni di sini. "Ma, ini tuh, Buah Batu Regency lho? Beneran Sofyan Rahmawan tinggal di sini? Dia nggak jadi bangkrut? Masih banyak dong duitnya?"
Monik berdecak sambil menyisir rambutnya yang kusut akibat tertidur sebentar tadi. "Iya, Papamu tinggal di sini."
Aruna tak bisa memercayainya. "Kata Mama, Papa udah jatuh miskin. Dan sekarang jadi supir. Kok bisa punya rumah di sini sih? Mama sengaja ngedustain aku, ya? Biar aku nggak minta jatah bulanan sama papa?" tatapannya menyelidik curiga.
"Lho, siapa yang bilang kalau Papamu punya rumah di sini? Kan Mama cuma bilang, dia tinggalnya di sini. Lagian ya, Bil, itu mulut kamu tamak banget sih? Nyerocos terus nggak berhenti-berhenti dari tadi. Jadi perempuan itu kalem sikitlah."
"Apa bedanya, Mama?" Aruna bertanya geram. Entah otak siapa yang paling dangkal di antara mereka. Yang jelas, ia ingin membuat dirinya terlihat lebih pintar dari ibunya. "Papa tinggalnya di dalam rumah 'kan? Nah, kok bisa sih Papa punya rumah di sini?" cercanya tak mau kalah.
"Oalah, nang, yang bodoh betullah kau kurasa memang," Monik menggerutu dengan nada bicara khas orang Medan. "Kok bisalah kau kejebak sama dia, Bar?" pandangannya beralih kepada Akbar yang sepertinya tak tertarik meladeni pertengkaran mereka. "Kalau kayak gini, mending si Hesa ke mana-mana."
"Iish, Mama!" Aruna berseru cemberut. Lalu pandangan kesalnya berganti dengan tatapan penuh rayuan kala berpaling pada Akbar yang semenjak mereka memasuki kota kembang ini, sama sekali tak bersuara. "Akbar tuh nggak butuh perempuan yang sesempurna langit. Karena dia cuma pengin sama perempuan yang membumi. Iya 'kan, Bar?" celoteh Aruna dengan mata berkedip-kedip genit.
Akbar melirik sebentar, ia memang lelah menyetir sedari tadi. Di tambah, harus mendengarkan pertengkaran antara Aruna dan Ibunya yang tak berkesudahan, satu-satunya yang Akbar inginkan hanyalah tidur. Tetapi, ia pun sadar betul, mengabaikan ocehan absurd Aruna barusan, hanya akan menambah lelahnya saja karena perempuan itu pasti akan terus mengejar jawaban darinya. Untuk itulah, ia tarik napas dalam-dalam sebelum memberi anggukan setuju. "Iya," gumamnya terpaksa menyetujui.
Aruna kontan saja memekik, tak ia pedulikan dengkusan kasar dari ibunya di kursi belakang. "Nah, bener 'kan, Ma?" serunya mengejek. "Mama harus terima dong, kalau jodoh Akbar tuh, Bila. Jadi, stop, sebut-sebut nama Hesa di tengah perbincangan kita."
Monik mencibir dengan bola mata berputar jengah. "Andai ngutuk anak sendiri itu ibadah, udah Mama kutuk kamu tiap hari, Bil."
Dengan cuek, Aruna mengangkat bahu tak peduli. Selanjutnya, ia pandangi deretan-deretan rumah bertingkat sambil menerka-nerka di mana Ayahnya tinggal.
"Kata Mama kamu itu benar, Run," Akbar memecah keheningan selepas percekcokan Aruna dan Ibunya usai. "Papa kamu memang tinggal di sini. Tapi, bukan berarti dia punya rumah."

YOU ARE READING
Attention Of Love
ChickLit(PRIVATE) Karena bagi Aruna, jatuh cinta pada Prasetyo Akbar itu sangat mudah. Dengan segala apa yang pria itu punya, menaruh hati padanya bukan perkara susah. Sementara bagi Akbar, mencintai Salsabila Aruna amat rumit. Dengan segala hal yang mere...