35. Bukan Tragedi Berdarah Rupanya

43.5K 7.1K 464
                                    


***

Mereka masuk ke dalam apartemen dengan langkah berjingkat-jingkat. Sesuatu yang buruk terus saja berterbangan di kepala masing-masing. Aruna pun tak mengatakan apa-apa saking bingungnya. Ia genggam tangan Akbar erat-erat dan terus berjalan di belakang laki-laki itu. Sembari merapalkan doa, Aruna tak ingin ada perampok, begal, atau pun hantu yang memasuki rumahnya.

"Bar, takut," cicit Aruna dengan suara rendah.

Akbar tak mengatakan apa pun, sebagai gantinya, ia remas tangan Aruna sebagai penguat.

Mereka terus berjalan perlahan. Dan tampaknya sesuatu yang mereka takutkan tak ada yang terjadi. Buktinya, apartemen Aruna tak nampak berantakan. Lalu, ketika langkah mereka semakin ke dalam, mereka di buat bernapas lega begitu melihat Monik tengah duduk di ruang tamu dengan punggung bersandar pada sandaran sofa.

Aruna kontan saja memanggil ibunya dengan berseru kencang-kencang. "Mama!" pekiknya heboh sekaligus lega melihat tak ada kekacauan bekas-bekas kejahatan yang tampak di seluruh penjuru ruang. "Ya, ampun ... Mama nggak apa-apa 'kan?!"

Baru saja Aruna bersiap lari untuk menghambur pada sang ibu, tarikan tangan Akbar menghentikannya. "Jangan lari-lari," ia mengingatkan dengan suara rendah. Lalu pandangannya jatuh pada perut Aruna. Memberi isyarat pada wanita itu agar tak membahayakan anak mereka. "Jalan saja," perintahnya sambil melepas genggaman.

Aruna langsung cengengesan. Andai tak ingat ada ibunya di sini, ia akan memberikan Akbar kecupan sayang. Beruntung, kali ini Aruna ingat daratan. Hingga yang bisa ia berikan untuk laki-laki itu adalah kedipan-kedipan jahanam.

"Ma, Mama nggak apa-apa 'kan?" Aruna mengulang pertanyaannya sambil berjalan menuju sang ibu. "Ada apa rupanya, Ma? Kok pintu bisa kejeblak gitu? Siapa yang naroh kursi di sana, Ma?" berondong pertanyaan tak bisa Aruna cegah. "Ma?"

"Mama yang naroh di situ. Kenapa rupanya?"

"Eh?" Aruna yang hampir duduk mengurungkan niatnya. Ia tatap ibunya lekat-lekat. Seperti ada yang aneh di sini. Tapi apa ya?

"Mama baik-baik saja 'kan?" kali ini Akbar yang bertanya. Ia pun belum ingin duduk. Ia pastikan dulu keadaan sekeliling aman.

"Nggak usah tanya-tanya," semprot Monik sewot.

"Mama ih, kok sewot jadinya?" protes Aruna segera. "Jadi biar apa gitu pintuku diganjel sama kursi? Mama mau ngundang kejahatan?"

"Mama mau ngundang Roy Kiyoshi ke sini, biar dia bisa mencium aura-aura negatif yang ada di apartemen ini." Monik tetap mempertahankan kesinisannya. "Abis itu, Mama mau undang ustad Abdul Somad, atau Mamah Dedeh sekalian, buat ngerukiyah tempat penuh kesesatan ini."

Aruna segera memandang ibunya dengan sebal. "Nggak sekalian aja tuh undang tim uji nyali? Terus undang aja ekspedisi merah juga."

Monik yang kali ini tampak tak secetar biasa, langsung menyilangkan kaki dan melirik Akbar dan Aruna secara bergantian dengan mimik sinis. "Kalian dari mana?" tanya Monik dingin.

Mendapati sikap ibunya yang berbeda dari biasa, cukup membuat Aruna mengerutkan kening bingung. Ia tatap Akbar mencari jawaban, tetapi laki-laki itu sama sekali tak membantu. Lalu, pandangan Aruna berlabuh pada ponselnya yang berada di depan Monik. Sejurus kemudian, ia baru menyadari bahwa selama duduk tadi pun, tak ada suara televisi yang menyala. Padahal, Monik adalah penggemar berat acara-acara televisi. Mustahil wanita itu mampu menganggurkan benda elektronik itu begitu saja.

Tapi, lihatlah yang terjadi?

Televisi layar datar di depan sana sama sekali tak menyala.

"Kok tivinya nggak dinyalain, Ma? Rusak apa gimana?" Aruna mencoba mencairkan suasana. Wanita itu mencari remote dan menghidupkannya. "Ah, nyala kok. Mama nggak nonton gosip nih? Berita terbaru soal transgender kesayangan Mama lagi rame ini lho. Dia lagi dituntut—"

Attention Of LoveWhere stories live. Discover now