BRAKK!!
Seorang pria membanting koran yang ia pegang secara kasar ke atas meja. Pria itu dengan marah nya berdiri. Menatapi puluhan anak buahnya yang sedang menunduk itu dengan geram.
"Kalian sebanyak ini tidak bisa membawa anak saya pulang!! Kalian ini lemah atau gimana?!!"
Seorang wanita yang tadi duduk di sampingnya pun berdiri. Ia mengusap bahu suaminya itu pelan.
"Sabar, Pa. Udah, nggak usah marah-marah lagi."
Pria itu memalingkan wajahnya, masih dengan amarah yang mengepul di kepalanya.
"Gimana saya nggak marah, mereka itu saya bayar karena kemampuan bela dirinya. Mahal-mahal saya bayar mereka malah babak belur dengan bocah-bocah SMA. Apa itu nggak keterlaluan?!!"
Para orang yang berpakaian hitam itu semakin menundukan kepalanya. Tentu merasa malu dan tak enak akibat ucapan bos nya itu.
Sang istri hanya menghela nafas. Ia pun menarik tangan suami nya agar kembali duduk. Beruntung suaminya menurut. Melihat sang suami yang hanya menghembuskan nafas berulang kali, wanita itu menatapi para bodyguard nya.
"Kalian boleh bubar." Suara wanita itu tenang.
Para bodyguard itu pun mengangguk dan kompak bubar dari barisannya.
Setelah para anak buahnya menghilang, wanita itu duduk di samping suaminya yang pandangannya masih hampa.
"Pa, tenang." Tangannya mengusap bahu sang suami. Berharap cara ini berhasil menurunkan emosi suaminya.
Suaminya itu masih diam. Amarah nya masih ada, meski tak sehebat tadi.
"Papa kira Alvin sudah bisa diandalkan."
Mama nya itu terdiam. Pergerakan tangan nya terhenti karena ucapan sang suami. Pandangannya ikut hampa. Ia juga merasakan hal yang sama dengan suaminya.
Kecewa.
Yah, ia kecewa. Kecewa karena Alvin tumbuh tidak seperti dengan apa yang ia bayangkan. Saat mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia, mereka hanya datang untuk menjemput Alvin dan menginginkan Alvin untuk mulai belajar bisnis di luar negeri.
Namun apa yang mereka dapat. Harapan satu-satu nya mereka hancur. Anak tunggal mereka besar dalam lingkungan yang salah.
"Gimana, Ma? Ngeliat Alvin kemarin, Papa nggak yakin dia mau menuhin permintaan kita."
Istri nya menurunkan tangannya dari bahu sang suami dan menyenderkan punggung nya ke badan sofa.
"Menurut Mama, kita jangan buru-buru. Jangan dulu paksa Alvin pulang ke rumah. Biarin aja dulu. Ya?"
Suaminya menghela nafas tak tahan. "Tapi sampai kapan? Kita nggak selama nya disini."
"Sampai Alvin tenang. Baru kita bicara sama dia."
Pria itu hanya menatapi istri nya. Ingin menolak, karena batas ketenangan Alvin tidak dapat dipastikan. Namun karena tak ada cara lagi, ia hanya dapat mengangguk pelan. Berharap semua akan berlangsung cepat. Ia tak bisa rehat terlalu lama meninggalkan perusahaannya.
***
Mobil porsche merah itu berhenti di depan villa.
Rio memalingkan kepalanya saat Shilla melepas safety belt yang melingkar di tubuh wanita itu.
"Gue nggak mampir ya. Mau langsung pulang aja."
Saat safety belt terlepas, Shilla ikut memandang Rio. "Baguslah, gue juga bosen ngeliat lo."
Rio berdesis kesal mendengarnya. Ia membalas ucapan Shilla dengan tangan yang mengacak-acak rambut hitam wanita itu.
"Iss..." Shilla memukul tangan Rio yang mengacak-acak rambutnya. "Berantakan tau." Bibirnya merengut. Tangan nya pun jadi sibuk membenahi rambutnya yang tak beraturan lagi.
"Mau masuk rumah gini ngapain dibenerin. Udah sana masuk."
Shilla mencibir mendengarnya. Ia pun membuka pintu mobil Rio. Sebelum ia keluar, ia sempatkan menoleh ke arah pria itu.
"Nggak usah ngebut pulangnya. Nyawa lo itu Cuma 1. Nggak sayang apa kalo ilang."
Setelah itu, Shilla benar-benar keluar dari mobil Rio dan berjalan ke arah villa tanpa menoleh kebelakang.
Rio melihat punggung wanita yang sangat disayanginya itu yang semakin menjauhi mobilnya. Selintas bayangan kembali hadir diingatannya. Suara gadis kecilnya tiba-tiba terngiang di gendang telinganya.
"Nggak usah ngebut-ngebut dong kalo naik sepeda. Kamu kan Cuma punya nyawa 1. Kalo ilang, yang jagain aku nanti siapa?"
Rio menarik ujung bibirnya.
"Seandainya kalimat terakhir yang dulu lo ucapin ikut terlontar, gue bener-bener rela untuk ngejual mobil ini." Rio tersenyum penuh arti pada punggung Shilla.
Ia pun menghela nafas nya. Kepalanya ia palingkan ke arah depan. Tangannya pun menggerakan persnelling dan menginjak pedal gas. Mobilnya pun melaju meninggalkan pekarangan villa itu.
***
Shilla menoleh ke belakang dan mendapati mobil Rio yang melaju pergi. Ia tersenyum. Berdoa dalam hati agar pria itu baik-baik saja dalam perjalanannya.
Ia pun kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya.
Namun saat ia melewati teras, matanya menangkap sesuatu yang ada di atas meja paling ujung terasnya.
Dahinya mengernyit. Kaki nya pun ia tuntun untuk mendekati meja itu.
Saat sudah dekat, ia melihat jelas sebuket mawar putih di atas sana. Bunga yang sama yang dikirimkan Cakka pagi tadi.
Ia pun mengambilnya, membaca tulisan di kertas yang menggelantung di pita bunga itu.
Mimpi indah :)
Kedua ujung bibirnya refleks tertarik. Ia tak tahu kapan Cakka meletakan bunga ini. Ia juga tak mengira Cakka akan tahu jika ia pulang larut malam.
Ia menoleh ke arah halaman depan. Ia menghembuskan nafas lega. Beruntung sekali Rio tidak mampir malam ini. Jika Rio sampai tahu, keadaan akan semakin kacau.
Ia pun melangkahkan kaki nya lagi. Membawa bunga itu masuk ke dalam rumahnya.
***
Shilla melangkah munuju ke arah kelasnya. Dahinya seketika terlipat melihat 2 kawan sekelasnya ada yang keluar dari kelas sambil menurunkan tangan dari hidungnya.
Dua orang itu berjalan ke arah Shilla. Saat mereka berdua berada pada jarak yang dekat dengan nya, ia dapat mendengar perbincangan mereka.
"Dari mana sih baunya?"
"Nggat tahu. Busuk banget lagi."
Hanya itu. Setelahnya mereka diam dan melewatinya.
Shilla semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi.
"Hey." Seseorang menepuk pundak Shilla.
Shilla menoleh. Terlihat Sivia yang juga baru datang karena masih terlihat menenteng tas ransel nya.
Belum Shilla mengucapkan sepatah kata, 4 orang keluar dari kelas dan melakukan hal yang sama dengan 2 orang yang tadi keluar. Dan salah satu nya adalah Ozy. Bahkan pria itu mengibas-kibaskan tangannya ke depan hidung.
Dengan rasa penasaran, Shilla langsung berlari ke arah Ozy. Sivia, wanita itu hanya mengikuti Shilla dengan penuh tanda tanya.
"Zy.."
Pria imut itu menoleh ke arah Shilla dan Sivia yang datang menghampirinya. Ozy tak menjawab, pria itu hanya tersenyum kepada mereka.
"Kenapa sih?" Shilla melihat ke dalam kelas. Sivia yang tak mengerti juga ikut menoleh.
Ozy yang langsung paham hanya mengendikan bahu. "Nggak tau tuh, kelas kita tiba-tiba bau busuk."
"Hah?" Kompak Shilla dan Sivia. Sivia menoleh ke arah Shilla yang menatap ke dalam kelasnya. Entah apa yang dipikirkan temannya itu, Shilla menjadi diam seribu bahasa.
"Ada apa?"
Sivia dan Ozy menoleh. Didapatinya Rio, Alvin, Debo dan Goldi sudah ada di sana. Memandang Sivia dan Ozy penuh tanya mengapa mereka bertiga tidak masuk ke dalam kelas.
Belum kata-kata terucap dari mulut Ozy, pergerakan Shilla yang tiba-tiba berjalan menarik perhatian mereka. Mereka kompak menatapi Shilla yang masuk ke dalam kelas penuh heran. Sivia pun mengikuti Shilla, sedangakan mereka berlima, ikut berjalan namun berhenti dan memilih berdiri berjejer di depan pintu dengan hidung yang mereka sumbat dengan tangannya.
***
Sivia berusaha menumpulkan penciumannya kali ini. Ia melangkah ke arah Shilla yang mendekati bangkunya.
"Shill, ngapain sih? Keluar aja, yuk. Bau tau."
Shilla pun berhenti dan berbalik ke arah Sivia yang berdiri di belakangya.
"Lo nggak sadar. Bau nya semakin tajam di deket bangku kita."
Otot wajah Sivia mengendur seketika. Tiba-tiba terlintas pikiran yang mungkin sama dengan Shilla. Tanpa ba-bi-bu, Sivia langsung berjalan melewati Shilla dan semakin mendekat ke arah bangkunya. Bau yang semakin menyengat ini tambah meyakinkan dirinya bahwa sumber bau itu dari bangku nya.
Sivia langsung berjongkok. Mencari ke bawah bangkunya. Siapa tahu ada sesuatu di bawah lantai. Namun ia tak menemukannya.
Saat ia akan berdiri, mata nya pun menangkap sebuah kotak di lacinya. Kotak yang tak ia kenali. Dengan ragu, tangannya pun terulur dan mengambilnya.
Saat kotak itu benar-benar keluar, bau busuk semakin merebak ke seluruh ruangan. Sivia yang melihat apa isi kotak itu langsung mendelik dan menjerit keras.
"AAAaaaa....!!"
Sivia reflaks melepaskan kotak itu dan mundur beberapa langkah.
Shilla langsung berjalan cepat menghampiri Sivia. Mata nya ikut membulat dan tangannya refleks menutup mulut dan hidungnya.
Kotak itu... berisi tikus mati.
Dengan darah yang mengering dan lalat hijau yang mengerubunginya.
Bahkan, di dalam tubuh tikus itu sudah terdapat belatung.
"Sh...Shillaaa..." Sivia menutup seluruh wajahnya karena ketakutan. Melihat itu, amarah nya benar-benar tersulut.
Oik!
Shilla langsung berbalik dan melangkah besar-besar. Tak peduli dengan orang-orang yang menatap nya di luar atau di dalam kelas. Ia harus menemui wanita gila itu.
Namun saat melewati pintu, langkahnya harus terhenti karena tangan nya dengan sigap ditahan oleh Rio.
"Lepas!" Shilla berusaha menghentakan tangan Rio, namun sialnya tenaga Rio lebih besar darinya. Ia sama sekali tak bisa bergerak.
"Apa yang mau lo lakuin, hah?" Rio masih berusaha menahan tangan Shilla yang terus memberontak melepaskan diri.
"Gue mau buat perhitungan sama cewek itu. Gue bakal......."
"Cukup!" Bentakan Rio mampu membuat Shilla terdiam. Mata Shilla yang memerah marah menatap mata nya tajam. "Udah, Shilla." Suara Rio mulai memelan.
"Percuma. Dia nggak akan dengerin omongan lo dan nggak akan peduli sama apa yang lo lakuin ke dia. Lo cuma buang-buang tenaga."
Tangan Shilla yang ada dalam genggaman Rio melemas. Merasakan itu, Rio pun melepas tangan Shilla dan menatap wanita itu yang membuang nafas nya kesal.
"Brengsek! Nggak akan gue biarin." Hanya umpatan lirih. Yang dapat mendengar umpatan itu hanyalah Rio.
Pria itu menatap Shilla yang menurutnya terlihat lebih mengerikan sekarang. Bahkan timbul keraguan dalam hatinya apakah benar wanita itu adalah gadis kecilnya yang dulu sangat manis dan lugu.
***
Bel istirahat Hervicise School berbunyi.
Deringan itu membuat seluruh siswa berbondong-bondong memenuhi koridor yang menuju ke arah kantin. Begitu pula ketiga siswi ini. Mereka bertiga berjalan dengan percakapan ringan yang diiringi tawa Angel dan Zahra.
Sedangkan Ify, ia hanya tersenyum kecil mendengar ucapan mereka sambil terus menatap ke depan.
Namun dengan tiba-tiba, Ify menghentikan langkah nya. Membuat ke dua teman yang memang berjalan agak di belakang harus menabrak pundak Ify.
"Aduh, Fy. Ngerem nya jangan dadakan dong." Angel mengusap bahu kanannya yang terpantuk pundak Ify.
Ify tak menjawab. Hal itu membuat kedua temannya ini mengikuti arah pandang Ify yang ternyata jatuh pada Gabriel yang berjalan ke arah mereka.
Angel dan Zahra saling melirik sambil melempar senyum.
"Mau ke kantin?" Gabriel menatap satu persatu dari ketiga gadis di depannya. Namun tumpuan tatapan terakhir jatuh pada Ify.
Gadis itu pun langsung mengalihkan pandangannya. Menjauhi mata nya agar tidak bertatapan dengan pria itu.
Gabriel yang menyadarinya hanya menghela nafas tak kentara. Ia harus lebih bersabar menghadapi sifat Ify.
"Iya, Yel. Yang lain mana?" Zahra mengedarkan pandangannya ke belakang Gabriel dan tak menemukan siapa pun di sekitar nya.
"Mereka udah ke kantin duluan. Tadi gue ke kamar mandi dulu soalnya. Yaudah yuk, kita bareng."
Zahra dan Angel mengangguk. Mereka berdua saling tatap dan tersenyum penuh arti. Zahra menggerakan kepalanya, mengisyaratkan Angel untuk maju. Angel pun mengangguk.
Angel berjalan melewati Ify dan di susul oleh Zahra.
"Yaudah yuk, jalan."
Tanpa dosanya, mereka berdua berjalan mendahului Ify dan meninggalkan temannya itu berdua bersama Gabriel.
Ify yang sadar akan hal itu mendelik kesal. "Heh, lo berdua! Tungguin!"
Namun sayang, teriakan itu tak dianggap oleh Zahra dan Angel. Mereka berdua malah mempercepat jalannya dengan tawa yang mengiringi tiap langkah mereka.
Ify yang merasa diacuhkan hanya mencibir kesal.
"Sialan mereka berdua."
Ify menoleh sesaat ke arah Gabriel, ternyata pria itu tengah menatapnya. Ify pun langsung melepas kontak mata dengan pria itu, ia lebih memilih berjalan meninggalkan Gabriel di sana.
Gabriel menggerakan tubuhnya menghadap punggung Ify. Ia hanya tersenyum kecil dan ikut berjalan menyusul wanita itu. Meski ia sadar langkah Ify yang dipercepat, Gabriel berusaha untuk menyamai langkahnya.
Dan karena usahanya yang ia rasa sia-sia, Ify pun mengalah. Ia memelankan langkahnya karena merasa tak akan bisa menghindar dari mantan kekasihnya itu. Zahra dan Angel benar-benar berhasil membuat nya berjalan beriringan dengan pria ini.
Hanya keheningan yang tercipta dalam tiap langkah mereka. Namun karena tak kuasa menahan ego nya, Gabriel pun menahan lengan Ify dan membuat langkah Ify berhenti.
Ify menatap Gabriel penuh tanya. "Kenapa?"
Gabriel yang ditatap seperti itu hanya menghela nafas frustasi. "Lo bener-bener nggak mau kasih kesempatan buat gue?"
Ify menarik ujung bibirnya dan melengos dari tatapan Gabriel. "Kesempatan apa? Kesempatan untuk nyakitin gue lagi?"
Gabriel tersentak.
"Bukanlah. Kesempatan buat perbaiki semua kesalahan gue."
"Gue udah ngasih kesempatan sama lo."
Dahi Gabriel terlipat rapi. Ia merasa Ify tak pernah memberi nya kesempatan itu. "Kapan?"
Ify kembali menyeret pandangannya ke arah Gabriel. "Lo pikir gue mau ngobrol sama lo gini bukan sebuah kesempatan?"
Gabriel terdiam sambil menatap mata coklat di depannya kini.
"Gue kasih lo kesempatan untuk jadi temen gue."
Ify menghentakan pelan tangannya dari genggaman Gabriel. Wanita itu meninggalkan Gabriel yang masih terbengong di sana. Mata nya menerawang tak tentu arah.
Ia bingung. Bingung harus melakukan apa.
Bukan sebagai teman yang ia inginkan. Ia menginginkan lebih dari itu. Ia kini benar-benar menyadari bahwa dirinya masih menyayangi wanita itu. Ia ingin memperbaiki segala kesalahannya. Ia ingin kembali berada di sisi Ify.
Tapi pintu hati itu mungkin benar-benar sudah tertutup. Tapi ia tak akan menyerah. Yang harus ia lakukan hanya terus mengetuk pintu itu. Terus dan terus. Hingga berharap pemilik hati itu membukakan pintu dengan sendirinya. Menyambutnya dan menawarkan untuk kembali masuk ke dalamnya.
Gabriel mengangguk. Baiklah. Dimulai dari teman. Seperti Cakka, ia akan berusaha kembali mendapatkan hati seorang wanita.
***
Shilla dan Sivia berjalan setelah mereka keluar dari kamar mandi. Mereka berdua saling bercakap-cakap ringan. Saat mereka berdua tertawa, tawa Shilla seketika redup saat melihat dua orang wanita berjalan ke arah mereka.
Shilla menatap dua orang itu aneh. Shilla tak mengenal mereka. Namun mata mereka berdua terus mengarah ke Sivia.
Salah seorang dari mereka membawa satu cup minuman bersoda. Saat mereka semakin dekat, Shilla baru menyadari ternyata cup yang dipegang wanita itu tak bertutup. Dan seperti apa yang ia duga, orang yang membawa cup itu pura-pura menyandungkan kakinya ke lantai.
Sadar akan apa yang terjadi, Shilla langsung menarik lengan Sivia cepat.
Sivia tersentak. Belum sempat sadar, ia merasakan sisi lengannya tiba-tiba basah. Saat ia menoleh, ia baru menyadari, tumpahan air bersoda sudah menggenang di lantai.
Sivia mematung sejenak, namun tak lama, ia segera tersadar dan menoleh ke arah Shilla yang terlihat sangat khawatir padanya.
"Lo kena?" Shilla melihat lengan blezer kanan nya yang basah.
Sivia hanya tersenyum menenangkan. "Nggak papa. Ini lebih baik dari pada baju gue harus basah semua." Sivia mengibaskan tangannya dari air soda yang menempel di blezer nya.
Shilla menoleh ke arah dua orang tadi. Melihat tatapan Shilla, dua orang itu dengan cepat berlari melewatinya.
"Heh, mau kemana lo!" Shilla sudah berbalik dan akan mengejar, namun dengan cepat Sivia menahan lengannya.
"Udahlah, gue cuma basah dikit kok."
Shilla menatapi Sivia yang masih tersenyum padanya. Ia memalingkan wajahnya sambil berdecak kesal. Ia tak bisa melakukan apa-apa, dengan terpaksa, ia menganggukan kepalanya dan menapuk pundak Sivia.
"Lo sabar ya. "
Sivia mengangguk. "Iya. Lo tenang aja."
***
Setelah kejadian tadi, Sivia dan Shilla berjalan menuju kelas mereka. Namun langkah Sivia memelan ketika melihat 5 orang pria sedang duduk dan saling tertawa di halaman depan kelasnya. Mata Sivia terfokus pada satu orang di sana. Satu orang yang berbicara sambil memainkan ilalang di tangannya.
"Lo mau ngomong sama dia?"
Sivia tersentak.
"Apa?"
Shilla hanya tersenyum dan menghentikan langkahnya. Sivia pun juga ikut berhenti dan menghadap ke arah Shilla.
"Lo nggak mau ngeringanin masalah dia?" Shilla menatap Sivia yang langsung diam. "Kemarahan lo kemaren termasuk salah satu masalah di pundak dia."
Sivia masih diam tak mau bicara.
"Lo nggak berniat untuk ngangkat masalah dia satu aja. Untuk sekedar ngeringanin beban dia."
Sivia memalingkan tatapannya ke arah Alvin. Pria itu masih asik tertawa dengan teman-temannya. Tawa yang ia tak tahu tuluskah dari hatinya atau hanya sekedar topeng saja.
Sivia pun menoleh ke arah Shilla. Ia melihat Shilla yang masih menatapnya dengan tatapan memohon padanya.
Tak berapa lama, akhirnya Sivia mengangguk. Memutuskan untuk berbicara pada Alvin sekarang. Ia kemudian berjalan lebih dulu, meninggalkan Shilla dan menghampiri 5 orang itu yang masih sibuk bercerita di halaman depan kelas nya.
Saat ia mendekat, Debo dan Goldi lah yang pertama kali menyadarinya. Karena Ozy, Rio dan Alvin berada pada posisi yang membelakangi Sivia.
Tanpa Sivia mengucapkan kata, seperti nya Goldi dan Debo langsung peka mengapa Sivia datang. Goldi pun dengan cepat menepuk pundak Rio.
"Yo, ikut gue geh. Ayo, kalian di sini dulu." Goldi langsung menarik tangan Rio dengan paksa. Awalnya Rio tak mengerti, namun saat ia berdiri dan berbalik, ia langsung paham karena Sivia telah berdiri di belakangnya.
Debo langsung memegang perutnya dan pura-pura meringis. "Aduh, perut gue sakit banget. Zy, anterin gue ke kamar mandi yuk."
Ozy bergidik melihatnya. "Dih, ngalem amat lo. Kaya cewek aja minta ditemenin."
Debo mendelik. "Bawel lo. Buruan." Tanpa persetujuan, Debo langsung menarik tangan Ozy. Ia pun tanpa perasaan menyeret Ozy untuk mengikuti langkahnya.
Alvin hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan temannya itu. Namun saat ia akan berdiri, ia dikagetkan dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.
Alvin tersentak ketika tahu siapa orang yang di sampingnya kini. Wanita yang hampir membuatnya pecah kepala.
"Sivia?"
Sivia hanya tersenyum melihat raut terkejut dari wajah Alvin.
"Lo....ngapain disini?"
Sivia menoleh. "Nggak boleh?"
Alvin langsung menggelengkan kepalanya cepat dengan tangan yang melambai. "Bukan. Bukan nggak boleh. Cuma.....Cuma heran aja. Bukannya......lo.......masih marah sama gue?" Alvin menatap Sivia penuh selidik.
Sivia pun tersenyum dan menggeleng. "Nggak kok. Gue nggak marah lagi sama lo."
Alvin membelalakan matanya tak percaya. "Serius?"
Sivia mengangguk.
Alvin menghembuskan nafas lega. Serasa melepaskan beban berton-ton di pundak nya. Bahu nya terasa lebih ringan sekarang.
Alvin menoleh dan tersenyum ke arah Sivia. "Makasih ya, Via. Maaf kalo kemaren udah nyakitin lo."
Lagi-lagi Sivia mengangguk. Ia tersenyum tipis melihat Alvin. Awalnya ia ragu jika urusan nya dengan Alvin kemarin menjadi beban untuk pria itu, memang siapa dirinya dan sepenting apa dirinya hingga dijadikan beban. Tapi melihat ekspresi Alvin, ia kini percaya ucapan Shilla. Ia akan merasa dirinya sangat jahat jika tidak memaafkan Alvin yang sedang ada dalam posisi sekarang.
"Gue denger, lo keluar dari rumah. Beneran?"
Raut wajah Alvin berubah.
Tanpa menoleh, Alvin hanya mengangguk pelan. Kepalanya menunduk dan matanya mentapi ilalang yang sedang ia pilin di tangannya.
"Lo nggak papa?"Jujur, Sivia merasa tak enak dengan pertanyaan nya tadi. Raut wajah Alvin langsung berubah drastis setelah itu.
Alvin pun menegakan kepalanya dan menatap lurus ke depan. Terdengar pria itu menghembuskan nafas berat lewat mulutnya.
"Munafik kalo gue bilang gue nggak papa." Mata Alvin masih terus memandang ke depan. Namun sedetik kemudian, kepalanya pun ia palingkan ke samping. Menatap Sivia yang juga tengah menatap nya. "Lo pernah ngerasain dua hal yang bertolak belakang ke orang yang sama dalam satu waktu?"
Sivia mengernyit. Merasa tak paham dengan maksud Alvin.
Melihat itu, Alvin tersenyum tipis. Kepalanya kembali ia palingkan ke depan dan menghembuskan nafas lagi.
"Gue marah sama mereka, tapi di sisi lain gue juga kangen sama mereka. 2 hal yang berbeda, gue rasain ke orang tua gue, dalam waktu bersamaan. Sulit kan?"
Sivia terdiam.
Ia paham maksud Alvin. Tak ada anak yang tidak merindukan orang tuanya setelah bertahun-tahun tak bertemu. Tapi juga tak ada anak yang tak marah jika orang tua nya meninggalkannya tanpa menjenguknya sama sekali selama itu. Pasti sangat berat mengalaminya.
Sivia hanya tersenyum dan mengangkat tangannya menepuk pundak Alvin. Membuat Alvin mau tak mau memalingkan kepala ke arah nya.
"Lo harus kuat, lo nggak sendirian disini." Sivia tersenyum menenagkan. Membuat Alvin ikut menarik ke dua ujung bibirnya.
"Makasih."
Sivia mengangguk.
***
Oik, Keke dan Aren dengan centilnya berjalan ke parkiran. Dengan tak berdosa, mereka asik tertawa seakan-akan tak pernah melakukan kesalahan hari ini.
Oik mengeluarkan remote kunci mobilnya, namun saat ia akan mengarahkan remote itu ke mobil, langkah nya sontak berhenti sambil menatapi mobil yang masih terparkir agak jauh darinya. Kedua temannya itu ikut menghentikan langkahnya dan juga kaget dengan apa yang ia lihat dari kejauhan.
Tanpa bicara lagi, Oik langsung berlari ke arah mobilnya. Aren dan Keke sempat saling pandang. Namun itu tak lama, dengan segera mereka berdua ikut menyusul Oik yang sudah jauh di depannya.
Mereka berhenti di sekitar mobil Oik dan langsung menutup hidung nya. Mereka menatapi kap mobil Oik yang sudah tertutupi kotoran sapi yang baunya sangat menyengat.
Orang-orang yang memiliki kendaraan di sekitar mobil Oik tak berani mendekat ke arah mobil mereka. Mereka semua jijik saat harus menatapi mobil itu.
Wajah Oik merah padam. Tangan satu yang masih terbebas pun terkepal. Ia tahu siapa pelakunya. Hanya satu orang yang berani melakukan ini kepadanya.
Dan matanya pun menangkap keberadaan orang itu. Dia berdiri jauh dari tempatnya. Dan Oik dapat melihat jelas bahwa orang itu menyunggingkan senyum miring kepadanya. Tak lama, orang itu memalingkan wajahnya dan berjalan menjauh. Tak peduli dengan Oik yang sudah menggeram marah.
"SHILLA BRENGSEK!!"
Oik menjerit ke arah Shilla. Namun wanita itu tak menanggapinya dan terus berjalan dengan ringan.
Orang-orang yang ada disana ikut menoleh ke arah tatapan Oik. Melihat Shilla yang tak menggubris teriakan itu, membuat mereka kembali memalingkan kepalanya ke arah wanita iblis di dekat mereka.
Wajah Oik benar-benar memerah. Kemarahannya mungkin sudah sampai ke ujung ubun-ubunnya. Oik menghentakanan kaki nya keras. Setelah itu, ia langsung pergi dari kerumunan orang yang langsung disusul oleh kedua temannya.
***
Shilla berjalan gontai setelah ia turun dari mobil Sivia. Ia mengusap telinga kananya yang terasa panas. Sepanjang perjalanan ia terus mendengar ocehan Sivia setelah ia memberitahu apa yang telah dia lakukan saat ia menyuruh Sivia untuk pergi lebih dulu ke luar gerbang dan menyuruh wanita itu untuk menunggu nya di mobil.
Shilla mengakui perkataan Sivia dalam mobil tadi memang benar, besok Oik pasti akan membalasnya dengan hal yang lebih gila. Tapi ia tak peduli, ia benar-benar tak tahan dengan kelakuan wanita itu. Ia benar-benar ingin membalasnya.
Shilla pun menghela nafasnya. Sudahlah, lupakan. Urusan besok, ia tak mau memikirkannya dulu.
Ia pun menganggkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Langkahnya berhenti saat melihat seseorang sudah duduk di kursi terasnya.
Orang itu tengah bersender sambil memainkan tab di tangannya.
Shilla melengos sambil menghembuskan nafas berat. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Benar-benar. Ia bisa gila sekarang.
Shilla kembali melangkahkan kaki nya dengan malas.
Mungkin sadar akan kehadirannya, orang itu menoleh dan langsung tersenyum ke arahnya. Orang itu pun menaruh tab nya dan berdiri.
"Mama udah nungguin kamu dari tadi."
Shilla sedikit memalingkan kepalanya. Ekor matanya melihat Mama nya berjalan ke arah nya dan merentangkan tangannya. Shilla hanya diam. Ia membiarkan saja Mama nya ini merengkuh tubuhnya.
"Mama kangen sama kamu." Mama nya itu mengusap kepala Shilla.
Shilla masih diam. Tangannya juga tak membalas pelukan Mamanya.
"Kapan Mama pulang?" Ya, setau nya Mama nya ini sedang ada di Perancis. Ada sedikit kendala dengan butik nya yang ada di sana. Begitu katanya.
"Tadi. Mama langsung ke sini setelah Mama nyampe."
Shilla mengangguk.
"Oh ya?" Wilda melepas pelukannya dan menatap anaknya itu. "Kamu udah ketemu Lucia?"
Mendengar nama itu, Shilla langsung melengos lagi. Dia menghembuskan nafas kesal. "Ya. Dia menyebalkan."
Wilda terkekeh. "Dia bicara apa?"
"Bisa kita bicara yang lain? Shilla nggak mau bahas itu."
Wilda pun mengangguk paham. Ia pun memundurkan langkah nya dan kembali duduk. Shilla pun mengikutinya. Duduk berhadapan dengan Mamanya.
"Mama kesini cuma kangen sama Shilla? Nggak ada yang mau dibicarain?"
Mendengar itu, Wilda tersenyum tak enak. "Iya. Sebenarnya ada yang Mama mau bicarain sama kamu."
Shilla sedikit melengos. Sudah ia tebak. Tak mungkin Mama nya ini datang tanpa ada maksud apapun.
"Mau ngomong apa?"
Wilda memajukan dudukanya dan meletakan tangan nya di atas meja. "Nanti malem, temenin Mama ketemu sama temen Mama ya? Temen Mama pengen kamu ketemu sama anaknya."
"Laki-laki?"
Wilda mengangguk.
Melihat itu, Shilla membuka mulut nya tak percaya. "Mama mau jodohin Shilla lagi?"
Wilda tersentak.
"Setelah Rio batalin perjodohannya, Mama cari calon lain? Shilla nggak mau. Shilla pengennya Shilla sendiri yang nentuin siapa yang jadi pendamping Shilla nanti." Ungkap Shilla kesal. Ia tak menyangka jika Mama nya benar-benar berpikiran seperti itu. Seperti dirinya tak laku saja. Kemana harga dirinya.
"Kamu ngomong apa sih? Siapa yang mau jodohin kamu?" Wilda menatap anaknya itu gemas. "Denger ya, calon pilihan Mama buat kamu itu cuma Rio, kalo Rio atau kamunya nggak mau, yaudah. Kamu cari aja sendiri."
Mulut Shilla langsung terkunci. Ternyata ia salah sangka. Ia menggaruk belakang telinga nya yang tak gatal. Ia jadi malu sendiri berkata seperti tadi.
"Terus, maksud Mama ngajak Shilla untuk ketemu anaknya apa?"
Wilda menghela nafas. "Dirumah temen Mama ini, bakal ada rekan-rekan bisnis nya yang akan dateng. Termasuk Mama. Temen Mama mau anak nya ada di rumah malam ini. Dia pengen anak nya ada temen ngobrol biar betah di rumah. Sedangkan, anak dari rekan-rekan bisnisnya, yang deket sama anak nya itu cuma kamu. Jadi kamu diminta dateng untuk nemenin anaknya."
"Aku?" Shilla menunjuk dirinya sendiri. Melihat Mama nya mengangguk, ia jadi heran sendiri. Jika teman Mama nya ini tahu dirinya, pasti dirinya pernah bermain ke rumah teman Mamanya itu.
"Emang siapa nama anak temen Mama?"
Wilda menggeleng. "Mama lupa nanya. Udahlah, nanti juga kamu tahu. Jadi mau ya, nanti malem mama jemput."
***
Shilla keluar dari mobil Mama nya dan menutup pintu mobil itu. Ia tersenyum saat memandangi rumah teman Mama nya ini. Ia tahu sekarang. Siapa pria yang Mama nya bilang dekat dengannya.
Wilda yang melihat raut wajah gembira anaknya ini ikut tersenyum. "Keliatan nya kamu udah tahu siapa yang bakal kamu temuin."
Shilla menoleh dan menganggukan kepalanya. "Iya. Dulu Shilla pernah maen ke rumah ini."
"Baguslah. Ayo masuk."Wilda melangkah kan kaki nya ke teras rumah megah di depannya. Saat sampai di pintu, Wilda langsung memencet bel disana.
Tak butuh waktu lama, pintu sudah berderit terbuka. Muncul lah seorang wanita seusia Mama nya yang sangat anggun dari dalam.
"Oh, Wilda. Kamu tamu pertama yang dateng." Wilda tersenyum mendengarnya. Mereka langsung menempelkan pipi mereka bergantian sebagai ucapan selamat datang.
Setelah itu, teman Mamanya menyeret pandangan nya ke arah Shilla.
"Shilla?"
Shilla tersenyum sopan. "Malem, tante Niken." Shilla langsung menjabat tangan ibu dari temannya ini dan menciumnya.
Shilla pun menegakan tubuhnya dan tersenyum ke arah tante Niken.
"Yaudah, silahkan masuk." Niken yang sedari tadi berdiri di ambang pintu pun bergeser memberi jalan untuk tamu nya.
Shilla dan Mamanya mengangguk. Mereka pun melangkahkan kaki nya dan masuk ke dalam.
Setelah di dalam, Niken berjalan ke arah tangga. Ia berhenti tepat di undakan tangga terakhir dan mendongakan kepalanya ke atas.
"Sayang, turun gih. Temen kamu yang tadi Mama bilang udah dateng nih." Suara Niken menggema ke seluruh ruangan.
"Iya, bentar." Terdapat jawaban dari lantai atas. Shilla hanya tersenyum mendengar suara itu. Dapat dipastikan pria itu akan sangat kaget dirinya ada di sana.
Derap kaki yang menuruni tangga dapat mereka dengar. Tangga yang berpola L itu membuat Shilla belum dapat melihat wajah teman pria nya itu.
Saat sudah berbelok, Shilla baru dapat melihat wajah itu. Pria itu belum sadar dengan ada nya dirinya. Pandangannya tak fokus. Mungkin merasa kesal karena malam-malam seperti ini yang biasanya ia berkeliaran di luar harus terkurung di dalam rumah.
"Siapa sih, Ma?" Pria itu menoleh ke arah sang Mama dan berhenti di sisi Mama nya yang masih ada di bawah tangga.
Niken menunjuk ke arah Shilla dengan dagunya. Pria itu pun mengikuti arah tunjukan sang Mama. Saat mata pria itu menangkap sosok Shilla, raut wajahnya berubah 180 derajat.
"Shilla?"
Shilla tersenyum lebar melihat ekspresi wajah itu. "Apa kabar, Iel?"
Gabriel langsung mengembangkan senyum nya. Ia tak menyangka maksud dari ucapannya tadi sore adalah Shilla. Tak mau berlama-lama, ia langsung berjalan cepat ke arah wanita itu. Sedangkan Shilla, ia berjalan pelan ke arah Gabriel.
Gabriel langsung memeluk Shilla saat sudah ada di dekatnya. Tak mempedulikan ekspresi kedua Mama mereka yang mendelikan mata nya kaget.
"Gue kangen sama lo."
Shilla tersenyum. Memang setelah pertemuan antara dirinya dan Cakka saat itu, ia tak pernah bertemu lagi dengan sosok pria ini. Bahkan saat mereka bertemu terakhir kali, ia tak dapat memeluk Shilla karena langsung di usir Ify untuk naik ke lantai atas basecamp. Wajar saja jika Gabriel sangat merindukan wanita yang ada di pelukannya sekarang.
Gabriel melepaskan pelukan nya dan menatap Shilla.
"Perlu gue telpon Cakka?"
Senyum Shilla langsung luntur seketika. "Lo udah bosen idup?"
Gabriel semakin mengembangkan senyum nya mendengar ucapan Shilla. Kepalanya pun ia palingkan ke arah Mama Shilla yang masih berdiri mematung.
Ia pun berjalan ke arah Mama Shilla dan mencium tangannya. "Malem, tante. Saya Gabriel. Sahabat nya Shilla waktu di Hervic."
Wilda yang sedari tadi bertanya-tanya tentang hubungan mereka pun mengangguk pelan. Mendengar nama mantan sekolah Shilla itu disebut ia langsung paham mengapa mereka saling berpelukan. Wilda pun tersenyum ke arah Gabriel.
"Makasih udah jadi sahabat Shilla selama di sana."
Gabriel mengangguk. "Mari, tante. Duduk dulu."
Shilla yang melihat itu berdesis. Lihatlah, seorang preman seperti Gabriel ternyata bisa berlaku sopan. Mana sifat arogan nya saat ada di lapangan. Benar-benar hilang di depan Mamanya.
"Gue nggak disuruh duduk?"
"Nggak usah, lo berdiri aja disitu." Shilla melengos mendengarnya. Ia pun melangkahkan kakinya ke arah sofa ruang tamu, tak mempedulikan ucapan Gabriel barusan.
***
Shilla, Gabriel dan kedua Mama mereka asik bercerita. Meski mereka bercerita saling berpasangan. Gabriel dengan Shilla. Tante Niken dengan Tante Wilda.
Namun tak lama dari itu, cerita mereka harus terhenti karena suara bel yang menggema di seluruh ruangan.
Niken pun berdiri dan berjalan menghampiri pintu. Sedangkan Wilda, ia menoleh ke arah Gabriel dan Shilla yang masih asik bercerita.
Mereka berdua seperti tak terganggu dengan suara bel tadi.
Tak butuh waktu lama, Niken kembali bersama satu orang yang mengikuti nya dari belakang. Wilda, anaknya dan Gabriel pun berdiri.
Wilda tersenyum melihat teman kuliah nya dulu ini datang. Sedangkan Shilla, ia tersentak kaget saat melihat siapa wanita itu. Ia masih tak berkedip saat Mama nya dan wanita yang baru datang ini saling berpelukan.
Wilda melepas pelukannya. "Kamu apa kabar? Udah lama banget kita nggak ketemu."
Wanita itu tersenyum. "Saya baik kok. Iyaya, kita udah lama banget nggak ketemu."
Wilda tersenyum senang melihat kawan lamanya ini. "Ohya, kenalin. Ini anak saya, Shilla." Wilda menyentuh punggung Shilla yang ada di sampingnya.
Shilla langsung bergerak maju lalu mencium punggung tangannya, tak lupa dengan senyum sopan pada wanita itu. "Shilla, tante."
Wanita itu mengangguk sambil berpikir. Melihat Shilla penuh selidik. Ia seperti tak asing dengan wajah Shilla. Sedangkan Shilla yang kini berdiri di samping Gabriel, menggigit ujung bibirnya tak kentara. Gusar jika wanita itu masih mengingatnya.
"Oh iya, saya ingat sekarang." Ucapan wanita itu membuat Mamanya, Tante Niken dan Gabriel mengerutkan keningnya. Sedangkan Shilla, ia memejamkan mata nya frustasi. Merutuki tante itu dalam hatinya.
"Kamu teman anak saya kan? Alvin. Saya lihat kamu di rumah saya saat saya pulang."
Mama nya dan Gabriel tersentak. Sedangkan tante Niken hanya menatapinya bingung.
Shilla menoleh ke arah Gabriel yang juga sedang menatapnya.
"Dia mama nya Alvin?" Hanya pergerakan mulut, tapi Shilla dapat menangkapnya. Dengan pelan, Shilla mengangguk. Membenarkan pertanyaan Gabriel.
Anggukan itu membuat Gabriel menahan nafasnya. Menahan gejolak amarah yang tiba-tiba muncul. Mengapa bisa ibu dari musuh bebuyutannya ini malah ada di rumahnya. Yang lebih parah, menjadi rekan kerja mamanya. Apa tidak ada orang lain lagi? Mengapa harus keluarga dari musuh besarnya?
Wilda yang masih kaget anaknya itu pernah ada di rumah temannya ini menatap Shilla. "Kamu ada di rumah tante Vina? Ngapain?"
"Dia nggak sendirian Wilda."
Wilda menoleh ke arah Vina yang bersuara.
"Dia ramean sama teman-temannya. Tapi......" Vina menyeret pandangannya ke arah Shilla. Merasa tak enak dengan ucapan yang akan ia lontarkan. "..tapi semuanya laki-laki. Dia perempuan sendiri."
Mama nya lebih tersentak lagi. Sedangkan Gabriel tidak terlalu kaget, karena dulu Shilla juga sering seperti itu saat di Hervic. Meski Ify, Zahra dan Angel sedang tak ada, Shilla sering berkunjung sendirian ke basecamp untuk sekedar membawakannya dan teman-temannya makanan.
Shilla yang melihat ekspresi Mama nya menggaruk tengkuknya. Ia bingung harus apa sekarang.
"Shilla? Yang tante Vina bicarain bener?"
Shilla menghela nafas. Dengan pelan, ia mengangguk.
"Iya, Ma. Waktu itu, Shilla diajak Rio ke sana."
Mendengar itu wajah Wilda langsung berubah 180 derajat. Wajah tegang yang tadi ditampakan menjadi rileks seketika. Ia menghembuskan nafas lega saat mendengar nama Rio dari ucapan anaknya.
"Kamu sama Rio?" Suara Wilda terdengar ringan.
Hal itu membuat Shilla dan Gabriel menoleh ke arah Mama nya bingung.
"Kalo kamu sama Rio sih nggak papa." Wilda mengelus dada nya lega. "Mama jadi tenang."
Gabriel mengerutkan dahinya tak mengerti.
"Kenapa gitu, Wil?" Niken yang sedari tadi hanya diam pun membuka suara. Pertanyaan yang juga ternyata ingin dilontarkan oleh anaknya, Gabriel.
Wilda meoleh ke arah Niken dan Vina bergantian. "Karena saya percaya Rio bisa jaga anak saya. Rio itu kan sahabat kecil nya Shilla."
Deg!!
Gabriel tersentak. Mata nya seketika membulat tak percaya. Pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh tante Wilda hampir saja menjatuhkan jantungnya.
Gabriel langsung menoleh cepat ke arah Shilla. Wanita itu hanya menunduk seperti menunjukan bahwa ucapan tadi memang benar.
"Emang Rio dari keluarga mana?" Giliran Vina –Mama Alvin- yang bertanya. Ia jadi penasaran siapa orang yang bernama Rio itu sehingga anak emas dari pasangan hebat Andreas dan temannya Wilda ini bisa mempercayakan anaknya kepada pria itu.
"Dia calon penerus HGCorp. Anak dari sahabat saya dan mantan suami saya, Haling dan Manda."
Vina dan Niken mengangguk paham. Pantas saja, mereka tak heran lagi mengapa teman mereka Wilda ini mempercayakan anaknya pada pria yang bernama Rio itu. Siapa yang tak kenal dengan pengusaha yang bernama Haling. Apalagi mereka, yang suaminya juga terjun ke dunia yang sama.
Gabriel yang baru mengetahui hal itu masih dia mematung. Otak nya masih belum bekerja. Kenyataan besar yang lagi-lagi disembunyikan oleh Shilla.
"Pasti hebat banget kalo Rio sama Shilla bisa menikah." Ucapan Niken membuat Vina dan Wilda tersenyum.
Sedangkan Gabriel, ia benar-benar panas mendengar kalimat itu. Meski ia tak memiliki rasa dengan Shilla, ia sama sekali tak rela jika sahabatnya ini harus bersama dengan musuh besarnya.
"Shilla sama Rio emang udah dijodohin."
Shilla dan Gabriel tersentak. Terlebih Gabriel. Pria itu bahkan terlonjak dari tempatnya. Ia membuka mulutnya kaget. Sangat-sangat kaget.
"Apa?" ucapan refleks Gabriel membuat ketiga ibu-ibu itu menoleh ke arah nya.
"Ma?" Gertakan dari Shilla membuat Wilda menatap ke arah anaknya. Melihat wajah anaknya itu ia jadi tersadar. Ia telah mengatakan rahasia yang anak nya minta untuk disembunyikan kepada siapa pun.
"Ikut gue."
Suara tajam dari Gabriel membuat Shilla menghela nafas pasrah. Tangan nya yang langsung ditarik Gabriel itu pun ia biarkan saja. Ia hanya mengikuti langkah besar-besar Gabriel yang membawa nya menjauh dari Mamanya.
Sedangkan Wilda, ia langsung menatap Vina. "Vin, saya minta tolong banget ya. Jangan bocorin hal ini sama siapa pun. Apalagi anak kamu. Saya minta tolong banget ya, Shilla minta hal ini dirahasiain. Meski perjodohan nya batal, tapi Shilla tetep nggak mau ada yang tahu soal ini."
Niken mengerutkan keningnya. "Perjodohannya batal? Kok bisa?"
Wilda menghela nafas. "Cerita nya panjang. Saya minta tolong banget ya ke kalian, jangan omongin ini sama siapapun. Anak saya masih marah sama saya karena saya bercerai, saya nggak mau anak saya bener-bener membenci saya. Ya? Tolong banget."
Melihat wajah temannya ini yang terlihat putus asa, Niken dan Vina menjadi iba. Mereka berdua mengangguk.
Vina yang berdiri di sebelah Wilda mengusap pundak temannya. "Kamu tenang aja ya, saya akan tutup mulut. Termasuk ke anak saya."
"Saya juga kok. Kamu tenang aja." Niken ikut menambahi.
Mendengar janji kedua teman kuliah nya ini membuatnya dapat bernafas lega. Sekarang yang ia pikirkan adalah anaknya. Apa yang akan Gabriel lakukan kepada Shilla?
***
Gabriel menarik Shilla ke taman belakang rumahnya. Setelah sudah ada di tengah-tengah taman itu, Gabriel berhanti dan langsung membalikan tubuhnya menghadap Shilla.
Wanita itu tak mau menatap nya.
"Lo bener-bener ya? Kenapa sih lo hobby banget nyembunyiin hal besar ke kita? Pertama, dulu lo nyembunyiin ke kita kalo lo itu sebenernya orang kaya. Kedua, lo nyuruh Cakka nggak bilang alesan sebenarnya kalian putus. Kita semua tahu nya kalian putus baik-baik. Tapi nyatanya, kalian putus karena masalah besar yang berdampak sampe sekarang. Dan sekarang ini, lo nyembunyiin kalo lo itu sama Rio......"
Ucapan Gabriel terhenti. Ia tak sanggup mengucapkan perkataan setelahnya. Perkataan yang menjurus pada kenyataan yang tak ingin ia terima dalam otaknya.
Gabriel meletakan tangannya di dahinya dan meremas kepala nya pelan. "Astaga, Shilla. Lo bener-bener ya,"
Shilla menghembuskan nafas pelan mendengar ocehan Gabriel. "Gue rasa itu nggak penting buat diceritain,"
"Nggak penting lo bilang?" Gabriel menatap Shilla gemas.
"Sahabat kecil lo itu musuh besar kita. Dan heran nya lo diem aja. Sama sekali nggak ngebela sahabat lo waktu kita berantem sama dia. Lo malah ngebelain Cakka dulu. Dan....dan lo malah dijodohin sama dia. Dan lebih gila nya lo malah pacaran sama Cakka. Lo.....lo...." Gabriel mengacak-acak rambutnya. "Kenapa lo bisa nggak bilang??" Gabriel frustasi. Benar frustasi.
Shilla pun mendongak dan menatap Gabriel. "Gue dulu diem aja dan lebih ngebela Cakka karena gue nggak tahu Rio itu sahabat kecil gue. Gue sama dia pisah sekitar umur gue 6 tahun. Dan gue ditemuin sama dia lagi sama nyokap gue setelah gue pindah ke Expend. Awalnya gue juga kaget, Yel. Gue juga nggak nyangka."
Gabriel terdiam mendengar itu.
"Dan soal perjodohan. Awal nya emang iya. Gue ditemuin sama dia dengan niat dijodohin. Tapi Rio udah ngebatalin perjodohan itu."
Gabriel sedikit tersentak mendengarnya.
Shilla memalingkan wajah nya ke arah lain. Ia menghembuskan nafas berat. Ia tak menyangka rahasia nya ini akan terbongkar di depan Gabriel.
"Gue nggak mau tahu. Lo harus cerita ke Cakka, Ify dan yang lain soal ini."
Shilla menoleh ke arah Gabriel cepat. "Apa?" Shilla berdoa yang tadi ia dengar adalah salah. Tapi melihat ekspresi Gabriel, ternyata pendengarannya memang benar.
"Gue nggak mau nyembunyiin apa pun dari Cakka. Dan ini masalah penting, Shilla. Lo harus cerita."
"Yel, please nggak usah." Shilla memohon. Ia benar-benar tak mau urusan ini melebar kemana-mana. Tapi harapannya hancur ketika ia melihat Gabriel menggelengkan kepalanya.
"Nggak, Shilla. Cakka harus tahu soal ini. Besok gue jemput lo di tempat tinggal lo. Dan gue akan ngumpulin mereka semua di basecamp. Ngerti?"
Tanpa menunggu jawaban, Gabriel melangkahkan kaki nya melewati Shilla. Meninggalkan wanita itu sendiri disana.
Sedangkan Shilla, ia mengusap kepalanya kesal. Ia tak bisa menolak jika sudah seperti ini. Ia menghentakan kakinya frustasi. Jika tahu seperti ini, ia lebih baik tak memenuhi ajakan Mamanya.
Ia menyesal.
Benar-benar menyesal.

YOU ARE READING
Bonds
Teen FictionExpendivic School. Hervicise School. Berdiri di antara dua kubu yang saling bermusuhan. Aku ingin melindungi ikatan itu. Aku ingin menjaganya agar tak terlepas. Ketika aku dipaksa mengorbankan salah satu dari dua hal yang aku sayangi, Bagaimana cara...