18 - Serotonin

51.8K 6.7K 1.1K
                                    

E D G A R

Bisa dibilang, kampus adalah tempat kedua dimana gue paling banyak menghabiskan waktu gue selain di kosan. Biasanya gara-gara banyak tugas dan nggak ada tempat lebih cozy (baca: murah meriah) untuk ngumpul atau merenungkan inspirasi selain di kampus. Tapi sore ini, penyebab kenapa gue masih berada di rooftop salah satu bangunan tertinggi fakultas menjelang tenggelamnya matahari bukan karena tugas atau demi mencari ilham. Daripada nongkrong menatap senja dari bangunan terangker di seantero kampus, mending gue cabut ke apartemen Faris dan puas-puasin menatap langit sakit ibukota yang pelan-pelan disepuh warna jingga. Namun kali ini berbeda, karena ada sosok istimewa tepat di depan gue.

Sosok itu tidak lain dan tidak bukan adalah Rinjani Mehrunissa.

Ah, dia punya paras yang secantik namanya. Lengkap dengan pesona yang membuat gue merasa dia makin sulit ditaklukan dari hari ke hari. Dia serupa Rinjani itu sendiri dalam wujud manusia—indah dilihat dari jauh, seolah memanggil setiap orang untuk lari dalam peluknya namun butuh perjuangan untuk menggapainya.

Hasik dah, kenapa gue tiba-tiba jadi kayak pujangga kesiangan begini? Efek cinta kali ya. Iya, nggak apa-apa. Sekarang lo boleh setel bole curiya atau lagu india apa pun itu buat mengiringi suasana hati gue yang sedang berbunga-bunga dan kepingin joget-joget diantara pohon palem ini.

"Langitnya cantik." Diantara alunan lagu Rasa dan Karsa milik Figura Renata yang berasal dari ponselnya, Rinjani berujar. Dia duduk di depan gue, menatap pada langit dengan mata takjub. Gue tidak melakukan apa yang dia lakukan, karena gue terlanjur fokus pada sebentuk pemandangan indah yang kini tengah tergelar nyata; profil samping wajah Rinjani. Dia terlihat kian surreal dengan rambut tergerai yang sesekali bergoyang ditiup angin senja.

"Iya. Cantik."

Sadar ditatap, Rinjani menoleh pada gue sambil menahan tawa. "Langitnya ada di atas."

"Tapi yang gue tatap sekarang lebih cantik daripada langitnya."

"Gombal."

"Nggak. Gue serius."

"Ya—ya. Kayak semua laki-laki itu bisa dipercaya aja."

"Mmm..." Gue bergumam samar sambil bergeser hingga jarak diantara lututnya dan lutut gue menyempit. "Emang kenapa dengan cowok dan alasan mereka nggak bisa dipercaya?"

"Cowok itu makhluk yang terlahir untuk membohongi dan cewek tercipta untuk dibohongi." Rinjani tertawa kecil. "Tapi kalau cowoknya lo, gue merasa nggak keberatan dibohongi."

"Bener?"

"Bener."

"Lo jelek."

"Apa maksudnya itu?"

"Katanya lo nggak keberatan dibohongi selama yang membohongi lo itu gue."

Senyum Rinjani terkembang makin lebar. "Hm. Benar juga ya."

"Lo memang suka menghabiskan senja disini?"

"Dulu waktu masih mahasiswa baru, gue sering nongkrong disini." Rinjani menjelaskan. "Tapi mulai dari semester dua, gue semakin sibuk. Malah udah hampir setahun gue nggak pernah kesini. Kalau lo?"

"Nggak pernah."

"Kenapa?"

"Katanya, bangunan ini kan bangunan paling angker di kampus."

Rinjani mencibir. "Ternyata lo takut sama yang gitu-gituan."

"Gitu-gituan?"

"Setan dan sebangsanya."

Kamu akan menyukai ini

          

"Stop." Gue mendengus. "Gue nggak mau dengar."

"Misalnya pocong, kuntilanak atau—"

Gue menggeser lagi tubuh gue hingga kini tempurung lututnya dan lutut gue bertemu. "Berhenti, Jani."

Rinjani merengut, membuat gue ingin membungkuk dan mengecupi pipinya yang menggembung. Tapi gue nggak melakukannya, karena gue sadar begitu gue melakukannya, segalanya akan berlanjut pada sesuatu yang mungkin nggak bisa gue hentikan. "Tapi hari ini lo mau gue ajak kesini."

"Karena kalau ada lo, entah kenapa gue jadi punya alasan untuk berani."

"Cheesy."

"Iya, dong. Gue harus berani kalau gue mau melindungi lo." Gue menghela napas sambil tersenyum senang, lalu menatap langit yang kian menggelap sebelum kembali menatap pada cewek di depan gue dan tiba-tiba saja perhatian gue tersita oleh beberapa tahi lalat berupa titik yang tersebar di lengannya. "Lo punya banyak tahi lalat."

"Nggak sebanyak itu." Rinjani berkilah sambil menutup tahi lalatnya dengan telapak tangan. "Dan mereka cuma titik hitam. Kalau ini ada di muka gue, mungkin bisa gue sebut freckles."

"Orang Asia nggak punya freckles."

"Buat kids jaman now, lagi ngetren bikin makeup muka penuh freckles."

"Kita bukan kids jaman now. Kita kids jaman Saras 88." Gue terkekeh seraya menurunkan telapak tangannya dan merogoh pulpen dari saku gue. Menggunakan pulpen tersebut, gue membentuk garis diantara tahi lalatnya yang berbentuk serupa titik hitam hingga sebuah konstelasi tercipta. Belum cukup, gue turut menambahkan sketsa berantakan Saturnus beserta cincinnya. "I drew constellation in your hand."

"Saturnus. Beautiful. Just like the way you are."

Alis gue berkerut. "Hm?"

"Someone like you, how rare and beautiful it is to even exist." Rinjani berujar sebelum mengambil alih pena dari tangan gue. "Giliran gue yang membuat tato di tangan lo."

"Tato?"

"Lihat aja." Gue meringis geli saat ujung pena menggores kulit gue. Tidak sampai tiga puluh detik, Rinjani sudah selesai menggambar simbol kimiawi yang tidak gue mengerti. "Akhirnya jadi."

"Apa ini?"

"Simbol molekul kimia untuk serotonin."

"Serotonin?"

"Serotonin itu neurotransmitter yang berperan penting mengontrol perasaan, mood dan kebahagiaan. You make me incredibly happy. Right here. Right now. Dan karenanya, gue harap lo juga happy... berada di dekat gue sekarang."

"Oh, dear, happy is lousy way to describe my feeling right now, right here." Gue menahan dorongan untuk tidak membenamkan jari-jari gue di helai halus rambutnya. "Semakin lama gue menghabiskan banyak waktu sama lo, semakin gue sadar kalau lo dan Hana benar-benar berbeda. Hana nggak akan pernah mengerti sesuatu yang dalam seperti lo. Dia nggak akan bisa bicara konstelasi tanpa ngata-ngatain Keppler karena udah bikin materi hapalannya makin banyak waktu SMA. Dia nggak akan bisa duduk diam menikmati senja di rooftop gedung terangker di kampus karena bakal keburu takut duluan."

Rinjani berhenti tersenyum.

"Kenapa?"

"Terus kenapa kalau Hana nggak tau apa itu konstelasi?"

Gue terdiam. Shit. Gue salah ngomong lagi.

"Terus kenapa kalau dia begini atau begitu?" Rinjani menatap gue dengan tatap menusuk. Perempuan memang paradoks. Mereka mungkin makhluk dengan tingkat kesintingan alami yang lebih tinggi dari laki-laki. Pada satu detik, mereka bisa tertawa. Tapi mereka bisa berubah jadi sebuas singa yang mau melahirkan hanya dengan satu kata yang salah. "Edgar, lo itu lagi sama gue. Rinjani. Bukan Hana. Lo pedekate sama gue atau sama Hana?"

Secret Love SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang