TIDAK DIPERKENANKAN MENERBITKAN ULANG FANFIC INI DI SITUS LAIN TANPA IZIN DARI PENULIS
.:R E S P E C T:.
ENJOY YOUR READ BUT DON’T STEAL ANY CONTENT FROM THIS FANFIC
.
.
.
.
Disclaimer: Kishimoto Masashi
.
.
Bacalah fic ini di waktu senggang Anda. Jangan sia-siakan waktu utama Anda untuk baca fic ini.
Khusus untuk yang muslim, jangan lupa sholat, ya…
Sincerely,
miyazaki rully bee
.
.
.
.
Hujan yang turun sejak pagi tak kunjung berhenti. Ada jeda beberapa kali, diisi gerimis yang sunyi. Tapi selalu dilanjutkan dengan hujan lagi.
Hinata memutar payungnya, menikmati air yang terciprat dan berputar seperti percikan kembang api. Seharusnya Sasuke sudah datang sesuai dengan janjinya. Dia terlambat setengah jam. Kaki Hinata mulai lelah. Semua anak perempuan berusia enam tahun pasti lebih suka menikmati waktu berendam dalam bak berisi air hangat di saat hujan seperti ini. Atau menyesap cokelat hangat dan makan kue.
Suara tangis pilu terdengar dari arah taman bermain yang sepi. Hinata tersentak dan menghentikan gerakan payungnya. Sepatu bot plastiknya yang berwarna kuning kini telah basah, ternoda lumpur, dan tak lagi secerah warna kuning yang seharusnya.
Langkahnya di atas tanah basah yang terendam air berkecipak seperti ikan koi yang melompat. Hinata ragu, sedikit mencemaskan dirinya sendiri, tapi terlalu penasaran untuk berhenti.
Seorang anak laki-laki berjongkok di balik pohon. Sekujur tubuhnya basah kuyup. Badannya bergetar karena kedinginan. Ia mengenakan rompi hijau berbahan katun yang melekat di tubuhnya. Hinata menarik tudung mantel hujannya, menutupi kepalanya secara keseluruhan. Lalu ia menyerahkan payungnya.
“Ehm … k-kamu … baik-baik saja?”
Anak itu mengangkat wajahnya, terkejut setelah bertemu pandang dengan Hinata lalu menarik diri menjauh.
“Tidak apa-apa. Ini, pakailah payungku.”
Anak laki-laki itu masih tak bergerak. Hinata merasa kasihan padanya.
Dia melangkah mendekat dengan hati-hati. Hujan masih turun dengan deras. Baguslah tak ada guntur yang semakin membuat suasana tak ramah.
“Di mana rumahmu?”
Anak laki-laki itu terisak.
Hinata meletakkan payungnya. “Pakai ini. Nanti kamu bisa masuk angin. Ibuku bilang, ehm … i-itu … ah, kalau kehujanan, hal pertama yang dilakukan adalah mandi, eh, ganti baju, eh, apa ya? … aku lupa.”
Si anak berhenti terisak. Kalimat Hinata berhasil menarik perhatiannya sehingga ia melupakan sejenak kesedihan yang ia rasakan.
“Namaku Hinata, siapa namamu?”
“Hinata!”
Sasuke telah berdiri di dekat pintu masuk taman. Dia dilindungi mantel plastik hujannya yang berwarna merah. Payung birunya yang besar bertuliskan nama perusahaan tempat ayahnya bekerja. Sasuke terlihat marah.
“Menjauhlah darinya!” perintah Sasuke kasar. Dia juga perlu berteriak karena hujannya deras, dan ia berdiri tak cukup dekat dengan Hinata.
“K-kenapa, Sasuke-kun?”
“Memangnya kamu nggak tau? Itu Chouji, anak gendut yang setiap hari dikerjain teman-teman di sekolah.”
“E-eh?”
“Ayo, pergi! Hari ini kamu main denganku!”
Hinata tak menghiraukan Sasuke. “Ano … Chouji-kun, kami akan mengantarmu pulang.”
“Aku tidak mau! Hei! Hari ini kamu main denganku, Hinata! untuk apa mengurusi anak gendut itu?”
“Tapi …”
Karena gusar, dan tidak sabar, Sasuke berderap mendekati Hinata. Tanah lapangan bermain yang seharusnya dipenuhi rumput kini semakin tergenang air. Langkah kaki Sasuke yang berat menciptakan cipratan-cipratan mini di sekitarnya.
Hinata tanpa sadar menyipitkan matanya seolah berlindung dari cipratan air itu.
“Bangun!” perintah Sasuke, menarik lengan Hinata memaksanya berdiri. Sasuke melirik ke arah Chouji, tatapannya yang terkesan garang itu tak tampak sempurna karena ia masih anak-anak. “Ayo, pergi dari sini.”
Sasuke menyeret Hinata meski anak perempuan itu protes. Tetesan hujan yang semakin deras menyirami Hinata yang kini hanya mendapat perlindungan dari mantel hujan. Sasuke menarik Hinata mendekat, mengatakan padanya bahwa dia akan basah bila tak dekat-dekat dengannya.
Payung kuning milik Hinata tergeletak di dekat kaki Chouji. Setelah beberapa saat, lengannya terulur menyentuh gagang kayu payung. Sisa kehangatan Hinata telah lenyap digantikan suhu udara yang dingin. Chouji kemudian bangun, melangkah pulang dengan menjinjing payung kuning itu.
.
.
.
Kebahagiaan bisa dibeli. Hinata sadar kalimat itu memang benar setelah membeli sekotak cokelat yang jadi favoritnya. Patah hati membuatnya melarikan diri pada kebahagiaan sesaat saat lumeran cokelat memenuhi mulutnya.
Hinata gendut saat patah hati.
Saat ini usianya enam belas tahun. Tinggi badannya tak sampai 170 senti, berat badannya di atas 70 kilo. Sasuke memanggilnya ‘bantet’. Meski begitu, Hinata tak punya musuh yang berani mengerjainya di sekolah. Mungkin itu karena kehadiran Sasuke yang mengintimidasi. Semua orang tahu seperti apa Sasuke saat marah. Dia mungkin berwajah rupawan, tapi dia populer bukan karena hal itu. Sasuke adalah remaja yang bisa menghancurkan siapapun yang menghalangi jalannya.
Preman, anak berandalan, antek-antek yakuza, semua sudah pernah merasakan pukulan kerasnya. Sasuke bukan ahli bela diri, namun dia memang mahir menumbangkan musuh-musuhnya.
“Berhenti makan, Hinata!”
“Wewakha?”
Hinata bertanya ‘kenapa’. Mulutnya penuh dengan bolu karamel yang masih hangat. Kacang almon yang gurih menambah rasa sedap camilan pagi Hinata yang tinggi kalori.
“Pelajaran akan dimulai, dasar cewek bantet!”
Seandainya Sasuke lebih perhatian. Seharusnya kisah mereka seperti kisah remaja pada umumnya. Saat sahabat yang disayangi terpuruk, Sasuke seharusnya menyediakan bahu untuk dijadikan tempat Hinata bersandar, menangis, dan menumpahkan semua kesedihannya. Sasuke yang baru memulai karirnya di dunia kenakalan remaja, terlalu sibuk mengejar posisi sebagai pemimpin. Saat ia meraih posisi itu, Hinata telah melar. Kemeja seragamnya berganti ukuran baru.