Part 23. Ini Sulit

1.3K 60 0
                                    

Shilla menghempaskan dirinya di atas ranjang. Matanya menerawang langit-langit. Bayangan tentang percakapannya dengan Gabriel seakan terekam di depan matanya.

Shilla menghembuskan nafas berat.

Besok semua nya akan terbongkar . Sahabatnya di Hervic akan tahu semua rahasia tentang dirinya. Rahasia yang ia kubur selama ini. Yang berusaha ia tutupi agar tak ada seorang pun yang tahu tentang hubungan nya dan Rio.

Dan sialnya, berkat bibir indah sang Mama, ia sendiri lah yang akan menggali rahasia itu. Membeberkan segalanya pada mereka. Ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka. Reaksi Ify dan terlebih Cakka.

Apa yang kira-kira Cakka lakukan setelah mengetahui semuanya? Apa yang akan pria itu perbuat?

Shilla menggelengkan kepalanya pelan. Berusaha menepis jawaban yang terpikir di otaknya. Ia pun menutup matanya dengan lengan kanannya.

Cukup untuk hari ini. Ia sudah lelah. Ia butuh istirahat.



***



Sivia turun dari mobil nya dan menutup pintu mobil. Belum juga ia melangkah, ia merasakan sebuah tangan tiba-tiba menggenggam lengan nya. Hal itu membuat Sivia tersentak dan langsung menoleh ke samping.

Saat tahu orang itu adalah Shilla, ia menghembuskan nafas lega. Hal gila yang sudah ada di otaknya ternyata tidak menjadi nyata. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Shilla sedikit kesal.
"Lo ngagetin gue tahu nggak."

Telinga Shilla seakan tuli. Ia tak menanggapi ucapan Sivia dan malah menyapu pandangannya ke sekitar. Setelah merasa tak ada yang janggal, ia menoleh kea rah Sivia.
"Lo harus di deket gue hari ini. Gue ngerasa kalo Oik akan nyelakain lo. Jadi jangan misahin diri sama gue. Oke."

Tanpa aba-aba, Shilla langsung menarik Sivia. Hampir saja Sivia terjerembab karena tak siap. Namun ia berhasil menyeimbangkannya. Ia berusaha menyamakan langkah nya dengan langkah Shilla yang terus saja menariknya menuju kelas.



***



Shilla dan Sivia duduk di bangku mereka dan kompak meletakan tas nya di atas meja. Perjalanan mereka tadi mereka rasa sangat panjang. Mereka harus mengawasi keadaan sekitar, takut Oik memasang jebakan lagi untuk mereka.

Namun akhirnya, mereka dapat duduk manis di kelas dengan keadaan baik-baik saja. Entah memang mereka lolos atau Oik memang tidak memasang jebakan.

Shilla memalingkan kepalanya menatap Sivia yang tengah sibuk dengan tab nya.
"Vi, lo jangan kemana-mana hari ini. Tetep di kelas meskipun istirahat."

Sivia menoleh dan menatap Shilla bingung. "Kalo gue laper gimana?"

Shilla tak menjawab. Ia hanya menggerakan tangannya membuka resleting tasnya. Saat ia melebarkan tas itu, Sivia langsung mendelik karena ternyata tas Shilla berisi banyak snack ringan di dalam nya.

Ia menatap Shilla tak percaya. "Pantes aja lo pake ransel hari ini. Prepare amat lo."

Shilla berdecak. "Ini juga buat lo." Tangan nya pun ia gerakan kembali menutup resleting tas nya.

Sivia meletakan tab nya ke atas meja dan memutar duduk nya menghadap kea rah Shilla. "Lo nggak usah nyusahin diri lo. Gue nggak papa kok. Lo nggak perlu ngelindungin gue. Kalo lo kaya gini, gue yang ngerasa nggak enak."

"Ngomong apa sih lo? Gini doang aja ngerasa nggak enak."

Sivia terdiam mendengar itu.

Saat kepala Shilla berpaling kearah nya dan menatapnya, ia masih tak bersuara. Ia hanya bingung bagaimana ia harus mengungkapkan kata-katanya pada Shilla. Ia ingin mengatakan ia bisa melindunginya dirinya sendiri. Tapi ia selalu terkena jebakan Oik saat Shilla tak bersamanya.

Ia ingin mengatakan ....

"Lo nggak usah mikirin apa-apa. Lo tahu, Ify lebih kejam dari Oik dan dia lebih pinter dari Oik. Lengan gue dulu pernah ke silet panjang karena jebakan dia. Lutut gue pernah berdarah, gue berulang kali kepleset, kena siram dia, dan lain sebagainya. Gue kuat, dan gue bisa ngelawan dia. Sampe akhirnya dia malah jadi sahabat baik gue.

Oik nggak ada apa-apanya dari dia. Lo aja bisa ngeberaniin diri lo berhadapan sama Ify dan sahabat gue di Hervic, masa lo nggak kuat sih ngadepin Oik?"

Sivia tak mampu berucap. Benar yang Shilla katakan, terlihat jelas dari luar bahwa Ify lebih mengerikan dari Oik. Tatapan tajam yang sangat mengintimidasinya masih teringat saat mereka bertemu.

Sivia menghembuskan nafas, rasa takutnya pada Ify saja bisa ia kalahkan, ia yakin ia pasti bisa bertahan melawan Oik.

Dan masalah Shilla, kunci agar ia tak menyusahkan nya, bukan dengan cara menyuruh wanita itu tak mempedulikannya. Seberapapun ia berucap, wanita itu tak akan mendengarnya. Yang harus ia lakukan, ia harus bisa lebih kuat dan lebih jeli lagi untuk menghindar dari jebakan Oik. Jika ia bisa melindunginya sendiri, Shilla tak akan lagi bersusah payah melindunginya.




***




"Apa??" suara keras itu menggema di lapangan basket indoor Hervicise School. Semua mata mengarah ke laki-laki jangkung yang berdiri di depan mereka. Menatap pria itu tak percaya.

"Lo lagi nggak bercanda kan?" Sion mengernyitkan dahi nya rapi. Yang dibalas oleh Gabriel dengan helaan nafas ringan.

"Gue serius. Jangan sampe nggak dateng. "

"Emang ada apaan?" Mulut Angel seakan gatal. Ia sangat penasaran untuk apa sahabat nya Shilla harus datang ke basecamp. Pasti ada hal penting jika sudah seperti ini.

"Nanti kalian juga bakal tahu. Bukan tugas gue untuk cerita."

Mereka melepaskan tatapannya dari Gabriel dengan raut kecewa. Ia sangat berharap pria itu memberi sedikit bocoran, tapi nyatanya, pria itu keukeuh untuk bungkam.

Gabriel menyeret pandangannya ke arah Cakka yang masih berdiri dengan tatapan bingung. Ia sangat tahu, sahabat nya itu pasti sangat penasaran. Ia tak bisa membayangkan, bagaimana reaksi Cakka setelah tahu semuanya? Masih kah pria itu mengejar Shilla? Ataukah pria itu akan menyerah?



***



Sivia dan Shilla memakan snack yang tadi Shilla bawa. Sesuai kesepakatan, mereka tidak keluar kelas saat istirahat. Bukan karena Shilla takut pada Oik, ia hanya khawatir imbas dari perbuatannya kemarin justru akan menyerang Sivia.


"Shilla?!" Pekikan seseorang yang tiba-tiba datang membuat Shilla dan Sivia tersentak. Mereka kompak menoleh pada Goldi yang berdiri di depan pintu dengan nafas terengah-engah.

Shilla berdiri dari duduknya. "Kenapa?" Shilla dapat menangkap hawa tak enak sekarang. Melihat raut wajah Goldi ia sudah menebak pasti telah terjadi sesuatu.

Dan sudah ia tebak, pasti ulah Oik.

"Loker lo,"



***



Shilla, Sivia dan Goldi berlari kearah kerumunan orang-orang yang berdiri di depan loker yang berjejer memanjang. Mereka semua berkumpul menutupi barisan loker nya dan Sivia yang memang terletak pada satu blok meski di slot berbeda. Slot mereka yang kebetulan berhadapan membuat mereka berkerumul menjadi satu.

Shilla melihat ekspresi mereka. Mereka saling berbincang dan saling tatap tak percaya. Dan yang paling membuat nya semakin ingin cepat mendekati mereka, karena semua orang disana saling menutup hidung dan mulut mereka.

Shilla dan Sivia berhasil membelah kerumunan itu dengan mudah. Karena saat mereka datang dengan sendirinya semua yang ada di sana menyingkir memberikan jalan.

Mata mereka berdua kompak mendelik dengan apa yang di lihat. Loker mereka berdua terbuka dan segala isi di dalamnya bertebaran di lantai. Semua isinya berubah warna menjadi merah. Entah itu cat atau darah, mereka tak tahu. Loker nya penuh dengan sayatan benda tajam. Dan dengan gilanya, Oik menutupi seluruh bagian dalam loker mereka dengan lumpur. Ditambah telur busuk yang cangkang telurnya masih di dalam. Membuat aroma tak sedap langsung menyeruak ke hidung mereka.

Shilla menarik ujung bibir nya melihat itu. Tak berpikir sedikit pun Oik membalas kan dendamnya dengan hal seperti ini. Ia bahkan menaruh seluruh buku cetak pelajarannya di sana, dan itu sudah tak berbentuk lagi sekarang. Loker nya memang ia kunci, tapi ia sedikit melupakan apa jabatan ayah Oik di sekolah ini.

Ia menyapu pandangan nya kearah semua orang yang kini menatap nya. Tapi ia tak peduli dengan tatapan mereka, matanya langsung bergerak mengarah ke Sivia yang masih terdiam mematung. Mungkin wanita itu shock dengan apa yang dilihat.

"Kita ke kelas aja." Badan Shilla yang sudah berbalik langsung ditahan Sivia dengan melingkarkan jemari nya ke pergelangan tangan Shilla.

"Trus gimana loker kita? Siapa yang bakal beresin?" Sivia menatapi barang-barang nya dengan naas. Dan menatapi dalam lokernya dengan tatapan jijik. "Petugas kebersihan pasti udah dibayar Oik supaya nggak bersihin ini."

"Lo tenang aja, pasti ada nanti."

Shilla mulai melangkahkan kakinya, membuat tangan Sivia terlepas dari pergelangannya. Wanita itu tetap berjalan diiringi tatapan bingung semua orang yang ada di sana.

Rio yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya kecil. Ia yakin, sahabat kecilnya itu pasti menggunakan kekuasaannya untuk hal seperti ini.

Rio pun ikut melangkahkan kakinya. Menyadari sang ketua bergerak, teman-temannya pun ikut berjalan meninggalkan orang-orang yang masih setia berkumpul di sana.



***



Shilla berjalan ke taman belakang perpustakaan. Pikirannya kacau. Kini di dalam otaknya terbesit keinginan untuk membongkar siapa dirinya. Ingin sekali ia berdiri di depan Oik dengan jabatannya dan mengatakan pada wanita itu bahwa Oik dan keluarganya bukan lah apa-apa.

Ingin sekali ia melihat wajah Oik yang panik ketakutan setelah tahu siapa dirinya. Setelah tahu apa yang selama ini wanita itu lakukan pada penerus perusahaan yang sangat terkemuka di dunia.

Tapi tidak. Sisi malaikatnya masih menang melawan ego nya. Itu tak akan bisa ia lakukan. Ia ingin hidup berbeda di Expend. Hidup tanpa sorotan segan dari orang-orang. Hidup tanpa tundukan kepala hormat padanya.

Ia ingin mereka semua memandang nya sebagai murid biasa. Ia ingin guru nya memberi nilai apa adanya sesuai kemampuan nya, bukan memandang jabatan orang tua nya.

Shilla menghempaskan tubuhnya dan duduk di kursi panjang itu. Menghela nafas beberapa kali menenangkan otaknya. Ia harus bisa membalas Oik tanpa harus membongkar jati dirinya. Ia akan membuat wanita itu tak berani menyentuh dirinya dan Sivia.


"Lo mulai lelah keliatannya."

Suara tiba-tiba itu membuat Shilla sedikit tersentak. Ia menyapu pandangannya mencari asal muasal suara itu. Dan pandangannya terhenti pada pohon rindang di seberangnya. Bagian bawah pohon itu tertutup rumput pagar terawat hingga dapat menutupi orang yang duduk di sana.

Shilla berdiri dan berjalan mendekat. Ia dapat melihat seorang pria yang sedang duduk menyender di batang pohon dengan mata tertutup.

Shilla melengos melihat orang itu. Orang yang hampir membuat Cakka dan Rio kembali berkelahi. Orang yang menyebarkan foto nya bersama Rio di dunia maya.

Ya, dia Kiki.

Pria itu membuka mata nya dan melihat Shilla yang tak mau menatapnya. "Ternyata gue bisa ngeliat lo menderita lagi karena Oik tanpa harus gue bersusah payah. Lo tahu? Gue sangat terhibur ngeliatnya."

Shilla menarik sudut bibirnya dan menyeret pandangan nya ke arah Kiki. Ingin rasanya ia melempar sesuatu ke wajah pria itu. Kesal karena penderitaannya malah dijadikan pria itu hiburan.
"Lo pikir gue akan selamanya buat lo terhibur? Sorry, itu nggak akan terjadi. Gue akan bales semua perbuatan Oik ke gue selama ini."

"Dengan apa?"

Shilla yang sudah berbalik akan pergi pun menghentikan langkahnya.

Kiki yang sedari tadi terduduk pun bangkit dan berdiri menatapi punggung Shilla.
"Dengan ngaku lo anak pengusaha terkenal? Lalu lo ngancurin perusahaan keluarganya dan ngebuat mereka bangkrut?"

Shilla mematung di tempat. Ia dapat mendengar suara tawa remeh keluar dari mulut Kiki.

"Apa bedanya lo sama Oik? Lo ngancurin orang dengan jabatan orang tua kalian."


Skak!

Tubuh Shilla membeku. Kalimat Kiki benar-benar menohoknya. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi lidah nya kelu untuk membalas ucapan pria itu.

Shilla pun membuang nafas berat. Membuat pundaknya bergerak naik lalu turun. Ia pun berbalik menghadap pria itu. Senyuman miring pun ia sunggingkan membuat wajah pria itu berubah.

"Lo pikir gue akan ngebongkar jati diri gue demi Oik?" Shilla tersenyum remeh. "Oik nggak se-special itu buat gue. Gue akan ngebales perbuatannya tanpa harus nunjukin siapa gue. Gue akan ngebales tanpa harus ngebawa jabatan orang tua gue, tapi dengan otak dan kekayaan yang gue punya."

Kiki tersenyum sarkartis. "Lo akan ngebayar orang untuk ngerjain dia?"

"Itu bisa dipikirin. Makasih atas solusinya."

Kiki melengos. Ia pun mengambil buku di dekat kaki nya yang memang tadi sempat ia baca di sana. Ia menutup buku itu lalu mengarahkan tatapannya ke arah Shilla.

"Gue tunggu apa yang akan lo lakuin."

Setelah mengucapkan itu, Kiki melangkah meninggalkan Shilla sendiri.

Di tempatnya, Shilla melancarkan tatapan membunuh pada pria itu.
"Brengsek!" Shilla mendengus dan kembali ke arah kursi yang tadi sempat ia duduki.

Membanting secara kasar tubuh nya pada kursi itu. Ia memandang kesal arah depannya. Menghembuskan nafas berulang kali mencoba membuang amarahnya.
"Masa iyasih gue sama kaya Oik?"

"Kata siapa?"

Kedua kali nya Shilla tersentak. Ia menoleh ke sisi kursi itu dan mendapati Rio sudah berdiri di sana. Ia hanya menghela nafas. Kepalanya kembali ia arahkan ke depan tanpa menjawab pertanyaan pria itu.

Ia merasakan hempasan angin di sampingnya. Menandakan Rio telah duduk di sebelahnya.

"Lo kenapa?"

Tanpa menjawab, kepala Shilla langsung jatuh dan bertengger manis di bahu Rio. Membuat Rio sedikit tersentak namun ia biarkan saja. Ia mendengar helaan nafas kuat dari wanita itu. Menunjukan seberapa lelah nya wanita itu sekarang.

Shilla sendiri menutup matanya. Bersender di bahu Rio seperti ini membuatnya nyaman. Pikirannya yang sangat kacau dapat terkurangi dengan sendirinya.

"Lo capek?"

Shilla hanya menganggukan kepalanya tanpa bersuara. Matanya masih terpejam sambil menikmati segarnya angin yang menerpa wajahnya.

"Lo bingung harus ngapain?"

Shilla membuka matanya mendengar itu. Sekali lagi ia menghela nafas.
"Gue udah ngelakuin sesuatu sebenernya. Tapi gue nggak tahu kapan waktu yang tepat untuk ngegunain itu. Yang bisa gue lakuakan Cuma bertahan sampe waktu itu bener-bener dateng."

Rio menolehkan kepalanya. "Emang lo ngelakuin apa?"

Shilla diam sejenak. Ia pun mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Rio. Rio sendiri menatap Shilla penasaran. Apa sebenarnya yang wanita itu rencanakan,

Bukannya menjawab, Shilla malah tersenyum geli ke arah nya. "Kepo lo."

Rio berdesis sambil melengos. Kesal juga dikatai seperti itu diambang kepenasarannya.

Rio pun tak berniat memaksa. Melihat wanita itu kembali tersenyum sudah membuatnya lega.
"Ohya? Lo ada acara malam ini?"

Shilla tersedak saliva nya sendiri. Ia terbatuk-batuk beberapa sangking kagetnya.


Malam ini?

Gabriel?

Astaga! Ia bahkan lupa bahwa hari ini ia akan membongkar rahasianya di depan teman-teman nya di Hervic.

"Shilla?"

"Hah?" Shilla tersentak lagi. Membuat kening Rio mengernyit rapi.

"Lo ada acara malam ini?"

Matilah ia.
Tak mungkin ia mengatakan bahwa ia akan pergi ke basecamp Hervic. Bisa digantung hidup-hidup dia. Tapi, ia juga tak bisa berbohong. Entah bagaimana caranya, Rio pasti tahu jika ia berkata tidak sesuai dengan kenyataannya.

"Lo kenapa sih?"

Shilla segera tersadar dari lamunannya. Ia menatap Rio yang kini lipatan di dahinya bertambah banyak.

"Emang ada apa?"

Pengalihan pembicaraan.
Hanya itu yang bisa ia lakukan. Semoga Rio bisa terpancing lagi seperti sebelumnya.

"Gue pengen ngajak lo ngeliat rumah yang gue beli."

"Rumah?" Shilla menaikan satu alisnya. "Buat apa?"

"Basecamp baru kita. Karena orang tua Alvin udah pulang, kita nggak bisa jadiin rumah Alvin basecamp lagi. Gue pengen lo ngeliat rumah yang gue beli."

Shilla mendengus dan menatap Rio tak percaya. Bisa-bisanya membuang uang untuk membeli rumah hanya untuk dijadikan basecamp. Benar-benar pria itu.

"Mau nggak?" Rio gemas sendiri karena Shilla bukannya menjawab malah menatapnya heran.

"Kenapa harus malem? Kenapa nggak abis pulang sekolah aja?"

"Lo nggak kerja?"

Shilla mengalihkan pandangan nya ke arah depan dan merengut kesal.
"Karena Mama dateng ke tempat salon gue kerja dan nitipin gue ke yang punya salon, gue jadi diemaskan di sana. Gue kesel deh. Gue capek ngebujuk temen-temen gue kerja supaya nggak bersikap sopan sama gue. Gue kan jadi risih. Di sana banyak yang lebih tua dari gue, kan gue yang harus nya bersikap sopan sama mereka."

"Jadi lo keluar?"

Shilla mengangguk lemah. "Tapi gue sering maen kesana dan sesekali bantu mereka. Gue bosen di rumah."

Rio mengangguk mengerti.

"Jadi nanti abis pulang sekolah aja ya, nggak usah malem. Gue capek. Gue pengen istirahat lebih awal."

Rio mengangguk dan tersenyum. "Oke."

Berhasil!
Rio tak curiga padanya. Ia dapat pergi dengan Gabriel tanpa sepengetahuan Rio. Dan yang sekarang kini mengganggu pikirannya, bagaimana ia merangkai kata untuk menceritakan segalanya pada mereka?



***




Shilla berjalan beriringan bersama Rio. Ia sudah tak peduli pada pasang mata yang mengarah pada dirinya. Untuk apa ia sembunyi, ia tak peduli jika Oik akan tahu. Ia tak takut Oik akan marah.

Sedangkan Rio, ia juga acuh. Terserah apa yang mereka pikirkan. Ia tak masalah jika mereka menganggap ia menjalin hubungan dengan Shilla. Toh teman-temannya tak ada yang melarang. Jadi apa yang semua orang di Expend pikirkan, ia tak peduli.

Shilla dan Rio masuk ke dalam kelas. Tepat saat itu Shilla dan Rio dapat menangkap Sivia yang dikerumuni orang-orang. Mata Shilla mendelik melihatnya. Tak butuh waktu lama, Shilla langsung berlari ke arah Sivia. Rio langsung menyeret pandangannya ke arah belakang kelas. Tak ada satu pun teman nya di sana.

Ke mana mereka?


Shilla mendekat ke arah bangku nya. Ia melihat tas nya sudah tersayat-sayat. Buku yang tadi ada di dalam tas sudah tertumpuk di atas meja. Cover buku nya tersayat benda tajam. Saat ia membuka bagian dalam nya, lembar per lembar apa yang sudah ia catat telah tertutup cat berwarna hitam.

Shilla langsung menoleh ke arah Sivia yang sedari tadi bersikap aneh.
"Lo kenapa?"

Sivia tersenyum sarkartis. "Bangku gue dikasih lem, dan sekarang gue nggak bisa berdiri."

Shilla langsung melirik ke kursi Sivia. Ia melihat Sivia yang berusaha melepas rok nya yang tertempel kuat di sana.

Sivia menoleh ke arah Shilla. "Lo ada cara ngelepasnya tanpa harus nyobek seragam gue."

Shilla terdiam. Ia menatapi kursi yang Sivia duduki.

"Gue rasa lo harus beli seragam baru."

Jawaban Shilla membuat Sivia menghembuskan nafas kuat. Jawaban yang menandakan tak ada cara lain selain menyobek seragamnya.

"Gimana gue pulang kalo rok gue sobek. Lo bawa jaket atau cardigan untuk nutupin bagian belakang rok gue?"

Shilla menggeleng pelan. Hal itu membuat Sivia menghembuskan nafas pasrah.

"Gue ada." Suara tiba-tiba itu menyentakan Sivia, Shilla dan yang lain. Orang yang berseru itu membelah kerumunan yang mengerubungi Sivia dan meletakan jaket nya di atas meja di depan Sivia.

Shilla melengos melihat orang yang kini menjadi pahlawan Sivia tersenyum manis pada temannya itu. Melihat senyuman itu membuat Shilla jijik sendiri.

Lain dengan Sivia. Ia tersenyum melihat Alvin yang berdiri di dekatnya.
"Lo keluar waktu sekolah udah sepi. Gue nunggu lo di mobil."

Dahi Sivia mengernyit bingung. "Kita pulang bareng?"

"Ada masalah?" Pertanyaan balik itu membuat Sivia tersenyum tipis dan menggeleng.

Puas dengan jawaban Sivia, Alvin pun mengangguk. Pandangan nya pun ia alihkan pada Shilla yang sedang menatapnya ogah-ogahan.

"Lo pulang sama Rio, ngerti?" Alvin menunjuk Shilla. Membuat orang-orang yang ada di sana kini menatap Shilla dengan pandangan tak suka.

Shilla tak peduli. Ia tak menjawab ucapan Alvin dan memilih duduk di bangku nya yang sudah ia pastikan aman untuk di duduki.

Kerumunan orang satu persatu meninggalkan bangku Sivia. Alvin pun juga sudah kembali ke tempat duduknya.

Shilla memasukan tumpukan bukunya ke dalam tas yang sudah tak layak pakai itu. Oik benar-benar mengambil kesempatan saat ia dan Sivia pergi meninggalkan kelas.

"Tadi buku nya berserakan di lantai, gue yang numpuk itu di atas meja."

Shilla hanya mengangguk tanpa menyahut. Tanpa Sivia bicara Shilla pun sudah tahu. Karena tak mungkin Oik membuat buku nya tertumpuk rapi seperti tadi di atas meja.

Sivia menatap Shilla yang sudah meresleting tas itu hingga tertutup. "Mau lo apa in itu semua?"

"Buang."

Jawaban singkat itu membuat Sivia terdiam. Ia tahu Shilla sekarang sedang kesal. Bagaimana tidak? Ia sangat tahu di dalam buku itu banyak sekali catatan hasil ukiran tangannya. Catatan penting menurut nya dalam setiap pelajaran. Dan dalam waktu tidak lebih dari 30 menit, catatan hasil jerih payah Shilla, hilang begitu saja karena Oik.

Keterlaluan memang!



***



Jam mungkin terlalu cepat berputar hari ini. Entah kenapa matahari sangat cepat menghilang dari peraduannya. Hari semakin menggelap dan hal itu membuat jantung Shilla berpacu lebih cepat.

Mobil Rio sudah terparkir manis di depan villa. Shilla menoleh ke arah Rio yang juga sedang menatapnya.
"Gue seneng lo suka rumah yang gue beli."

Shilla tersenyum tipis. "Yang gue pikirin Cuma satu. Gimana kalo Papa lo tahu?"

Rio menghela nafas dan mengalihkan pandangannya ke depan. "Lo pikir gue peduli." Rio mematikan mesin mobil nya dan kembali menyatukan pandangan nya pada Shilla.

Manik mata hitam kelam namun terlihat bersinar di keadaan remang membuatnya ingin terus menatapnya lebih lama.
.
"Yang gue peduliin Cuma mereka."

Shilla membisu beberapa saat. Baiklah, Aditnya dulu sedikit berubah. Dulu, tak ada satupun orang yang pria itu pedulikan selain dirinya. Tak ada yang pria itu jaga selain Rara yang selalu bersamanya.

Tapi sekarang, Adit yang kini bertumbuh menjadi Rio telah memiliki orang-orang selain dirinya. Banyak yang ia jaga dan yang harus ia lindungi.

Membayangkan itu, Shilla menarik kedua sudut bibirnya. Membuat mata terangnya lebih terlihat berbinar.
"Nggak tahu kenapa gue jadi penasaran. Apa yang ngebuat lo berubah jadi kaya gini?"

Lipatan rapi tercetak di dahi datar Rio. "Maksud lo?"

"Lo dulu benci tanggung jawab. Karena sebuah tanggung jawab Cuma nyusahin diri lo aja. Tapi liat sekarang? Lo mikul tanggung jawab besar sebagai seorang ketua untuk ngejaga harga diri ratusan siswa Expend. Lo harus tetap bertahan ngelawan musuh untuk mereka semua. Apa yang ngebuat lo berubah?"

Rio semakin memperdalam tatapannya pada Shilla. Helaan nafas untuk menjawab pertanyaan Shilla dengan satu kata. "Lo."


Shilla tersentak. Senyum yang ia kembangkan perlahan memudar. Jawaban Rio......maksudnya?

Rio mengalihkan pandangannya ke depan. Bersender di jok mobil dan menatap depan dengan kosong. "Setelah pergi dan pisah sama lo, gue rasa gue kehilangan segalanya. Orang tua gue udah nggak pernah peduli. Gue nutup diri agar nggak berteman sama siapapun."

Shilla memandang sisi wajah Rio. Melihat sorot mata sedih sahabat kecilnya. Ternyata bukan dirinya saja yang terluka saat itu. Bukan dirinya saja yang merasa kehilangan.

"Tapi gue sadar, gue nggak bisa hidup kaya gitu terus. Gue butuh pengisi dari kekosongan gue. Dan akhirnya, secara perlahan gue ngebuka hati gue dan nerima semua orang yang mau berteman sama gue."

Shilla masih terus memperhatikan tanpa berniat bersuara.

"Dan saat SMA, gue mutusin gabung sama mereka. Sama orang yang punya rasa sakit yang sama kaya gue. Sama mereka yang sama-sama kesepian. Gue jadi ngerasa punya saudara setelah gabung sama mereka. Dan saat hati gue udah terisi sama mereka, gue nggak akan biarin gue kehilangan mereka sama kaya gue kehilangan lo. Gue akan lakuin apapun supaya mereka selalu ada di samping gue."

Shilla melepaskan tatapan nya dari wajah Rio dan sedikit menundukan kepala nya. Menatap tangan Rio yang menggenggam kuat persnelling seakan menahan amarah nya.

"Demi mereka, gue siap ngemban tanggung jawab. Demi harga diri mereka, gue akan bertarung habis-habisan ngelawan Cakka. Hanya demi mereka nggak sedih, dan hanya demi gue..." Rio memalingkan kepalanya, membuat Shilla ikut mendongak dan membuat mereka kembali bertatapan.

"Hanya demi gue supaya nggak ngerasain lagi kehilangan, seperti saat gue pisah sama lo."

Hening.

Sunyi.

Bahkan suara jangkrik yang biasa nya mengusik pun tak terdengar lagi.

"Kehilangan lo dulu, alasan terkuat gue sekarang mikul tanggung jawab agar nggak kehilangan mereka."

Shilla tersenyum tipis mendengarnya. Tangannya pun terangkat dan menggenggam tangan Rio yang sedari tadi menggenggam kaku persnelling. Shilla dapat merasakan kekakuan tangan Rio memudar saat tangan nya menggenggam tangan Rio.

"Gue akan bantu lo nggak kehilangan mereka."

Rio tersenyum tipis mendengarnya. Tangan lain yang terbebas pun mengacak-acak rambut Shilla. "Udah malem. Sampe ketemu besok."

Senyum Shilla perlahan memudar tanpa Rio sadari. Salam perpisahan yang membuat ia kembali teringat dengan janjinya pada Gabriel.
Shilla pun mengangguk dan membuka knop pintu mobil Rio. Setelah memastikan Shilla keluar dan menutup pintu mobil itu, mobil Rio pun melaju meninggalkan villa nya.


Namun belum sempat satu langkah ia beranjak, mobil sport yang sangat ia kenal milik Gabriel masuk ke pekarangan villanya.

Shilla menghembuskan nafas.

Oh Tuhan. Ia bahkan belum sempat bernafas normal.
Harus secepat ini kah?


Ia melihat Gabriel keluar dari mobil dan berjalan menghampirinya. Tangan nya memainkan kunci mobil dengan pandangan tak suka pada dirinya.

"Lama banget gue nunggu mobil Rio pergi dari villa ini. Ngapain aja lo di dalam mobil?"

Suara ketus yang Gabriel tunjukan pada dirinya baru pertama kali ia dengar. Selama ini meski menjengkelkan, pria itu tak pernah bicara dengan nada seperti tadi.

"Gue Cuma ngobrol sama dia. Lo nggak usah marah gitu geh sama gue. Dia kan sahabat kecil gue. Lo lupa?"

Terdengar helaan nafas dari mulut Gabriel. Mata nya tertuju entah ke arah mana.
"Dari sekian banyak orang, gue heran kenapa harus Rio."

Pertanyaan itu entah Gabriel tunjukan pada siapa. Shilla hanya diam tanpa berniat menjawab.

Gabriel menyeret pandangannya ke arah Shilla. "Cepet ganti baju. Gue kesel sendiri kalo lama-lama ngeliat lo pake seragam itu. Buruan, gue tunggu di mobil."

Gabriel pun berbalik dan melangkah meninggalkannya. Menuju arah mobil dan dengan cepat masuk ke dalamnya. Tak mau membuat mood Gabriel semakin memburuk, Shilla pun menuruti ucapan Gabriel. Ia berjalan cepat ke arah villanya dan masuk untuk segera mengganti pakaiannya.



***




Langkah kaki Shilla terasa berat saat menuju ke arah pintu utama rumah mewah yang kini sudah ada di depannya. Gabriel sendiri yang berjalan disisi nya terlihat tak sabar karena langkah Shilla memang sangat pelan dan terbilang ogah-ogahan.

Namun pada akhirnya, langkahnya kini sampai di depan pintu. Gabriel pun tanpa dikomando membuka kedua daun pintu itu lebar. Membuat semua orang di dalam langsung menoleh ke arah nya.

Shilla tersentak kaget.

Bagaimana tidak? Mereka semua tak ada satu pun yang memegang alat permainan seperti biasa. Tak ada yang berkeliaran atau jerit-jerit tak jelas. Semua orang di dalam sudah ambil posisi nya masing-masing di sana. Hanya tersisa 1 sofa kosong yang mungkin disediakan untuk dirinya.

Dan wajah mereka saat melihat dirinya datang, sangat menunjukan bahwa sedari tadi mereka semua telah menunggunya.

Shilla menghembuskan nafas tak kentara. Ia seperti sedang di introgasi sekarang.

Shilla tersentak lagi saat Gabriel tanpa aba-aba langsung menariknya. Langkah kaki nya terasa lemas untuk memberontak. Ia hanya mengikuti saja apa yang pria itu lakukan.

Seperti yang ia duga, Gabriel menyuruh nya duduk di satu sofa kosong tadi.

Tepat di depan nya ada Cakka. Disebelah kanan Cakka ada Ify, di sebelah kiri Cakka ada Ray. Dan di lengan sofa di sebelah Ray, Irsyad sudah duduk manis di sana. Di sofa yang lain telah diisi oleh Angel dan Zahra yang di lengan sofa sebelah Angel sudah di duduki oleh Sion. Dan ada sofa lagi beserta tempat duduk yang awalnya tidak ada menjadi ada sekarang. Ada juga yang berdiri dan duduk lesehan di lantai.

Shilla hanya menggeleng pelan. Mereka semua ternyata sudah prepare untuk mendengar cerita nya.

Gabriel yang tadi berdiri di samping nya pun berjalan ke sofa yang di duduki Cakka. Berdiri tepat di sebelah Ify dengan tangan yang dilipat di depan dada.

Wajah kesalnya masih tergambar jelas di sana.

Shilla memejamkan mata nya dan menarik nafas dalam lalu menghembuskan perlahan. Ia kira hal itu dapat mengusir rasa gugup nya, tapi ternyata hal itu salah. Perasaan gugup nya tak berkurang sedikitpun.

"Oke, gue mulai aja." Shilla menatapi sahabat-sahabatnya satu persatu. Dan saat mata nya berhenti pada bola mata Cakka, ia menghela nafas lagi.

"Ada yang mau gue omongin sama kalian. Dan ini........" Shilla menggantungkan ucapannya sesaat. Ia menggigit ujung bibirnya ragu. Matanya mengarah ke Gabriel. Kedua alis pria itu terangkat. Mengisyaratkan ia tak bisa apa-apa dan menyerahkan segalanya pada Shila. Shilla lagi-lagi menghembuskan nafas dan menatap mereka. "...ini soal Rio."


Semua orang di sana tersentak. Terlebih Cakka. Rahang nya mengeras dan tatapannya seketika berubah tajam. Perasaan nya mulai tak enak. Pikiran negative terus saja berputar di otaknya.


"Kenapa sama Rio?" Ify yang tak sabar pun buka suara. Pertanyaan yang mewakili sejumlah besar orang di sana.

"Sebenernya......." Shilla sedikit menundukan kepalanya. Menghindari sorot mata laser yang dipancarkan sahabat-sahabatnya.

"Rio itu.........sahabat kecil gue."


Deg!!


Semua orang terlonjak. Mata mereka mendelik dan kebanyakan dari mereka membuka mulut nya tak percaya.

Shilla mengangkat sedikit kepalanya. Memberanikan diri untuk melihat ekspresi mereka terlebih ekspresi Cakka.

Tak dapat disembunyikan. Pria itu sangat shock dengan apa yang baru saja ia ucap. Mata nya membulat. Rahangnya terlihat kaku. Pandangannya terlihat kosong. Wajahnya terlihat blank. Dan dapat terlihat jelas, pria itu sedang menahan napas nya sekarang.

"Lo......sama Rio......." Suara Angel bergetar. Matanya menunjukan bahwa wanita itu tak percaya.

"Gue akan jelasin." Ucapan Shilla membungkam mulut mereka yang ingin bertanya. Semua mata pun tertuju pada gadis cantik itu. Tak ingin terlewat satu ucapan yang akan ia lontarkan.

"Orang tua gue sama orang tua Rio itu sahabatan. Dulu kita tinggal di daerah yang sama, rumah kita juga berdekatan. Gue sama Rio lahir di tahun yang sama dan Cuma beda bulan. Kata Mama gue, gue sama dia tumbuh bersama. Dari merangkak, belajar jalan dan udah bisa lari, gue terus sama dia. Kita mengenal dunia sama-sama. Kita ngehadapi masalah anak kecil juga Cuma berdua.

Sayangnya itu Cuma bertahan sampai umur gue kira-kira 6 tahun. Di saat umur itu, perusahaan papa Rio berkembang pesat. Dan mereka nggak bisa terus tinggal di sana. Setelah bertukar pikiran sama papa gue, orang tua Rio mutusin untuk pindah.

Saat itu nama nya bukan Rio. Dulu gue sering manggil dia Adit. Jadi saat gue SMA dan sekolah di Hervic, gue sama sekali nggak tahu ternyata Rio yang jadi ketua Expend itu sahabat kecil gue. Gue baru tahu saat Mama gue nemuin gue sama Rio setelah gue pindah ke Expend. Sama kaya kalian, gue juga kaget dan nggak percaya. Gue juga berharap kalo semua nggak bener pada awalnya.

Tapi dia sering banget ngutarain ucapan, dan bertingkah laku yang sering ngingetin gue sama kenangan gue sama Adit dulu. Gue jadi nggak bisa nyangkal. Karena semakin gue lebih dekat sama dia, bayangan Adit terasa nyata dalam diri Rio. Rio emang Adit gue. Sahabat kecil gue. Dia teman pertama gue saat gue di kirim Tuhan ke bumi ini. Rio udah tahu siapa gue sebelum kalian. Rio lebih mengenal gue ketimbang diri gue sendiri."

Shilla menghentikan penjelasannya dan menatapi sahabat-sahabatnya yang diam mematung. Shilla tak kaget dengan ekspresi mereka, sudah ia tebak pada awalnya akan seperti ini.

Di tempatnya, Cakka hanya duduk terdiam. Matanya tak fokus, bahkan nafas nya sendiri susah ia atur. Ini di luar perkiraannya. Hal ini sama sekali tak pernah terbesit di otaknya.

Ia tak menyangka. Ternyata Rio telah mengisi hati dan hari-hari Shilla sebelum dirinya. Bahkan posisi pria itu sangat tertancap kuat di hati Shilla. Pria itu telah menempati tempat tersendiri di hati wanita yang sangat disayanginya.

Rekaman peristiwa yang lalu seketika bermunculan di otaknya. Ingatan saat dirinya bertarung dengan Rio di tempat tinggal Shilla, pada malam ia melihat foto Rio yang menggenggam tangan Shilla yang tersebar luas di media social. Kata-kata pria itu, kata-kata yang sempat Rio ucapkan di tengah perkelahiannya seketika langsung berdengung dengan keras di telinganya.


"Lo pikir lo siapa, HAH!! Bukan gue yang ngerebut Shilla dari lo! Justru lo yang NGEREBUT DIA DARI GUE!!"


Saat itu, ia tak menanggapi ucapan Rio. Ia hanya menganggapnya angin lalu. Ia tak menyangka bahwa itu terkait dengan masa lalu pria itu bersama Shilla. Ia tak menyangka, dibandingkan dengan Rio, ia bukanlah apa-apa.

Shilla menarik matanya ke arah Gabriel. Mengatakan lewat sorot mata nya bahwa ia sudah memenuhi keinginan pria itu.

Gabriel hanya menghela nafas melihat raut wajah Shilla. Raut wajah yang menunjukan bahwa wanita itu tak sadar penjelasan tadi belumlah sepenuhnya.
"Gue rasa ada satu hal lagi yang mau lo omongin ke kita."

Suara Gabriel membuat semua pasang mata langsung menyorot pria itu sesaat dan dengan cepat beralih pada Shilla.

Shilla memejamkan matanya frustasi. Gabriel benar-benar menyebalkan.

Shilla pun mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk. Sorot mata penasaran terus terlihat pada pasang mata mereka.

"Gue......dijodohin sama Rio."


JDARR!!


Bagaikan petir menyambar hati mereka. Mereka semua terlonjak kaget dari tempat nya. Semua orang mendelikan matanya dan membuka mulutnya tak percaya. Ify bahkan sampai menutup mulut dengan satu tangannya sangking kagetnya. Angel pun memegang dada nya karena ia merasa jantung nya nyaris loncat dari tempatnya.

Cakka.

Jangan ditanya ekspresi pria itu. Ekspresi yang paling shock dan terlihat mengenaskan dari yang lain.

"Apa lo bilang?"

Meski hanya 3 kata, Cakka sangat sulit untuk mengucapkannya. Ia harus melawan dada nya yang masih nyeri dan berusaha mendesak katup kerongkongannya yang tiba-tiba tertutup rapat.

Shilla pun dengan cepat buka suara sebelum semuanya salah paham. "Gue emang dijodohin, tapi Rio udah ngebatalin perjodohannya."

Semua langsung menatap Shilla, berharap apa yang diucapkan wanita itu memang benar. Rasa lega langsung menyeruak ketika Shilla menunjukan bahwa ia tak main-main dengan ucapannya. Dan Cakka, pada akhirnya, ia dapat menghembuskan nafas nya, meski dengan susah payah.

"Kenapa?" Dan untuk pertama kali dalam beberapa minggu ini, Ray akhirnya buka suara. Ia sudah mendengar memang, ikatan di rahang Ray sudah terlepas, tapi pria itu belum boleh berbicara. Masih terasa sakit saat pria itu membuka mulutnya. Malam inilah ia pertama kali bersuara. Suaranya terdengar kaku. Mungkin rasa penasarannya mengalahkan rasa nyeri di rahangnya.

Shilla menghela nafas lirih. "Rio nggak mau ngekang gue dalam ikatan perjodohan. Dia pengen gue bebas tanpa harus terikat."

Mereka semua terdiam.

Mereka bingung harus mengatakan apa. Lidah mereka terasa kelu sekarang.

Shilla kembali menatap Gabriel. Kali ini pria itu mengangguk dan melepas lipatan tangannya di depan dadanya.

Pria itu berjalan mendekat menghampiri dirinya. Ingat dengan pesan Shilla bahwa wanita itu ingin segera pulang setelah mengucapkan semuanya.

Gabriel menatap teman-temannya yang pandangannya sudah tak fokus lagi.
"Gue anter Shilla pulang dulu."

Tak ada jawaban.

Gabriel merasa jiwa mereka belum kembali karena pernyataan Shilla tadi. Terlalu shock mungkin. Ia melihat sahabat nya-Cakka. Wajah pria itu tak dapat dideskripsikan. Diantara yang lain, ia sangat tahu bahwa Cakka lah yang paling terpukul di sini.

Gabriel menyenggol lengan Shilla. Menyadarkan wanita itu agar segera berdiri dari duduknya.

Shilla mengangguk dan menatapi teman-temannya yang masih mematung. "Gue balik dulu ya semua."

Shilla langsung berdiri. Ia juga tak berharap mereka akan membalas ucapannya karena sudah melihat reaksi mereka saat Gabriel berkata sebelumnya.

Shilla hanya melangkah mengikuti Gabriel yang telah berjalan lebih dulu ke pintu keluar. Shilla membiarkan saja pintu terjeblak terbuka. Mereka butuh udara segar untuk mendinginkan otak meraka.


Dan saat deru suara mobil menghilang dari pandengaran mereka, mereka semua menghembuskan nafas kompak. Serasa menahan nafas sedari tadi. Mereka membuang karbon dioksida yang menyumbat paru-paru mereka sekuat yang mereka bisa.

Ray, Ify, Zahra dan Angel kompak membanting punggung mereka ke badan sofa. Mereka sangat frustasi dengan apa yang baru saja mereka ketahui. Kenyataan yang sulit mereka terima.

Sedangkan Cakka, tubuhnya masih kaku. Duduk nya masih seperti semula.

"Fy, lo beneran baru tahu soal ini?" Sion melolongkan kepalanya agar ia dapat melihat wajah Ify dengan jelas.

"Lo nggak ngeliat muka gue? Apa muka gue ini ngeliatin kalo gue nggak kaget sama apa yang Shilla omongin?!" Ify berbicara ketus. Kesal sendiri disaat marah yang entah muncul darimana sedang mendidihkan otaknya ia malah ditanya hal yang tak penting.

Sion menipiskan bibirnya mendengar suara layak nya silet dari Ify. Sungguh, ia menyesal telah bertanya.

Irsyad menepuk pelan Cakka yang masih terjangkau oleh tangannya.
"Kka, gimana? Musuh besar kita, ternyata sahabat nya Shilla."

Cakka hanya menghela nafas lirih. "Gue nggak tahu seneng atau sedih ngedenger hal ini."

Dahi Zahra mengernyit. "Mana bagian yang harus disenengin coba?" Zahra menatap Cakka gemas. Dari yang ia tangkap, tak ada bagian yang bagus dari cerita sahabatnya tadi.

"Sebelumnya, gue kira mereka itu saling suka atau malah mereka udah pacaran. Hati gue sedikit lega karena mereka cuma sekedar sahabat. Layaknya gue sama Ify."

Ify melirik Cakka sekilas. Namun ia segera menghembuskan nafas dan memejamkan matanya. Pikirannya sangat penat malam ini. Shilla berhasil membuatnya tak semangat dalam sekejap.

"Itu senengnya. Dan sedihnya, sama apa yang kalian rasa. Gue nggak nyangka musuh gue malah sahabat orang yang paling gue kasihi. Dan yang paling buat hati gue perih, gue ngerasa kalah telak sama Rio. Dulu gue ngerasa kalo gue orang yang paling ngerti Shilla. Tapi ternyata, gue nggak ada apa-apanya."

Penjelasan Cakka membuat semua terdiam.

"Apa yang mau lo lakuin?" Dengan pelan Ray kembali bersuara. Mereka bahkan lupa kalo selama berminggu-minggu ini mereka tak mendengar suara Ray. Mereka malah bersikap biasa Ray mulai bisa berbicara.

"Gue nggak tahu."

"Lo bakal lebih susah ngedapetin Shilla." Ify membuka matanya dan menegakan duduknya. Menoleh ke arah Cakka yang tak menatapnya, tapi wajah Cakka menandakan bahwa pria itu sedang mendengarkan.

"Rio pasti nggak setuju sama lo. Dia nggak akan ngebiarin lo untuk deket sama Shilla. Dan menurut lo, apa yang bakal Shilla lakuin? Nurutin kemauan orang yang dia sayang dan berharga di hati dia atau milih lo yang jelas-jelas udah nyakitin dia? Gue rasa Shilla akan lebih milih Rio daripada lo."

Cakka terdiam.

Begitu pula yang lain.

Mereka tak mampu bersuara. Tak ada yang menyangkal atau mengeluarkan pendapat.

Cakka mengusap wajah nya. Ia benar-benar tak tahu harus apa sekarang. Ia butuh sendiri. Ia ingin memikirkan semua nya dalam keadaan sunyi.

"Gue balik duluan."

Tak menunggu jawaban temannya, Cakka langsung beranjak dan menyambar kontak mobil nya. Dengan langkah besar-besar pria itu melangkah. Yang melihat hanya bisa terdiam tanpa bersuara, ia tahu Cakka membutuhkan ketenangan. Mereka tak bisa menahan pemimpinnya.

Dalam hati mereka berdoa, semoga Cakka baik-baik saja sampai rumahnya. Mengingat pria itu seperti orang kesetanan jika sedang emosi. Ia tak ingin pemimpinnya mati konyol karena masalah ini.

BondsWhere stories live. Discover now