Siu-lam terkejut. Dari kerut wajahnya jelas kedua tokoh aneh itu telah berkokoh tekad, sebelum ada yang menang atau kalah, mereka tak mau berhenti.
Siu-lam menjadi sibuk dibuatnya. Tiada seorangpun yang mampu melerai kedua tokoh itu. Tengah ia sibuk mencari akal, tiba-tiba tangannya menyentuh pedang Pek-kau-kiam yang tersanggul di punggungnya.
Serentak ia mendapat pikiran. Pedang pusaka itu dihunusnya lalu ia menghampiri mereka.
"Locianpwe berdua adalah tokoh-tokoh ternama. Tentulah setiap patah ucapan locianpwe berdua telah menyatakan sanggup untuk membantu wanpwe. Pernyataan itu harus dipenuhi. Saat ini bukan saat locianpwe saling bertempur mati-matian. Jika locianpwe hendak memutuskan siapa yang lebih sakti, pun harus tunggu nanti apabila sudah selesai memenuhi janji terhadap wanpwe."
Ia yakin, kata-katanya itu tentu dapat menimbulkan kemarahan kedua tokoh aneh itu. Tetapi Siu-lam sudah siap suatu rencana untuk menghentikan mereka dengan kekerasan.
Segera ia bolang-balingkan pedang Pek-kau-kiam seraya berseru: "Jika locianpwe tetap tak mau menghiraukan permintaan ini harap jangan sesalkan wanpwe akan berlaku kurang ajar!"
Ia menutup ucapannya dengan menusuk ke arah kedua tangan Lam-koay dan Pak-koay yang tengah saling melekat itu. Pek-kau-kiam merupakan pedang pusaka yang dapat menabas logam seperti orang mengiris tanah liat.
Betapapun hebatnya kedua tokoh aneh itu, tetapi tangan mereka tetap terdiri dari darah dan daging. Tidak mungkin mereka mampu bertahan terhadap tusukan pedang pusaka itu.
Serentak Lam-koay dan Pak-koay menarik pulang lwekangnya dan menarik kembali tangannya. Dan tepat pada saat itu juga, Siu-lam pun menarik mundur pedangnya....
Pak-koay Ui Lian berpaling deliki mata ke arah Siu-lam: "Hm, engkau memang budak yang gemar mencampuri urusan orang. Awas pada suatu hari, engkau pasti mampus di bawah pukulanku, Hian-peng-ciang!"
"Hm, belum tentu," dengus Lam-koay Shin Ki.
Siu-lam memberi hormat kepada kedua manusia aneh itu: "Locianpwe sudah berjanji hendak membantu wanpwe. Seharusnya janji itu harus ditepati. Lain-lain urusan, wanpwe minta nanti saja diselesaikan lagi setelah peristiwa yang saat ini tengah mengancam Siau-lim-si sudah selesai!"
Diam-diam Siu-lam mencatat dalam hati bahwa dalam setiap ucapan, Lam-koay Shin Ki itu selalu berdiri di pihaknya. Tetapi ia juga mengerti bahwa hal itu bukan disebabkan karena Lam-koay sayang kepadanya, tetapi semata-mata diperuntukkan untuk menentang Pak-koay saja.
Kedua manusia aneh itu tak dapat menyangkal ucapan Siu-lam. Mereka tak menyahut melainkan mendengus saja.
Dalam kesempatan yang luang itu, Tay Hi siansu segera menuturkan apa yang telah terjadi tadi. Terutama ultimatum dari si nona baju biru yang memberi batas waktu sampai tengah malam nanti.
Apabila Siau-lim-si tak mau menyerah, ketua Beng-gak dan rombongan jago-jagonya akan membikin rata gereja Siau-lim-si.
Tay Ih siansu menengadah memandang langit. Ujarnya: "Saat ini masih sore. Saudara-saudara tentu letih, harap masuk ke dalam gereja dan beristirahat secukupnya. Nanti malam kita rundingkan lagi cara-cara untuk menghadapi musuh!"
Lam-koay Shin Ki kerutkan alis: "Jika tak ada arak, aku tak sudi makan. Sungguh menjengkelkan sekali gereja ini. Banyak sekali aturannya...."
Tiba-tiba Pak-koay Ui Lian nyeletuk tertawa dingin: "Toh, nyatanya sudah lebih dari tiga puluh tahun tak minum arak, engkau tetap tak mati!"
"Bagaimana engkau tahu aku tidak minum arak?" teriak Lam-koay dengan murka.
Kuatir kedua manusia aneh itu akan bertengkar lagi, buru-buru Tay Ih siansu berkata: "Memang pada kebiasaannya, dalam setiap menjamu tamu gereja, kami tentu tak menyediakan minuman arak. Tetapi gereja kami menyimpan arak wangi yang sudah puluhan tahun lamanya. Jika jiwi berdua memang menginginkan, dengan segala senang hati loni pasti akan menghidangkannya!"
Pejabat ketua Siau-lim-si itu dengan sikap hormat segera persilahkan kedua manusia aneh itu masuk ke dalam gereja.
Siu-lam cepat melangkah ke samping Tay Ih siansu dan berbisik: "Wanpwe telah kehilangan sebatang pedang pusaka. Jika yang sebatang ini sampai hilang lagi, wanpwe benar-benar malu pada siansu...."
Tay Ih siansu tersenyum: "Ceng-liong dan Pek-kau, sudah bukan hak milik gereja Siau-lim-si lagi. Bagaimana Pui-sicu hendak mengurusnya, loni tak berhak bertanya!"
Siu-lam menghela napas pelahan, ujarnya: "Ah, pertemuan malam nanti, bukan melainkan menyangkut hidup matinya gereja Siau-lim-si, tetapi menyangkut nasib seluruh dunia persilatan...."
Sahut Tay Ih dengan tegas: "Murid Siau-lim-si dari tiga angkatan, telah bersedia mati untuk gereja dan dunia persilatan. Jika Pui-sicu mempunya rencana harap segera memberi tahu!"
"Wanpwe merasa ada suatu hal yang mengejutkan. Hal ini membuat hati wanpwe selalu gelisah. Pertempuran nanti malam, walaupun yang utama karena mengandalkan kesatuan dan persatuan dari seluruh murid-murid Siau-lim-si, tetapi kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay itu sesungguhnya merupakan tenaga-tenaga yang penting sekali. Melainkan tenaganya yang sakti mereka berdua pun memiliki ilmu pukulan yang istimewa.
Menurut hemat wanpwe, kedua tokoh itu tepat sekali untuk menghadapi jago-jago dari Beng-gak. Tetapi yang wanpwe cemaskan adalah apabila mereka berdua sampai dapat dikuasai musuh dan dipergunakan mereka!"
"Sicu menguatirkan watak mereka yang buruk itu akan timbul kembali dan sukar diperingatkan?" tanya Tay Ih.
Siu-lam gelengkan kepala, sahutnya: "Tadi yang bertempur dengan wanpwe, kecuali nona baju merah yang memang menjadi murid ketua Beng-gak, masih ada tiga orang yang merupakan tokoh-tokoh termasyhur di daerah Kang-lam Kang-pak. Dalam pertemuan di gunung Thay-san tempo hari, mereka merupakan tokoh-tokoh yang paling membenci Beng-gak. Tetapi ternyata mereka sekarang menjadi kaki tangan Beng-gak. Inilah yang membuat wanpwe tak habis mengerti...."
Ia berhenti sejenak, menghela napas: "Menilik kepandaian kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay itu, tentu tak sukar untuk menangkap kedua gadis murid Beng-gak. Tetapi anehnya, ternyata kedua anak perempuan itu dapat lolos.
Dan kemudian, wanpwe dapatkan kedua nona itu ternyata bukan murid Beng-gak yang sesungguhnya. Ini lebih mengherankan lagi. Seharusnya Lam-koay dan Pak-koay jauh lebih mudah untuk menangkapnya. Jelas kedua nona itu kepandaiannya tentu lebih rendah dari murid Beng-gak.
Dan ketika bertemu dengan wanpwe, kedua tokoh Lam-koay dan Pak-koay itu tak pernah menyebut-nyebut tentang peristiwa hasil pengejaran mereka. Wanpwe duga, kedua nona itu pasti berhasil meloloskan diri tanpa menderita suatu luka apapun. Inilah yang benar-benar menjadi pemikiran wanpwe...."
"Menilik keadaan Tay Hong sute, loni duga orang Beng-gak itu tentu menggunakan semacam obat untuk menghilangkan kesadaran pikiran orang," kata Tay Ih siansu.
"Penilaian locianpwe itu tepat," kata Siu-lam, "Wanpwe juga menduga mereka pasti menggunakan obat bius untuk menghilangkan pikiran orang, agar orang itu mau menjadi kaki tangan mereka dan menurut segala perintah mereka...."
Dalam pada bicara itu, mereka sudah tiba di ruang tempat hongsio atau ketua gereja.
Lam-koay, Pak-koay dan Siu-lam diperlakukan sebagai tetamu agung dari gereja Siau-lim-si. Di dalam ruang itu sudah siap dengan hidangan yang lezat.
Tay Ih beserta ketiga sutenya, Tay Hi, Tay Lip dan Tay To menemani ketiga tetamunya. Perjamuan itu benar-benar merupakan perjamuan yang istimewa.
Keempat paderi dari angkatan gelar Tay, demi menghormati tetamunya telah sama membuka pantangan minum arak.