MusimSemi-26

18.7K 1.7K 85
                                    

❄❄❄

Jalan di bawah sana sudah dipenuhi mobil yang berlalu lalang, bermanuver saling salip, bunyi klakson yang bersahutan, lalu di trotoar tampak para pekerja dengan pakaian kantor bergerak cepat dengan Starbucks di satu tangan dan ponsel di tangan yang lain, kaum muda dengan jins belel dan t-shirt berjalan sambil mengunyah hot dog, para pedagang kaki lima yang mulai aktivitas pagi dengan menyusun barang-barang dagangan, juga satu-dua lansia yang berjalan kepayahan menenteng belanja dalam paper bag bersama anjing kesayangan.

Amerika,
Seolah semua orang sedang dikejar jarum jam yang berputar dua kali lebih cepat di sini.

Seorang pria berdiri di depan dinding kaca, lengan kanannya disandarkan sejajar kepala, sementara pandangannya tertuju lurus pada kesibukan pagi di bawah.

Hari ini, hari kemarin, dan hari-hari yang kemarin lagi, pria itu selalu mengenakan jas rapi, dasi dengan model ramping, dan tentu saja sepasang sepatu mengkilap. Seorang pengacara selalu dituntut untuk memerhatikan penampilan dua kali lebih intens dibandingkan mereka yang bergelut di profesi lain, kecuali para aktor.

Sebenarnya tidak hanya sebatas pakaian, lebih luas lagi, dunia hukum (red; pengacara) adalah salah satu kaum yang masih menjunjung tinggi gaya hidup dan fashion di atas segala nilai kehidupan. Seorang pengacara baru akan berjalan dengan kepala tegak lagi penuh percaya diri apabila ia keluar dari limusin panjang atau mobil sport keluaran terbaru, untuk kaum prianya harus ada sebuah jam tangan rolex yang bertahtakan berlian di pergelangan, sedangkan untuk kaum wanitanya paling tidak harus ada seutas berlian di leher, telinga, dan jari manis; terakhir jangan lupa pakaian yang dikenakan sebisa mungkin adalah rancangan para desainer.

Sam mendengus. Dia jadi teringat Naela.

Setiap kali berkemas-kemas lemari pakaian kemudian membantunya berpakaian di pagi hari, Naela selalu mengomel tentang betapa mahal pakaian-pakaian ini.

"Sam, sekarang sudah bukan jamannya lagi pakaian mahal begini. Ini berlebih-lebihan. Lagipula orang lain tidak akan bisa membedakan kemejamu ini dengan kemeja yang dijual di pasar-pasar, padahal harganya selisih jutaan rupiah," tukas Naela sambil mengeluarkan satu buah kemeja putih dari dalam lemari. Wajahnya bersungut.

Sam menyambut kemeja tersebut dari tangan Naela. "Aku tidak ada masalah mengenakan kemeja biasa bahkan kemeja obral sekali pun, akan tetapi ini tuntutan pekerjaan."

"Di Indonesia juga sama. Pengacara dan gaya hidup glamor itu sudah jadi satu budaya." Naela menggeleng.

"Kau dulu bagaimana?"

Naela meraih gantungan dasi, menimbang mana yang paling cocok untuk kemeja putih Sam hari ini. "Tentu saja aku tidak mau diperbudak oleh sesuatu yang terus berganti setiap enam bulan. Lagipula aku bukan pengacara seperti itu. Aku beli pakaian dimana saja, bahkan di pinggir jalan juga no problem. Tidak ada masalah bagiku mengenakan baju yang dibeli 10 tahun lalu sekali pun ..."

"... Manusia hari ini sudah melupakan fungsi pakaian dan menjadi menyembah mode. Seolah-olah dengan mengenakan merek tertentu, kau akan diakui sebagai golongan mereka. Kau lihat di media sosial hari ini? Manusia berlomba-lomba untuk memamerkan segala yang mereka punya; suami tampan, anak lucu, rumah mewah, jet pribadi, tas mahal, pakaian bermerek, sepatu eksklusif, dan sejenisnya. Jika seseorang benar-benar kaya, mereka tidak akan mau melakukan hal-hal konyol seperti itu. Lihat saja istrinya pemilik Google dan Facebook, mana pernah mereka pamer tas hermes ..."

"... Penyakit ingin dilihat pada hakikatnya menunjukkan kemiskinan di dalam diri seseorang. Mereka baru merasa bahagia ketika ada orang lain menyanjung, menatap iri, dan memujanya." Naela berpendapat. Dia membantu menyimpulkan dasi di leher Sam. Bibirnya terlipat.

Di Tepian Musim Semi 2Where stories live. Discover now