Keharuman lembut Moringa menerpa wajahnya. Hinata duduk menopang dagu di meja kerjanya, menunggu suara langkah yang mendekat. Pintu diketuk, tak menunggu lama untuk menemukan wajah Temari setelah itu.
"Pihak galeri sudah menanggapi permohonanmu."
Kalimat itu melegakan.
Hinata mengubah posisi duduknya lebih santai.
Musim semi telah dimulai. Memiliki hari libur di musim semi adalah sebuah berkah. Semua hal seperti terbangun dari tidur panjangnya selama musim dingin. Semua orang berubah sibuk. Semester baru dimulai.
Temari duduk di sofa berlapis beledu merah di ruang kerja Hinata, menikmati kenyamanan sofanya yang selalu ia anggap sebagai benda terbaik di ruangan sepi itu. sebuah ruang kerja biasanya dipenuhi foto-foto dalam bingkai, lemari-lemari yang menyimpan benda-benda pajangan, trofi penghargaan, atau plakat-plakat berlapis emas dengan tinta mengilap yang menuliskan nama Hinata dengan aksen klasik yang bercita-rasa tinggi.
Setumpuk prestasi itu justru disimpan di gudang. Hanya ada satu bingkai foto di ruang kerja Hinata, dan isinya adalah gambar dua anaknya. Tak ada hal-hal lain. Padahal Hinata seorang fotografer pofesional yang karyanya paling sering dipuji klien.
"Ada kiriman untukmu," kata Temari.
"Kiriman?"
"Ya. Dari Hiroshima." Temari menatap Hinata yang membalas tatapannya dengan ekspresi tenang. "Apa mungkin isinya sama seperti tahun sebelumnya?"
Setiap tahun Hinata selalu mendapat kiriman apel dari ibunya di Hiroshima. Keluarganya merupakan pemilik kebun apel terbesar di sana. Kota kecil dengan jumlah penduduk yang sedikit, hampir tiap pagi kondisi hariannya menjadi rutinitas sehari-hari komunitas kecil masyarakat di sana.
Hinata membalas pertanyaan Temari dengan senyuman.
"Sudah kaupikirkan?" tanya Temari lagi.
Hinata menarik napas dalam-dalam, memahami pertanyaan Temari tak ada sangkut-pautnya dengan apel, tangannya meraih pena dari sudut mejanya, membuka bukunya, menuliskan sesuatu di lembaran terbaru. Kemudian setelah beberapa saat dia mengangguk.
"Itu bagus," sahut Temari. "Kau juga perlu melupakan masa sedih itu."
"Masa sedih, ya?" gumam Hinata dengan suara lemah.
"Apa? Kau bilang sesuatu?"
Hinata mengangkat wajahnya, mengubah ekspresi, "Aku akan buat pai apel. Nee-san mau?"
"Tentu saja. Pai apel buatanmu paling enak. Tidak terlalu manis."
Tidak terlalu manis, pikir Hinata. Bayangan yang kemudian datang dalam benaknya menggambarkan sosok Sasuke di ruang tengah, bermain dengan Chinatsu. Tak lama kemudian bayangan itu berganti lagi pada malam mengerikan itu.
Tidak terlalu manis.
Saat Hinata selesai membuat pai apel keesokan harinya, Temari mendapat bagian paling banyak. Dan Hinata lalu menyetir mobilnya sendiri menuju ke sebuah keputusan. Ini akan jadi yang terakhir kalinya.
Kakinya yang berat melangkah maju. Langkahnya yang diseret itu tak butuh waktu lama untuk mencapai pintu utama. Ia kini hanya perlu menekan bel atau mengetuk pintu. Sangat berbeda dengan kejadian malam itu. Dia begitu bahagia saat itu, dengan menggendong bayi Chiharu dia menerobos masuk. Pintu rumahnya yang tak terkunci membuatnya berpikir Sasuke sudah pulang. Degup jantungnya yang tak terkendali karena perasaan haru dan bahagia berubah sesaat setelah ia membuka pintu kamarnya.
Saat ini, dengan membawa pai apel di tangannya, Hinata adalah tamu. Dan posisi itu terasa lebih tepat, memberinya satu perisai perlindungan jika ada hal tak menyenangkan terjadi lagi untuk kedua kalinya. Hinata mempersiapkan diri.
Bel ditekan.
Ia menunggu.
Tak ada sahutan.
Hinata mendongak, menemukan lampu serambi yang masih menyala.
Ia menekan bel lagi.
Menunggu lagi.
Sialnya, ia mulai diserang rasa grogi. Dirinya dibelah oleh keputusan untuk pergi atau bersikeras tinggal. Sehelai bayangan masa lalu menarik Hinata dari tempat itu. Sisanya, sejumput harapan yang tak seberapa, mempertahankan keberadaan Hinata.
Pintu dibuka.
Sasuke hanya mengenakan celana jins dengan tampang kusut yang tak siap menerima tamu.
Undangan itu datang saat musim dingin. Tak heran bila Sasuke melupakannya.
Dari arah rumah tercium aroma sepi yang dingin. Aroma asing itu bercampur dengan keharuman hangat pai apel di tangan Hinata.
Sesaat kemudian, Sasuke mulai menyadari situasi. Berkata, "Oh," lalu mempersilahkan Hinata masuk, minta maaf karena ia sedang tidak dalam penampilan terbaiknya. "Kau sendirian?"
Pertanyaan itu seharusnya milik Hinata.
"Ya," jawab perempuan itu. Hinata lalu menyerahkan pai apelnya. "Untukmu. Ibuku mengirimkan banyak apel dari rumah."
Sasuke tak pernah tahu ada hal seperti itu dalam kehidupan Hinata. "Terima kasih." Canggung, "Duduklah dulu." Sasuke kemudian masuk setelah mengatakan itu. Meletakkan pai apel beraroma tipis asam apel, karamel, dan kayu manis.
Hinata mengamati ruangan tempatnya berada. Sofanya masih berwarna hangat. Cat dindingnya telah berganti putih, tapi tak terlihat baru. Kebanyakan lampu tertidur. Cahaya matahari hanya berhasil menerangi sebagian ruangan, tak pernah mencapai koridor menuju kamar-kamar.
"Aku senang kau memutuskan untuk datang."
Sasuke kini mengenakan kemeja berlengan pendek, celana jins belelnya telah berubah menjadi celana hitam. Rambutnya telah ia sisir, dan wajahnya sedikit lebih segar berkat air dan sabun pembersih wajah.
"Kau baru bangun?"
Sasuke duduk berseberangan dengan Hinata. Tersenyum untuk menutupi kebiasaan buruknya tidur pagi. "Aku hanya bisa tidur saat matahari sudah terbit."
"Kau jadi manusia yang pilih-pilih waktu tidur?"
Sekali lagi Sasuke menyembunyikan ekspresi wajahnya dengan tersenyum.
"Makanlah pai apelnya." Hinata berdiri, ternyata tak bisa bertahan lama di rumah itu.
"Sudah mau pergi?" Tak ada jawaban, "Tunggu sebentar," cegah Sasuke. Dia juga berdiri, meraih lengan Hinata setelah melangkah cepat menghampirinya. Debaran hatinya yang liar serupa dengan anak remaja yang akhirnya bisa menyentuh gadis pujaan. Tapi wanita ini adalah istri sahnya, wanita yang ia nikahi tanpa pernah benar-benar memabayangkan akan menikahinya. Wanita yang ia temui dengan tanpa rencana. Seseorang yang terhempas dalam kehidupan Sasuke yang tak sempurna karena Hinata tak memiliki pilihan lain.
"Hinata, kau tak pernah memberiku kesempatan untuk menjelaskan." Basa-basi berakhir. Perbincangan ini tak bisa dicegah lagi. "Kau menutup dirimu begitu rapat setelah itu."
Hinata takut. Dia perempuan lemah yang merasa dikhianati. Apa yang bisa ia harapkan dari laki-laki yang telah mengecewakannya? Hanya perasaan takut yang menjawab pertanyaan itu.
Bagaimana bila ia semakin mencintainya dan justru berubah menjadi perempuan bodoh yang sok baik hati, yang rela menjadi yang kedua, yang puas dengan hanya berada di dekatnya?