Ketika Ale Memperkenalkan Diri

11.1K 1.3K 199
                                    

Selain menekuni proses penciptaan karya yang kerap disertai teori-teori filosofis perupa kontemporer hingga dasar pemikiran gerakan kesenian, saya harus mengakui bahwa manusia-manusia seni rupa di sekitar saya adalah ahlinya menelurkan dan menunggangi momentum.

Tahukah kalian pada tanggal berapa jatuhnya Hari Film Nasional? Saya pun tidak, sebelum kawan-kawan saya memutuskan untuk mengadakan sebuah festival film pendek di tengah gempuran tugas akhir untuk merayakan hari tersebut. Festival diadakan di dalam gedung kami suatu malam di penghujung bulan Maret, terbuka untuk umum, dan menampilkan sekitar dua puluh film pendek karya mahasiswa seni rupa dan desain se-Bandung Raya. Sialnya, sebagai teman yang setia dan berbakti, sayapun terbawa arus Bima, Bene, dan Tasya ke dalam klub Dokumentasi Sampai Mati. Berbeda dengan mereka bertiga dan loyalitasnya terhadap kamera, sebelumnya saya paling anti jadi anak dokumentasi. Selain saya tidak terlalu mahir mengambil gambar, saya juga belum rela untuk nggak nongol di hasil dokumentasi manapun karena akan selalu jadi orang di balik layar.

Namun baiklah, hari itu dengan bermodal kamera DSLR Bene, saya berkeliling membidik momen di antara ingar-bingar pengunjung yang berdatangan. Acara lumayan iseng dari mahasiswa-mahasiswa tingkat akhir ini rupanya berhasil mendatangkan beberapa alumni yang tidak kami duga, juga antusiasme mahasiswa dari jurusan, fakultas, hingga kampus lain, dan beberapa komunitas seni dan film di luar sana. 

Eh, sudahkah saya katakan kalau festival ini terbuka untuk umum?

Maka saya anggap kalian sudah bisa menebak siapa orang pertama yang saya undang secara eksklusif lewat secarik kertas bertulis tangan yang dibuat tiga menit sebelum saya turun dari mobilnya tempo hari.

"Iya langsung masuk aja, Ale. Masa harus aku jemput dulu?" ujar saya geli via telepon. 

"Aduh takut, Van. Gondrong-gondrong."

Sekarang giliran tawa saya yang diundang, "Kamu kaya ngga pernah liat orang gondrong aja? Kan di kampus kamu dulu banyak!"

Ale memang belum pernah memasuki gedung saya selama hampir empat tahun saya berkuliah di sini, dan sama seperti kebanyakan orang, tak ada yang benar-benar berani memasuki gedung seni rupa sebagai orang asing. Padahal apaan, sih? Kami tuh nggak gigit!

Ya gigit sih sedikit, kalau iseng dan mau.

"Ya udah ya udah," saya bergegas menuju pintu depan, "Ini aku jalan ke depan yah. Tunggu." 

Saya bisa melihat sosok Ale memainkan ponsel di antara orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Kaus putih berbalut kemeja flanel, jeans hitam, sepatu Converse low 70s, dan kacamata bingkai hitam yang bertengger di hidung. Belum sempat saya memanggil, seorang laki-laki sudah menyerukan nama Ale lantang-lantang dari arah lain.

"Bang Ale!"

Ale menoleh, wajahnya sumringah bukan main begitu laki-laki itu menjabat tangannya excited. "Anjiiiir! Apa kabar lo? Gimana kuliah?"

"Udah beres nih gua tinggal wisuda bulan depan," jawabnya sembari mengalungkan satu lengan ke bahu Ale. "Lo gimana jir? Katanya ambil MBA ya?"

"Yaa gitulah."

"Anjaaaaay! Gila nih emang kibordis satu. Enamhari masih?"

"Lagi libur, bro. Sibuk kerja padaan. Yaa, manggung-manggung kecil gitu masih lah kalo lagi di Jakarta."

Masih tak bergeming dari posisi saya berdiri, diam-diam tangan saya mengangkat kamera, memotret peristiwa bertemunya, entah, mungkin dua orang teman lama beberapa meter di hadapan saya itu. (Walau sejujurnya kegembiraan yang memancar dari mata Ale adalah hal yang membuat saya mendadak merasa harus mengabadikan.)

Ketika AleWhere stories live. Discover now