Blame it on the Moon part 2

4.6K 422 9
                                        

Sasuke tidak ingat nama perempuan itu. Dia bahkan tidak ingat wajahnya. Dia juga tak pernah sekalipun mengkhianati Hinata, tapi dia memang telah menyakitinya. Begitu menyakitinya malam itu.

Sasuke terbawa arus popularitas, alkohol yang membawa kabut pekat dalam pikirannya, dan menikmati permainan cinta yang tanpa perasaan dengan perempuan lain. Timing-nya tak tepat. Hinata pulang, membuka pintu, menemukannya di atas ranjang bersama wanita lain. Bayi dalam pelukan Hinata menatap ibunya dengan sepasang mata kelabu, dan Chinatsu menangis keras saat melihat ibunya kehilangan segala rasa, memandang pemandangan perih itu dengan mata hampa bak mayat.

Rumah sederhana mereka terasa bagai pintu neraka. Kamar tidur mereka terlihat seperti sebuah dunia yang tak bisa dijangkau Hinata. Dan Sasuke melakukannya di ranjang mereka.

Saat ia tersadar, rumah telah kosong. Dua hari kemudian amplop cokelat berisi surat cerai itu tergeletak di kotak pos.

Hinata dan anak-anak tak pernah pulang lagi.

.

.

.

Bannya menimbulkan suara berdecit saat berhenti bergulir di atas aspal licin. Si supir yang patuh bergegas keluar dari mobil, mengitari sedan mewah itu menuju pintu penumpang. Saat pintu dibuka, seorang wanita berlapis mantel bulu mewah melangkah keluar. Ia terihat agung berkat gaya sanggul rambutnya yang mewah, aplikasi tata riasnya yang tepat dan tak berlebihan, dan senyumannya yang menawan.

Kedua lengannya terulur setelah ia meyerahkan tas tangannya pada si supir untuk dijaga sementara.

Ia memeluk Chinatsu yang berlari untuk menyambutnya, berteriak, “Mama!” dengan suara lantang yang gembira. Si kecil Chiharu masih aman dalam dekapan Sasuke, mendapat perhatian setelah Hinata berjalan mendekat.

Menggandeng Chinatsu yang berubah cerah, Hinata membungkuk sekilas pada Sasuke. “Maaf, aku terlambat, Sasuke-san.”

Senyumnya telah berubah, Sasuke segera menyadari itu. Hinata yang kini di hadapannya bukan lagi gadis berseragam sailor yang kabur dari rumah untuk membuktikan pada ayahnya bahwa ia sanggup. Hinata yang ada di hadapannya adalah sosok kuat, yang ketegarannya tak tergerus hempasan cobaan yang bagai cambukan.

Sasuke menyerahkan Chiharu, berhati-hati saat sadar anak perempuannya yang masih sedikit mengantuk.

“Kau mau ke mana setelah ini?”

Tatapan mata Hinata tak pernah bertemu pandang dengan Sasuke terlalu lama. Dia selalu bisa dengan cepat mengalihkan arah pandangannya ke hal-hal lain.

“Pulang, tentu saja,” jawab Hinata ringan.

Si kecil kini telah berpindah tangan. Chinatsu berdiri di samping Hinata, sejenak mengukur berapa ukuran sepatu ayahnya. Ini pertama kalinya ia bisa melihat sepatu hitam mengilap laki-laki yang sebesar itu. Tak pernah ada laki-laki dewasa lain  di sekitarnya. Hanya ada ibunya. Kaki jenjang Sasuke yang berbalut jins biru gelap ia perhatikan juga, lalu mantel hitam yang panjangnya menggantung di dekat lutut. Ayahnya memang rupawan, tak heran jika banyak wanita jatuh hati padanya.

“Chinatsu, ayo bilang salam pada Papa.”

Chinatsu tersadar dari pengamatannya. Ia memandang mata hitam milik ayahnya, terlihat dalam dan begitu pekat dengan hal-hal yang tak ia ketahui. Rasa penasaran sempat melekat di dadanya, ia ingin tinggal lebih lama untuk memuaskan rasa penasaran yang terasa bagai rasa lapar akan pengetahuan itu.

Ibunya memang tak pernah membuat larangan khusus bila ia ingin bertemu atau menghabiskan waktu dengan ayahnya. Sasuke selalu menyempatkan diri untuk menjenguk kedua anaknya. Tapi tak pernah mendapat undangan untuk mengunjungi mereka di rumah.

          

Selalu ada janji temu khusus sebelum pertemuan terjadi. Biasanya Hinata hanya mengantar, dan menjemput saat pertemuan mereka selesai. Seperti hari ini.

Sasuke merendahkan tubuhnya, lalu berlutut dengan satu kaki. “Oke, Jagoan. Kita ketemu lagi nanti.” Tangannya yang besar menepuk kepala Chinatsu lembut, mengacak-acak rambutnya. Sebersit senyum seorang ayah terbentuk.

Chinatsu memeluk ayahnya, mengucapkan terima kasih untuk hari itu, dan salam perpisahan. “Sampai nanti, Pa.”

Chiharu sudah kembali terlelap.

“Tadi kami makan muffin cokelat hangat. Sepertinya Chiharu kekenyangan.” Sasuke berdiri lagi, mengantarkan senyum ramah yang membuatnya merasa bersalah.

“Ah,” desah Hinata singkat. “Terima kasih. Sampai jumpa, Sasuke-san.”

Hinata  berbalik, punggungnya yang tersaji membangun rasa rindu dalam hati Sasuke. “Aku punya lagu baru,” katanya tiba-tiba. “Aku ingin kau jadi orang pertama yang mendengarnya.”

Chinatsu telah masuk ke dalam mobil, duduk di kursi penumpang, bertemu lagi dengan koleksi Lego-nya yang sebelumnya tececer. Ia duduk, menanti, bersandar dan berharap. Sudah tiga tahun ayah dan ibunya hidup terpisah.

“Oh.” Hinata mulai merasa beban tubuh Chiharu bertambah. Anak itu benar-benar pulas sekarang. “Aku selalu m-membeli CD-mu,” untuk hal ini, Hinata terpaksa berbohong. “N-nanti akan kudengarkan.”

“Lagu yang mana yang kausuka?”

“E-eh?”

“Dari CD-ku, album-albumku, lagu yang mana yang kausuka?”

Ekspresi kagum yang dibuat-buat muncul di wajah lembut Hinata. Perempuan itu gagal dengan mudah. Ia tak pernah sukses menciptakan kepalsuan. “S-semuanya?”

Sasuke mendengus, menahan tawa yang sebenarnya rasa kasihan terhadap dirinya sendiri.

“Ini lagu baru, Hinata. Tak akan kautemukan di album yang sudah ada.”

“Ah,” Hinata mendesah dengan kekalahan.

“Aku tak keberatan bila kaumarah padaku. Aku juga tak keberatan bila kau membenciku. Aku tahu kau tak pernah jatuh cinta padaku. Aku yang tergila-gila padamu.”

Hinata mengerutkan keningnya, “Kuharap itu bagian dari lirik lagunya.”

“Itu kejujuran,” sahut Sasuke.

Chiharu bergerak sedikit, dia merindukan ranjangnya yang hangat.

“Sasuke-san …”

Dulu dia selalu memanggilnya Sasuke-kun.

“Kautahu kita … punya h-hubungan yang tak biasa. Tak pernah ada kata c-cinta, tak pernah ada sumpah kesetiaan, tak ada … restu orangtua. Kita … membangun sebuah keluarga atas dasar sebuah kesalahan, situasi yang tak bisa disebut sebuah kesempurnaan—”

“Lalu kenapa?”

“Sasuke-san, kurasa kau perlu bersikap lebih dewasa.”

“Memangnya siapa yang butuh kesempurnaan? Keluarga kita adalah milik kita. Keluarga yang tak punya apa-apa ini tetap keluarga kita. Kenapa kau mencari kesempurnaan?”

Hinata menunduk. Suhu udara semakin terasa tidak nyaman. Otot lehernya mulai terasa kaku, sebagian besar karena emosinya yang perlahan membeku padahal seharusnya membara.

“Aku harus segera kembali. Kelihatannya Chiharu benar-benar lelah.”

Saat Hinata berbalik lagi, dia melangkah dengan lebih yakin, lebih cepat.

“Kembalilah pulang,” padaku. Sasuke mengejar, “Maksudku, datanglah ke rumah.”

Pintu mobil ditutup si supir yang kemudian sekali lagi berjalan mengitar untuk mencapai tempatnya di sisi lain mobil.

Kaca jendela dibuka Hinata. Chinatsu melongok sebentar dari belakang bahu ibunya, menatap ayahnya yang tak mengganti arah pandangannya dari wajah wanita Hyuuga berhati hangat yang selalu Chinatsu sebut Mama.

Namun saat ini, wanita yang sama tak mampu menunjukkan kehangatan. Ia kehilangan sentuhan itu. “Bagaimana mungkin aku k-kembali ke rumah itu setelah apa yang pernah kaulakukan di sana.”

“Aku menghukum diriku setiap hari dengan tetap tinggal di sana, Hinata. Membiarkan lampu di serambi depan menyala lebih lama, bila suatu hari nanti kau berkeinginan untuk kembali. Aku tak merubah apapun, agar kau tak salah rumah.”

“Sasuke-san,” Hinata mengucapkan nama itu dengan tergesa-gesa. “Selamat tinggal.”

Jendela kembali ditutup, mobil bergerak pelan, lalu melaju menuju kepadatan jalan raya.

Guntur bergema di arah langit selatan.

“Aku menunggumu,” gumam Sasuke. Ia berdiri tak bergerak di tempatnya. Langit semakin muram. Gerimis pertama jatuh, lalu angin mengarak awan ke arah barat. “Selalu menunggumu.”

つづく

Kimi to BokuWhere stories live. Discover now