Part 17. Amarah!

2.2K 68 1
                                    

Shilla menatap Sivia dengan wajah kaget yang tak bisa ia sembunyikan. Wanita itu juga tak kalah kaget dengan nya. Mata Sivia terus menuntut agar dirinya mau mengatakan apa yang telah terjadi.

"Shill, lo ada hubungan apa sama Rio?"

Shilla menggigit ujung bibirnya. Matanya kembali menatap tab yang ada di tangannya. Kembali menatap foto Rio yang sedang menarik tangan nya di depan Rumah Sakit semalam. Shilla menghembuskan nafas lelah. Ia telah menyandang status 'penyusup' di Expend. Ia juga telah menjadi musuh 1 sekolah karena identitas itu. Di saat semua redam, keadaan menjadi tenang, hadir nya foto ini semakin membuat semua orang kembali membenci dirinya. Tatapan tajam mereka kini kembali menyorotnya.

Shilla kembali meihat bacaan yang ada di bawah foto itu. Tidak panjang. Hanya satu kalimat. Bukan. Bukan kalimat, melainkan sebuah pertanyaan.

Ada hubungan apa mereka?

Meski hanya terdiri dari 4 kata, tapi hal itu berdampak besar. Berbagai spekulasi liar pasti akan terpikir di otak mereka.

Shilla meletakan kasar tab Sivia ke atas meja. Membuat sang empunya mendelik karena salah satu gadget kesayangan nya diperlakukan senonoh oleh Shilla.

"Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia."

Ucapan Shilla ternyata adalah kalimat yang ditunggu oleh satu kelas. Semua pasang mata di ruangan itu tengah menatap nya karena ingin mendengar penjelasan akan foto itu. Semua orang terlihat berpandangan mendengar ucapan Shilla. Masih merasa belum yakin.

"Terus, kenapa Rio narik tangan lo?"
Dengan pelan, suara sedikit tertahan, Sivia menanyakan hal itu. Ia takut Shilla akan mengeluarkan kata-kata pedas padanya.

"Emang Cuma foto kaya gini doang nunjukin kalo gue ada hubungan sama dia. Dia narik gue, terus lo berpikir kalo gue pacaran gitu sama dia. Yaelah, Sivia. Dangkal amat pikiran lo."

Sivia menipiskan bibirnya. Benar kan? Shilla mengatainya. Tapi melihat bola mata Shilla yang tengah menatapi teman-teman yang berada di ruangan yang sama dengannya, ia pun menyadari, ucapan itu sebenarnya bukan hanya untuk nya saja, melainkan untuk semua orang yang kini tengah menatap nya dan Shilla. Yang diam-diam juga ingin mendengar penjelasan wanita itu.

Sivia tersenyum tipis. Meski ia dijadikan bantalan, tapi itu tak masalah. Melihat semua orang terlihat menganggukan kepala nya setuju, ia juga sedikit tenang.

Shilla menyaenderkan punggung nya ke kursi dengan kesal. Ia menatap Sivia yang tengah kembali mengutak atik tab nya itu. Kini rasa khawatir timbul dalam hatinya. Ia takut Sivia akan terluka karena Oik akibat foto ini.



***



"Aaaaaakkkkhhhh...."
Suara lengkingan Oik menggema di seluruh kelas XI IPS 1. Jeritan itu sudah mereka dengar berulang kali sejak wanita itu melihat website sekolahnya karena paksaan Aren. Mereka tak berani menegur atau bersuara. Melihat wajah Oik yang merah padam membuat mereka ciut dan tak mau ikut campur. Mereka hanya berusaha menulikan telinga mereka, jadi tidak heran mayoritas orang yang ada di kelas itu menggunakan headset atau earphone untuk menyumpal gendang telinganya.

Wanita itu mengacak-acak rambutnya frustasi. Amarah dan kesal bercampur jadi satu dalam hatinya. Melihat tangan sang pangeran hati nya melingkar indah di telapak tangan musuh besarnya itu membuat hatinya mendidih.

Ia menggebrak meja kuat. Membuat semua orang di kelas tersentak kaget. Ternyata suara gebrakan Oik dapat mengalahkan suara yang terdengar dari headset atau earphone yang mereka kenakan. Hal itu membuat sebagian besar dari mereka menambah volume suara agar suara Oik tidak menggangu mereka lagi.

"Shilla brengsek, Shilla brengsek, Shilaa brengsek!!"
Pundak Oik naik turun karena mengeluarkan amarahnya. Emosinya sudah mencapai puncak ubun-ubun hingga ia merasa sudah ada uap yang mengepul dari ujung kepalanya. Ia masih tak habis pikir, apa yang Rio lihat dari Shilla. Ia merasa lebih dan memiliki segalanya ketimbang Shilla. Memikirkan hal itu membuat kepalanya seakan meledak.

"Ik, lo nggak mau ambil tindakan karena ini. Daripada lo marah-marah, mending kita labrak aja tuh Shilla."

Oik menggertakan giginya. Benar kata Keke, ia tak bisa diam saja. Ia harus menampar pipi Shilla atau menjambak rambutnya karena telah melawannya. Ia akan membuat perhitungan pada wanita murahan itu.

Oik langsung beranjak dari duduk nya. Ia pun melangkah keluar dari kelas dengan amarah membara. Keke dan Aren pun tak tinggal diam. Mereka berdua mengikuti langkah Oik dengan sedikit berlari karena langkah Oik yang sangat cepat.



***



Rio menghela nafas sambil memasukan iPhone nya kembali ke saku celananya. Perbuatannya semalam ternyata menimbulkan masalah. Ia sama sekali tak menyangka akan terjadi seperti ini. Sekarang rasa penasaran dan ketakutan timbul dalam hatinya. Penasaran bagaimana ekspresi Shilla, dan ketakutan Shilla akan menjauhinya karena ini.

Debo meremas kepalan tangannya kesal. "Bener-bener minta dikasih pelajaran orang yang udah ngambil foto dan nyebarin foto ini ke website sekolah."

Alvin dan Goldi mengangguk. Hal ini baru sekali terjadi dalam sejarah Expend berdiri. Tak ada sama sekali yang berani menyebarkan informasi pribadi mengenai preman Expend. Masalah keluarga atau asmara. Bukankah hal itu sangat mengejutkan bahwa informasi pribadi tentang 'ketua preman' Expend lah yang mereka sebarkan. Keberanian yang cukup untung diacungi ratusan jempol. Yah, keberanian untuk mencari mati.

Alvin yang duduk di bawah Rio hanya menggelengkan kepalanya tak percaya. "Gila ya. Ini Rio loh. Dia ini bego atau apa sih. Kalo masalah pribadi Rio aja berani disebarin, apalagi masalah preman lain? Bener-bener nggak bisa di biarin."

Rio hanya menggaruk pelipis nya yang tak gatal. Ia sama sekali tak berniat menghajar orang yang harusnya ia lindungi. Ya bagaimanapun siswa ini adalah siswa Expend. Orang yang juga merupakan tanggung jawabnya. Tapi jika ia diam saja, orang ini justru akan semakin gila. Privasi preman Expend tak boleh dipublikasikan seenaknya. Jika ia tak bertindak, masalah keluarga preman Expend yang mereka sembunyikan bisa saja muncul ke permukaan.
"Ini nggak mudah. Banyak orang yang kemungkinan ngambil foto ini. Dan orang yang ngambil foto ini pasti nyamperin admin pemegang website sekolah supaya bisa disebarin."

"Tunggu dulu. Bukannya kita bisa nyari tahu siapa yang ngambil foto ini dari admin yang udah nyebarin." Ucapan Debo membuat keempat sahabatnya terdiam.

Goldi menepukan tangan nya sekali. "Bener banget. Dan adminnya ini harus kita kasih pelajaran juga. Maen sebar-sebar aja." Alvin dan Debo mengangguk setuju. Sedangkan Rio, ia hanya menghela nafas. Keputusan sahabat-sahabatnya memang benar. Ia tak bisa melakukan apapun meski hatinya menolak untuk melakukannya.

"Admin sekolah kita kan nggak banyak orang yang tahu. Kalo gitu mending kita........"


"Gue tahu satu orang." Goldi dengan cepat memotong ucapan Alvin. Membuat Alvin dan Debo mendongak ke atas karena Goldi yang duduk di samping Rio.
"Aren. Dia salah satunya."

Avin, Debo dan Rio saling berpandangan.
Aren?
Orang yang sering bersama Oik itu? Salah satu pemegang website sekolah? Bagaimana bisa?

"Dan gue lagi liat dia."

Sontak kepala Alvin, Debo dan Rio tergerak menatap Goldi lagi. Mereka pun ikut mengikuti arah pandang Goldi yang jatuh pada ketiga gadis yang sedang berjalan cepat di koridor sekolah. Mereka sangat mengenal 3 gadis itu. Yang paling depan adalah wanita yang mereka benci dan mereka hindari.

Kepala mereka bergerak menatap Rio. Menyuruh sang ketua itu agar menghampiri ketiga wanita di sana. Hanya Rio yang disegani oleh Oik. Dan hanya Rio lah yang bisa menangani sifat manusia separuh iblis itu. Oik tidak akan mengizinkan temannya itu bicara pada siapapun apalagi pada preman seperti mereka yang sering melawannya, dan mereka yakin, hanya Rio yang bisa menangani itu.

Mengerti arti tatapan ketiga temannya, Rio melengos. Ia sangat malas untuk berurusan dengan Oik. Tapi untuk nya, untuk mereka dan untuk Shilla, ia pun beranjak dengan separuh hati, terpaksa.
"Kenapa harus Aren sih yang lo tahu?"
Goldi hanya memamerkan gigi rapinya itu menanggapi ucapan Rio.

Rio pun melangkahkan kaki nya berjalan menuju koridor sekolah. Meninggalkan ketiga temannya yang masih di pinggir lapangan basket outdoor sekolahnya yang tengah tersenyum geli mengiringi kepergiannya.



Rio sampai di koridor sekolah jauh di depan Oik. Ketika wanita itu mengetahui keberadaannya, wajahnya yang tadi terlihat marah berubah drastis menjadi sebuah senyuman yang membuat dirinya merasa muak.

"Riooooo...."

Teriakan Oik menggema di seluruh koridor yang sepi karena bel masuk telah berbunyi 5 menit yang lalu. Membuat Shilla yang tak sengaja akan ke toilet menghentikan langkahnya sebelum ia melewati pertikungan. Dengan cepat ia menepikan tubuhnya hingga menempel tembok dan sedikit mencondongkan wajahnya.

Ia melihat di sana ada punggung Rio yang berdiri tegap dan seperti menunggu Oik yang tengah berlari ke arahnya. Ada sesuatu aneh yang ditangkap Shilla dalam hatinya. Ia merasa tak suka dan merasa sebal karena Rio malah menunggu Oik bukannya malah menghindar.


Di tempat nya Rio merasa beruntung Oik langsung berlari ke arahnya. Ia tersenyum dalam hati, bukan dirinya yang menggampiri Oik melainkan wanita itu sendiri. Bukankah itu hal yang bagus untuk menjaga image nya?

Wajah merajuk Oik langsung dipancarkannya ketika sampai dan berhenti di depan sang pujaan hati. Ia mengambil lengan Rio dan langsung menggelayuti nya manja. Membuat Rio merasa risih dengan hal itu.

"Mumpung gue belum kasar sama lo, lepasin tangan gue."
Oik menipiskan bibirnya mendengar ucapan Rio yang tertahan itu. Ia pun menurut. Ia melepaskan tangan Rio dengan setengah hati. Ia kembali mendongak menatap Rio kesal.
"Lo kenapa sih narik tangan Shilla. Bikin gue marah aja."

Rio melengos. Ini permasalahan di luar dugaan nya. Ia menghampiri ketiga wanita ini untuk berbicara pada Aren. Bukan membahas masalah foto itu. Dan sial nya, jika ia tak meluluhkan hati Oik, ia tak akan pernah bisa bicara pada Aren.

"Kalo lo nggak mau jawab, gue mau nemuin Shilla aja."
Mendengar itu Rio langsung menahan lengan Oik yang akan melewatinya. "Lo mau ngapain?"

"Gue mau ngelabrak dia. Gue mau buat perhitungan sama dia. Berani-beraninya dia mau ngerebut lo dari gue."

Mendengar hal itu, Rio tak bisa tinggal diam. Ia langsung menarik lengan Oik dengan sekali hentakan agar wanita itu kembali berdiri di depannya. Menatap Oik nyalang, ternyata tak membuat wanita itu takut. Sedetik kemudian, Rio tersadar. Semakin ia membela Shilla, semakin besar niat wanita itu mencelakai sahabat kecilnya.

Rio menghela nafas berat. Ia harus sabar. Yah sabar. Sabar Rio....sabar. Harus tenangin diri dan jangan kepancing emosi.
"Apa yang ngebuat lo kepikiran kalo Shilla mau ngerebut gue?"

Oik menggeram kesal. Haruskah ia menjelaskannya lagi? Mengingat foto itu saja sudah membuat nya kesal setengah mati.
"Lo narik tangan Shilla, Rio. Kalian ada hubungan. Iyakan? Gue nggak suka!"

"Lo bego, ya. Gue bukan narik dia, tapi nyeret dia."
Ucapan itu melancar begitu saja dari mulutnya. Bingung. Ia tak tahu harus bicara apa lagi agar Oik tak marah, dan hanya itu lah yang terpikir kan oleh otaknya. Rio tak menyadari, dibalik pertikungan di dekatnya ada yang mendelik kesal mendengar penuturan Rio. Jika saja Shilla tidak dalam misi menguping, Shilla pasti sudah menghampiri pria itu dan menghajarnya.

Oik masih mengerjapkan matanya tak percaya. Ia tak berpikr sampai sana. Memang ada 2 persepsi dari foto itu, Rio menarik Shilla dengan perasaan khusus, sedangkan satunya Rio menyeret Shilla karena tak suka pada wanita itu. Dan yang Oik yakini sekarang, persepsi kedua lah yang menggambarkan foto itu.

"Bener juga, ya. Background foto itu kan ada di Rumah Sakit dimana Ozy dirawat. Itu artinya, lo nyeret Shilla keluar Rumah Sakit karena lo nggak mau Shilla jenguk Ozy. Iyakan?"

Rio tak menjawabnya. Biarkan saja Oik menyimpulkan seperti itu agar masalah ini cepat selesai.

Oik mengangguk-anggukan kepalanya. "Yah, pasti kaya gitu kejadiannya. Sorry ya Rio, karena nuduh lo yang nggak-nggak."

Rio memalingkan wajahnya kesal. Jika dipikir-pikir, untuk apa wanita itu meminta maaf padanya. Bahkan mereka tak menjalin suatu hubungan apapun.

"Panggilin temen lo."
Ia harus segera melanjutkan niat awal nya untuk bicara pada Aren. Agar ia cepat pergi dan mengurus masalah lain yang jauh lebih penting.

Oik mengerukan keningnya tak mengerti. "Untuk apa?"

"Nggak usah bawel deh. Buruan."

Oik menganggukan kepalanya cepat karena melihat Rio yang terlihat akan marah. Ia pun membalikan tubuhnya dan melambaikan tangan nya pada 2 teman yang selalu mengikutinya.

Aren dan Keke hanya saling pandang sejenak. Tapi detik selanjutnya, mereka berdua kompak berjalan menuju tempat Oik dan Rio.

"Mana yang nama nya Aren?"
Rio menatap kedua teman Oik satu persatu. Ia hanya tahu orang yang sering bersama Oik adalah Aren dan Keke. Tapi ia sama sekali tak tahu mana orang yang memiliki nama Aren dan mana yang memiliki nama Keke. Ia tak bisa membedakannya.

Wanita tepat di samping Oik yang dikuncir kuda pun mengangkat tangan nya. "Gue. Kenapa?"

Rio pun mengangguk dan menatap Aren yang masih menunjukan wajah bingungnya.
"Lo salah satu admin pemegang website?"

Oik dan Keke saling berpandangan bingung.

Aren pun mengaggukan kepalanya. "Kenapa?"

"Lo tahu siapa yang nyebarin foto itu ke website sekolah?"

Oik menepukan tangannya sekali. Membuat pandangan Rio yang tadi nya ke arah Aren kini menatap wanita itu. "Gue tahu maksud lo. Kita harus ngasih pelajaran sama orang itu kan, karena udah nyebarin privasi ketua Expendivic School."

Rio memutar bola matanya. Ia kira, Oik tahu siapa orang nya. Ternyata wanita itu mengeluarkan ucapan yang tak berguna.

"Gue tahu orang nya." Rio, Oik dan Keke memalingkan kepalanya menatap Aren.
"Tadi mba Rahmi, ketua admin sekolah kita, nelpon gue dan ngasih tau kalo Kiki nyebarin foto ke website sekolah yang bisa ngebuat Oik marah. Makanya tadi gue maksa Oik untuk ngeliat"
Oik menganggukan kepalanya paham.

"Kiki?"

"Iya, Yo. Dia anak kelas XI Ipa 2. Dia juga salah satu admin nya."

Rio melengos tak percaya. Setau nya, anak ipa tak berani macam-macam dan tak pernah berulah. Mengapa saat ini malah salah satu dari mereka yang berani mencari masalah dengan dirinya.

"Wah, nggak bisa dibiarin. Minta dikasih pelajaran tuh orang."
Oik sudah membalikan badannya. Namun belum juga Oik melangkah, dengan cepat tangan Rio menarik lengan Oik agar mau berbalik lagi.
"Lo nggak usah ikut campur. Gue sama temen-temen gue bisa nyelesaiin masalah ini sendiri."

Sebenarnya ia ingin menentang. Tapi melihat tatapan Rio, membuat nya langsung mengkerutkan hatinya.
"Oke."
Oik menyerah. Ia tak berani melawan Rio sekarang. Tangan Rio yang melingkar di lengannya pun perlahan-lahan turun.

"Trus lo ngapain masih di sini. Udah sana balik ke kelas."
Oik mendongak. Dan seketika, ia tersadar. "Bener juga. Gue ke arah sini kan mau ngelabrak Shilla. Tapi udah nggak guna lagi sekarang. Lo nggak narik dia, tapi lo nyeret dia." Oik mengembangkan senyumnya. "Dia pantes dapetin itu."

Rio memutar bolamatanya. Biarlah Oik berkata apa. Ia ingin wanita itu cepat pergi.

"Oke, Rio. Kita pergi ya. Dadaah.." Oik melambaikan tangannya dan berbalik meninggalkan Rio. Kedua temannya pun mengikutinya.

Rio hanya mendengus. Membutuhkan waktu yang lama untuk membuat wanita itu pergi. Ia pun menoleh ke arah ketiga temannya yang masih setia mengawasinya di pinggir lapangan. Dengan gerakan kepala singkat, ketiga temannya itu langsung beranjak dan berlari mengarah Rio.
Sedangkan Rio, ia langsung berjalan lebih dulu menuju gedung kelas Ipa.

Di tempatnya Shilla menghembuskan nafas kesal dari mulutnya. Ia melihat punggung Rio yang semakin menjauh dengan tatapan seakan ingin melumatnya.
"Nyeret, dia bilang. Jelas-jelas dia bilang sama gue kalo dia megang tangan gue karena dia nggak mau gue kenapa-napa."

Cih! Brengsek!

Shilla langsung melanjutkan niat awalnya pergi ke toilet. Ia melangkah keluar dari pertikungan itu dan mengambil jalan berlawanan dengan Rio.



***



"Ki, lo nggak keterlaluan. Yang lo sebarin foto Rio loh. Lo nggak takut dia ngamuk?"

Kiki yang bersender di ambang pintu pun sedikit masuk ke dalam kelas dan bersender di dinding dekat pintu.
"Ya gimana geh. Website itu sepi banget. Lo tau nggak, waktu gue ngeshare foto itu, yang ngeliat banyak, pengunjungnya bertambah. Gue seneng aja ngeliatnya."

Abner pun ikut berjalan ke dalam kelas dan berdiri berhadapan dengan Kiki.
"Bercanda lo nggak lucu, Ki. Kalo Rio tau itu lo gimana?"

Kiki tak menjawab. Ia malah asik memotong-motong lidi menjadi bagian-bagian kecil dan menyabarnya ke lantai.

Abner menghela nafas. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa temannya ini bermain-main dengan Rio. Apa ia tak tahu bahaya apa yang sedang mengancamnya?

"Terus yang ngambil foto itu lo?"

Kiki mengangguk. "Waktu gue jengukin sepupu gue yang lagi sakit, gue liat Rio sama Shilla. Gue foto aja deh mereka."

"Oh, jadi itu juga lo!!"
Nafas Abner dan Kiki tercekat di tenggorokan ketika mendengar suara keras Debo yang tiba-tiba muncul dari pintu. Mata mereka mendelik sempurna kala Rio, Alvin dan Goldi ikut masuk ke dalam kelas. Mereka berempat yang tadi sempat menguping dari dinding luar dekat pintu cukup untuk mendengar semua nya. Segala pengakuan yang dilontarkan Kiki.

Abner perlahan memundurkan langkahnya. Ia tak ikut urusan dengan ini. Ia terlalu takut untuk membela temannya. Ia tak mau ikut babak belur dengan kesalahan yang sama sekali tak ia perbuat.

Semua orang yang ada di kelas sontak berdiri dan menghadap rombongan Rio yang mendekati Kiki yang semakin terpojok di dinding. Penjelasan singkat dari Abner langsung membuat mereka mengerti mengapa Rio dan yang lain terlihat emosi.

Debo langsung menarik kerah Kiki dan menghempaskan tubuh itu ke lantai. Membuat pria itu jatuh tersungkur ke tengah depan kelas.
"Berani benget lo ngefoto Rio dan nyebrin privasi Rio ke website sekolah, hah! Lo lupa siapa dia!!"

Nafas Kiki tersengal ketakutan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia tak menyangka semua ucapan itu ternyata didengar Debo dan yang lainnya.

Alvin maju mendekati Kiki dan berjongkok di dekatnya. Membuat pria itu semakin menundukan kepalanya takut. Alvin mencengkram rahang Kiki dan mendongakan kepala itu paksa.
"Inget ya, meski pun lo anak Ipa dan Rio anak Ips, dia tetep ketua lo! Lo harus hormati dia!"
Alvin menyentakan dagu Kiki kasar.

Kiki diam. Tubuhnya membeku. Sarafnya sama sekali tak bisa bergerak.

"Kenapa lo berbuat kaya gitu? Cuma mau ngeramein website aja lo bilang? Lo kira website itu mainan lo!"
Bentakan Goldi membuat rahang Kiki menggertakan giginya takut. Nafas nya sulit untuk ia atur. Ia tak menyangka, bukan ini yang ia inginkan. Bukan malah dirinya yang dicecar seperti ini.
"Jawab!!"

Kiki sebenarnya takut. Tapi, apa boleh buat. Ia merasa terpojok saat ini. "Nggak. Bukan itu alasan gue."

Suara Kiki membuat semua orang yang ada di dalam kelas berpandangan. Membuat Goldi dan Debo juga saling tatap.
Alvin pun berdiri dan melipat tangannya di depan dada. "Jelasin kalo gitu."

Kiki menelan salivanya dalam-dalam. Ia harus mengatakannya meski berat, mungkin apa yang ia katakan dapat membuat Rio mengerti bahwa bukan dia lah tujuannya. "Gue foto mereka, bukan dengan niatan untuk nyebarin privasi Rio. Tapi.....tapi untuk ngasih pelajaran sama Shilla."


Mata semua orang mendelik mendengarnya. Termasuk Alvin, Rio, Goldi dan Debo. Jantung mereka justru nyaris loncat karena pengakuan itu di luar dugaan mereka. Niat Kiki untuk membuat Rio mengerti dan tak marah pada nya karena Shilla lah tujuannya justru salah besar. Kiki justru malah membangunkan macan kelaparan yang ada di jiwa Rio karena mendengar nama itu.

Rio mengepalkan tangannya kuat. Jujur, awalnya ia sama sekali tak berniat untuk memberi perhitungan pada Kiki. Ia rasa teman-teman nya itu cukup untuk membuat Kiki mengerti akan kesalahannya. Tapi mendengar bahwa Kiki melakukan hal itu karena Shilla tujuannya, membuat emosi nya naik pitam.

"Gue nggk suka karena Shilla udah mulai diterima sama siswa Expend. Oik juga udah nggak pernah lagi ngerjain Shilla. Dia penyusup dan dia nggak pantes di sini. Gue nyebar foto itu supaya Shilla dicerca lagi sama yang lain, dan gue pengen Oik balik lagi ngerjain dia."

Ternyata ucapan itu membuat emosi Debo, Goldi dan Alvin ikut tersulut. Namun belum sempat mereka memberi pelajaran, Rio dengan cepat melangkah maju dan menarik kerah Kiki dan langsung membanting tubuh Kiki ke tembok papan tulis.
Semua orang menjerit tertahan ketika mendengar suara keras yang ditimbulkan papan tulis akibat hantaman tubuh Kiki itu. Rio mencengkram kuat kerah Kiki dan semakin manaikan badan pria itu hingga kaki nya nyaris tak menyentuh lantai.

Semua orang menggigit jarinya takut. Mereka tak ingin perbuatan Rio akan menghilangkan nyawa teman sekelasnya. Tapi mereka tak bisa melawan. Mereka tak bisa melerai.

Mata Rio menyalang marah. "Lo kira lucu, hah! Setelah lo bilang kalo Shilla tujuan lo, lo pikir gue nggak marah."
Rahang Rio mengeras. Ia benar-benar emosi sekarang. Namun ia segera menghembuskan nafas pelan. Ia berusaha sekuat tenaga agar tak kentara bahwa yang membuatnya marah adalah Shilla. Ia tak ingin wanita itu justru menjadi pusat perhatian karena telah ia bela.

"Lo juga ngebawa-bawa gue dalam niatan busuk lo itu. Lo nggak tahu, gue bisa aja ngelepas lo dari tanggung jawab gue. Nyuruh anak buah gue untuk nggak ngelindungi lo dari kejahatan di luar. Lo bisa apa tanpa kita. Lo mau gue ngelakuin itu?"

Tubuh Kiki lemas sekarang. Melihat kilatan marah dari mata Rio susah untuk menggerakan otot-ototnya. Bahkan hanya untuk menggeleng saja ia tak mampu.

Rio melepas cengkraman dari kerah Kiki yang langsung membuat pria itu jatuh ke lantai. Susah baginya untuk membuat alasan mengapa ia marah tanpa menyebut nama Shilla. Ia berusaha mencar alasan yang tepat untuk tak membawa nama wanita itu di dalamnya. Untunglah, otaknya bekerja dengan cepat.
Rio tak sengaja memalingkan kepalanya ke arah Alvin. Dan ternyata, laki-laki itu tengah menatap penuh arti pada nya. Rio mengerutkan keningnya sesaat. Namun ia segera palingkan kepalanya tak peduli.

Alvin yang tadi nya menatap Rio pun menyeret pandangan nya ke arah Kiki yang masih tertunduk di atas lantai.
"Asal lo tahu ya, Ki. Lo salah besar kalo kita nggak marah saat tahu kalo sebenernya Shilla tujuan lo. Kita justru bisa lebih marah kalo lo ngusik dia sedikit aja."

Goldi dan Debo mengangguk setuju. Membuat semua orang yang ada di kelas saling berpandangan tak mengerti. Mereka serempak berpikir hal yang sama, Shilla adalah mantan siswa Hervicise School, seperti yang ditakutkan Kiki, Shilla bisa saja seorang penyusup, tapi mengapa pentolan preman Expend justru malah melindungi nya?

"Buat lo lo semua terutama lo, Kiki." Goldi menunjuk-nunjuk orang yang ada di kelas dan berhenti pada pria yang masih duduk di lantai. "Gue harus ngasih tahu sama kalian dan gue harap kalian ngasih tahu ke semua orang. Shila, bukan mata-mata yang dikirim Hervic. Ada alasan tertentu kenapa dia pindah ke Expend dan kalian nggak perlu tahu."

Debo mengangguk setuju. Meski ia tak suka, tapi entah kenapa ia tak bisa membohongi hatinya jika ia mulai menerima kehadiran wanita itu. Apalagi setelah mendengar kabar dari Alvin yang sempat diceritakan oleh Rio, bahwa ia bebas dari penjara, karena bantuan dari Shilla. Wanita itu tanpa sadar telah membuat dirinya dan Goldi yang terancam dikirim keluar negeri agar dirinya bebas tetap berdiri mendampingi Rio. Ia tak bisa melupakan jasa itu begitu saja.

"Kalo kalian nyentuh cewek itu sedikit aja. Gue yang akan maju duluan dan ngehajar kalian. Apalagi lo, Ki. Kalo lo masih nargetin Shilla, gue pastiin hidup lo nggak akan aman."

Kiki semakin memperdalam tundukan kepalanya akibat gertakan Debo itu. Ia tak habis pikir ternyata wanita itu sangat dilindungi oleh preman-preman di sekolahnya. Ia sama saja mencari mati jika menyentuh wanita itu.

"Dan satu lagi." Kini semua kepala bergerak ke arah Rio. "Bilang ke semua orang, gue nggak akan mentolerir orang yang nyebarin privasi preman Expend setelah ini. Kalo hal ini sampe kejadian lagi, gue akan lepas tangan dari keselamatan kalian. Gue nggak peduli kalian mau diapain di luar sana. Ngerti!"

Semua orang yang ada di kelas menggukan kepalanya pelan.

Melihat kesanggupan mereka, Rio menghembuskan nafas. "Cabut."

Rio pun pergi meninggalkan kelas XI Ipa 2 dan diikuti oleh Goldi, Alvin dan Debo. Setelah keempat preman itu meninggalkan kelas, semua orang menghembuskan nafas kuat. Lega luar biasa karena mereka dapat kembali bernafas dengan normal. Baru sekali ini mereka melihat Rio dan yang lain melancarkan aksi kemarahannya. Hawa kuat mereka ternyata dapat membuat nafas semua orang seakan terhenti di pangkal tenggorokan. Mereka semua yang tadi nya hanya dapat mendengar bagaimana kengerian preman Expend akhirnya dapat menyaksikan, kemarahan mereka adalah hal yang harus dihindarkan.



***



Bel pulang berbunyi. Shilla dan Sivia menyelempangkan tas mereka dan akan melangkahkan kakinya keluar kelas. Namun sesaat kemudian, kehadiran Goldi dan Debo menghadang langkah mereka berdua. Membuat kedua nya kompak saling berpandangan dan menatap kedua preman di depannya bingung.

Goldi berdehem sebentar, menetralkan tenggorokannya. "Kalian mau langsung ke Rumah Sakit kan?"

Shilla dan Sivia saling melirik satu sama lain. Detik berikutnya, mereka mengangguk.

"Emm.....dari pada kalian nunggu jemputan, mending kalian bareng sama kita."

Sivia tersentak, begitu juga Shilla. Mereka kompak saling tatap dengan alis bertautan. Ada apa ini? Tunggu, dia benar Debo kan? Orang yang sangat membenci Shilla. Bukan hanya mengizinkan untuk menjenguk Ozy, tapi dia menawarkan tumpangan, mungkin otak Debo agak sedikir bergeser dari tempatnya.

Goldi menjentikan jari di depan wajah cantik Shilla dan Sivia. Membuat kedua wanita itu kembali tersadar dari lamunananya.
"Malah ngelamun. Gimana? Mau nggak?"

Shilla dan Sivia belum menjawab. Memang lebih cepat jika bersama mereka. Selain mobil mereka yang sangat cepat, mereka juga tak perlu menunggu jemputan dari sopir Sivia yang terkadang sangat lama.

Shilla menoleh ke arah Sivia. Wanita itu hanya mengangkat bahunya. Menyerahkan segala keputusan pada Shilla.

Shilla menghela nafas sesaat dan mengangguk. "Oke."

Debo dan Goldi mengembangkan senyumnya. Mereka saling lirik satu sama lain dengan senyum penuh kemenangan. Setelah ini, mereka akan makan sepuasnya dan biayanya akan ditanggung oleh Alvin. Sesuai janji temannya itu, jika ia berhasil membujuk Sivia ikut bersama nya, mereka berdua akan ditraktir makanan apapun yang mereka suka.

Debo menepukan tangannya sekali.
"Oke kalo gitu. Berhubung mobil gue rusak karena lo dudukin kemaren..." Debo yang berucap sambil menunjuk Shilla itu langsung dapat tatapan membunuh dari wanita itu. Menyadarinya, Debo langsung menunjukan gigi rapinya itu dan melambaikan tangan nya. "Gue bercanda. Berhubung tadi mobil gue nggak bisa dihidupin, jadi gue bareng sama Goldi. Nah, Sivia bareng sama Alvin dan Shilla bareng sama Rio. Oke. Yuk."

"Eh."Belum sempat Shilla melakukan penolakan, Goldi dan Debo sudah melenggang pergi keluar kelas. Shilla menghentakan kaki nya kesal. Mengapa dirinya harus bersama Rio? Ia pun menggerakan kepalanya ke arah Sivia. Berniat mengajak wanita itu bertukar tempat. Sivia yang bersama Rio, sedangkan dirinya bersama Alvin. Namun belum juga kalimat itu terlontar, Alvin yang sedari tadi bersama Rio di bangku belakang sudah menghampiri mereka dan menarik tangan Sivia keluar.

Shilla tersentak melihat temannya yang tiba-tiba diculik darinya. Ia hanya berdesis melihat punggung mereka yang sudah menjauh. Kini ia tak bisa menghindar lagi. Padahal ia masih marah pada Rio. Ia tak ingin bertemu pria itu dulu. Tapi ia malah terjebak satu mobil dengannya.

"Nggak usah lelet. Buruan."

Shilla memandang punggung Rio yang baru saja melewatinya. Ia menghela nafas.
Sabar....sabar Shilla.

Shilla pun melangkah berjalan mengikuti Rio. Mengekor di belakangnya. Tapi itu tak lama, Shilla langsung berlari kala menyadari Rio pasti tak suka jika ia jalan di belakang nya.

Rio tersenyum tipis melihat hal itu. Sangat tipis sampai tak disadari oleh Shilla. Mereka melangkah beriringan. Tangan nya ia masukan ke saku celananya dan menerawang ucapan Alvin tadi. Ucapan hanya antara Alvin dan dirinya saja,


"Lo suka sama Shilla kan?"

Rio tersentak. "Apa?"

Alvin tersenyum geli melihat jawaban Rio. Ia menepuk pundak temannya itu beberapa kali. "Nggak usah kaget gitu kali. Gue tahu. Dari lo ngasih perhitungan ke Kiki. Lo marah bukan karena Kiki yang nyeret lo dalam tujuannya kan? Tapi lo marah karena Shilla."

Rio terdiam. Kini ia mengerti mengapa Alvin tadi sempat menatapnya saat ia selesai memberi peringatan pada Kiki. Jadi Alvin tahu apa penyebab dirinya yang tiba-tiba menjadi emosi.

"Udah lah, Yo. Lo nggak bisa bohongin gue. Gue bakal bantu lo kok. Tenang aja. Gue setuju kok lo sama dia. Langkah awal, gue bakal buat dia bareng sama lo. Sekalian, gue juga bisa bareng Sivia."


Rio menghembuskan nafas lagi. Ia memalingkan wajah nya menatap sisi wajah Shilla. Ia heran pada dirinya sendiri, ia tak bisa menahan emosi nya jika menyangkut gadis di sampingnya ini. Emosinya bisa langsung tersulut naik jika ada yang berusaha menyelakai sahabat kecilnya.

"Shil?"
Shilla hanya membalas panggilan Rio dengan deheman kecil.

"Gue tadi nyamperin orang yang udah nyebarin foto kita."

Lagi. Hanya deheman yang Shilla keluarkan untuk menanggapinya.

Rio berdecak kesal. Ia langsung menahan pergelangan tangan Shilla. Membuat langkah wanita itu kembali ke belakang dan tubuhnya berhadapan dengan Rio.
"Lo kenapa sih?"

Shilla memalingkan pandangan nya. Menghindari kontak mata langsung dengan Rio.
"Nggak kenapa-napa."

"Lo marah karena kelakuan gue semalem itu ternyata di foto dan disebarin? Lo nggak terima kalo mereka balik lagi ngebully lo?"

Shilla terdiam. Bukan. Bukan karena itu ia marah. Bukan karena dirinya kembali disorot oleh mereka. Ia tak peduli apa yang mereka katakan. Ia tak peduli apa yang ada dipikiran mereka. Bukan itu yang mengganjal di hatinya. Bukan Rio. Bukan.

"Gue minta maaf deh kalo lo marah gara-gara itu. Gue udah ngasih pelajaran kok sama dalangnya. Foto itu juga udah dihapus dari website, meskipun nggak ada gunanya lagi tapi kan........"

"Bukan karena itu gue marah." Rio lagsung mengatupkan bibirnya ketika Shilla dengan cepat memotong ucapannya. "Lo tadi bilang sama Oik kalo foto itu nunjukin lo lagi nyeret gue dari Rumah Sakit. Tapi kenyataan nya kan nggak kaya gitu."

Rio bukannya minta maaf atau merasa bersalah, justru dahinya membentuk lipatan rapi mendengar penuturan itu.
"Kok lo tahu?"

Otot wajah Shilla seketika mengendur. Ia langsung memalingkan wajah nya dari Rio. Merutuki mulutnya yang tak bisa bekerja sama dengan otaknya

"Ya....kan...lo tahu.....kalo.....mulut nya Oik itu banyak."

Rio menaikan satu alisnya. Namun tak lama, ia menganggukan kepalanya percaya.
"Gue ngomong kaya gitu supaya Oik nggak ganggu lo lagi."

Shilla berdesis kesal. "Gue nggak peduli Oik itu mau ngapain gue. Lo ngomong kaya gitu seakan gue itu rendah tau nggak? Oik kesenengan kan waktu lo ngomong gitu? Gue nggak suka."

Rio menarik nafas kuat dan menghembuskan nafas pelan. Niat nya untuk melindungi agar sahabatnya ini tidak terluka ternyata malah membuat sahabatnya ini marah.
"Ya udah, besok gue ngomong sama Oik kalo gue bukan nyeret lo, tapi narik lo dengan sengaja. Sekalian gue bilang kalo gue genggam tangan lo selama kita jalan di parkiran."

Shilla mendelik mendengarnya. "Kalo lo ngomong gitu, Oik bakal nyelakain Sivia tau nggak?"

Rio meremas kepalanya frustasi karena hal yang coba ia lakukan selalu salah di mata Shilla."Terus gue harus gimana supaya lo nggak marah?"

Air wajah Shilla langsung berubah. Ucapan Rio seakan menyentaknya. Rio melakukan semua ini untuknya. Ia tak memaklumi nya justru malah membebaninya.
"Yaudah deh. Nggak usah dibahas lagi. Kita udah ditinggal. Mending kita cepet ke Rumah Sakit."

Rio menahan lengan Shilla yang akan melangkah lagi. Membuat wanita itu kembali menghadapnya.
"Lo udah nggak marah?"

Senyum pun tersungging dari wajah Shilla. Ia menggeleng pelan, karena memang tak ada sebab yang harus dimarahi sekarang.
Rio ikut tersenyum. Ia pun melangkahkan kakinya, diikuti Shilla yang menyusulnya.



***



Tangan halus Sivia mengusap punggung tangan Ozy pelan. Ia baru melihat Ozy yang terbaring seperti ini. Ia tak bisa membayangkan betapa menyedihkan keadaan Ozy kemarin saat masih di ruang ICU. Bahkan sekarang yang sudah di ruang rawat inap keadaan nya sudah seperti ini.

"Shil?"

Tangan Shilla yang sedang mengupas apel yang Rio beli untuk mereka makan pun berhenti. Kepalanya menoleh ke arah Alvin yang tengah duduk di sofa panjang bersama Goldi dan Debo. Sedangkan Rio duduk di kursi dekat ranjang Ozy. Di sebrang Sivia berdiri.
"Nggak usah ngomong yang bikin gue marah. Lo nggak tahu gue lagi megang apa."

Alvin menipiskan bibirnya saat menyadari ada pisau tajam di tangan wanita itu. Yang bisa saja merobek mulut nya jika ia salah bicara. Membuat yang lain terkikik geli.
"Galak amat sih lo. Gue kan Cuma mau nanya."

Shilla menundukan kepalanya. Tangan nya bergerak lagi mengupas kulit apel yang tadi sempat terhenti. "Nanya apa?"

"Lo kok bisa pacaran sama Cakka sih?"

Tangan Shilla berhenti sejenak. Mendengar nama yang nyaris ia lupakan, membuat hati nya bergetar lagi. Ia mencoba menutupinya, kembali menggerakan tangannya lagi untuk mengupas kulit tipis apel di tangannya.
"Ya bisa lah."

"Awal deketnya gimana?"
Giliran Goldi yang bertanya. Ketertarikannya pada pembahasan yang Alvin mulai membuat mulutnya gatal ingin tahu.

Mereka tak menyadari, ada satu orang yang menahan panas dalam dadanya di ruangan itu. Yah, Rio. Ia mencoba tak mempedulikan pembicaraan itu. Dengan terus memalingkan wajahnya menghadap Ozy. Namun itu percuma. Ia masih memilika 2 telinga yang masih berfungsi dengan normal. Sekuat apa ia menulikannya, ia tetap akan mendengar kisah itu. Kisah indah yang menutupi kenangan lama Shilla bersama nya.

"Awalnya dia nolongin gue dari 5 preman yang minta uang gue secara paksa. Setelah itu gue mulai deket sama dia. Kita sering ketemu. Dia sering nelpon gue kalo malem. Terus kita nyambung kalo ngomong. Dia asik. Dia baik. Dia bisa bikin gue ketawa.,"

Rio memutar bola matanya,
Bela aja terus!

"Kita sering jalan, yang lain pada setuju sama gue, dia nembak gue, gue terima. Pacaran deh."

Alvin, Goldi, dan Debo menganggukan kepalanya. Sedangkan Sivia, ia tak terlalu antusias, ia pernah mendengar cerita itu sebelum mereka.

Potongan apel karya Shilla pun telah siap. Ia letakan ke atas piring dan menyodorkannya pada ketiga preman di dekatnya.

Debo langsung mengambil apel itu, diikuti Goldi dan Alvin. Debo menghempaskan punggungnya keras ke badan sofa. Menatap Ozy yang berjarak beberapa meter dari nya.
"Lama banget sih Ozy sadar. Padahal kan udah lewat masa kritis."

Goldi mengangguk, ikut menoleh ke arah Ozy. "Kita udah dua kali ya nunggu kaya gini. Tapi yang dulu nggak lama."

Alvin dan Debo mengangguk. Setuju.

"Ozy juga dulu pernah kaya gini?" Sivia menatap ketiga preman itu ingin tahu. Namun dahinya berkerut ketika kepala mereka menggeleng. "Terus?"

"Bukan Ozy. Tapi Rio."

Shilla terperanjat. Kepalanya langsung menoleh ke arah Rio, yang sialnya pria itu langsung melirik ke arahnya.

"Oh, Rio. Iya iya gue inget. Expend dulu kan pernah geger kan karena itu. Rio pake dioperasi segala lagi."
Debo, Alvin dan Goldi mengangguk.
"Deket-deket situ. Nyokap gue yang giliran kecelakaan. Dia kehilangan banyak darah. Rumah Sakit juga kehabisan. Untung darah gue sama."

Tunggu. Saat itu adalah saat ia pertama kali bertemu Sivia. Hari yang sama saat Cakka sadar setelah operasinya. Cakka harus di operasi seperti itu setelah bertarung dengan Rio. Mungkinkah Rio juga dioperasi karena pertarungan itu?

Tiba-tiba sekilat bayangan teringat oleh nya. Bayangan saat ia menunggu Cakka di depan pintu UGD. Ucapan Ray yang saat itu ia anggap angin lalu dalam hatinya.

".......asal lo tau, Cakka itu kuat. Bukan hanya Cakka yang saat ini terbaring di rumah sakit. Tapi gue denger Rio juga. Lo nggak perlu khawatir, Cakka pasti bisa bertahan."

Saat itu ia hanya berpikir tentang keselamatan Cakka. Ia tak tahu, pada hari yang sama, saat yang sama, sahabat kecilnya -Adit- juga sedang berjuang melawan maut. Tapi pada hari itu, dirinya tak bisa menemani sahabat kecilnya. Ia tak berdoa untuknya. Ia justru semakin membenci Rio saat itu. Mengutuk Rio dalam hatinya. Ia tak menyangka bahwa semua itu mengarah pada orang yang sangat disayangnya. Orang yang dulu selalu melindunginya. Shilla menoleh ke arah Rio yang tengah menatap Ozy.

Maafin gue, Yo. Maaf...

"Ozy!" Pekikan Rio mengagetkan Shila beserta yang lain. Tak banyak suara lagi, Debo, Alvin, Shilla, dan Goldi langsung beranjak dari sofa dan berlari mengarah ke Ozy.

Mereka mengelilingi ranjang. Menatap mata Ozy yang sedikit demi sedikit terbuka. Saat mata nya telah sempurna membiasakan pada cahaya yang selama ini tak pria itu lihat, matanya berkeliling menatap orang yang mengelilnginya satu persatu.

Sivia langsung memencet tombol merah yang ada di atas ranjang Ozy. Memanggil dokter dan suster agar segera datang ke ruangan itu.

Rio mengusap lembut kepala Ozy. "Lo nggak papa?"

Ozy hanya mengedipkan matanya, mengatur nafasnya yang terlihat lelah. Mulutnya terbuka sedikit, ingin mengatakan sesuatu, tapi sangat berat untuk terucap. Mulutnya seakan kaku, pita suara nya seakan menghilang.

"Zy, nggak usah dipaksa."

Ozy melirik ke arah wanita yang berada di samping Rio. Wanita yang sangat ia yakin dibenci oleh sahabat-sahabatnya. Merasa heran mengapa wanita itu bisa ada di sini menunggunya.

Pintu kamar Ozy terbuka. Menampakan dokter dan suster yang siap memeriksa Ozy. Serempak mereka mundur. Memberi kelonggaran pada suster dan dokter agar leluasa bekerja.

Tak lama, dokter menghampiri mereka yang berjejer rapi di dekat sofa. Menatap mereka dengan ukiran senyum di wajahnya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, keadaannya stabil. Tapi saya mohon, jangan dipaksa untuk terlalu banyak bicara."

Mereka mengangguk kompak. Dokter itu pun pergi, bersama suster yang sempat menaikan ranjang bagian atas Ozy agar Ozy lebih nyaman untuk duduk.

Setelah mereka menghilang, Debo dengan cepat berlari. Memeluk Ozy yang masih terlihat pucat. Semua berjalan menghampiri, dengan senyum kebahagian.
"Lo lama banget sih tidurnya."

Ozy hanya tersenyum tipis. "Yang penting kan gue udah sadar, Deb."

Debo mengangguk.

Goldi menepuk pelan kaki Ozy. "Sesuai janji gue sama lo, gue akan nurutin semua mau lo setelah lo sadar. Lo mau apa?"

"Gue usul dong." Alvin mengacungkan tangannya. Yang langsung diberi hadiah toyoran dari Goldi. "Gue nggak nanya lo."
Alvin berdesis. Membuat semua orang terkikik geli.

Tangan Rio mengusap bahu Ozy. Menatap nya penuh penyesalan. "Maafin gue karena nggak bisa jaga lo."

Bibir pucat Ozy tertarik kecil. Tangannya mengambil tangan Rio yang ada di pundaknya dan menggenggamnya. "Bukan salah lo, Yo."
Rio mengangguk, ia bernafas lega. Ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu pada sahabatnya. Sungguh.

"Ohya, waktu itu kita menang atau kalah?"
Ya, dirinya tidak mengetahui akhir pertarungan itu. Pandangannya menggelap dan tak menyadari apapun. Yang ia ingat hanya wajah Sion yang memandangnya penuh benci saat pria itu memukuli habis-habisan dirinya.

"Ada warga yang telpon polisi. Seperti biasa, nggak ada yang keluar sebagai pemenang."

Jawaban Alvin cukup menghilangkan rasa penasarannya. Matanya pun melirik Sivia dan Shilla bergantian.
"Emm..ada yang aneh di sini?"
Semua saling berpandangan tak mengerti.

"Oke, kalo Sivia mungkin masuk akal. Tapi kalo...." Ozy melirik ke arah Shilla dan menunjuknya. ".....Shilla, kenapa dia bisa di sini?" Semua langsung melihat ke arah Shilla, dan serentak mata mereka saling melirik satu sama lain.

Shilla tersenyum, perasaannya juga sama seperti Ozy. Ia sendiri bingung mengapa dirinya diizinkan untuk berdiri diantara mereka. Ia tak bisa berkata, mereka lah yang harus menjawabnya.

"Bukannya lo benci setengah mati sama Shilla?" Ozy melirik Debo. Debo hanya diam tak bersuara, tapi senyuman langsung terukir di wajahnya.
"Dia emang nyebelin. Tapi gue nggak sebenci dulu lagi sama dia."

Ozy menaikan alisnya. Namun ya sudahlah, ia hanya dapat menghendikan bahunya, mungkin saat ia terbaring, Shilla telah melakukan hal yang membuat hati Debo melunak.

Getaran hp Shilla membuat mereka kompak menoleh ke arah wanita itu.

Shilla langsung mengambilnya. Ia melihat nama 'Mama' tertera pada hp yang terus berkedip minta di angkat. Shilla menatap mereka. "Gue keluar bentar."

Shilla pun berjalan melangkah menuju pintu keluar. Setelah pintu tertutup sempurna, ia baru menggeser tombo hijau di layar hp nya.
"Hallo, ma?"



***



Angel mengambil keripik pisang yang ada di meja. Memakan nya dengan tatapan yang tak lepas dari layar hp nya. Ia tak peduli dengan suara gaduh yang ditimbulkan Gabriel dan yang lain. Ia serasa ada pada dunia nya sendiri kala sudah terdampar di dunia maya.

Saat tengah asik menyelami dunianya, mata Angel tiba-tiba membulat sempurna. Ia menarik nafas kuat tapi tertahan di tenggorokannya. Posisi nya yang tadi tiduran di sofa pun beranjak duduk.
"Ini......ini....kenapa....kenapa ada foto ini di instagram guee!!"
Pekikan Angel membuat semua orang menoleh. Ify yang duduk di sofa lain dan Zahra yang duduk di atas karpet di bawah Ify saling menoleh. Mereka berdua langsung beranjak menghampiri Angel.

"Kenapa sih, Ngel?"
Melihat wajah kaget temannya ini membuat Ify bingung setengah mati.

Angel menoleh ke arah temannya yang sudah duduk di sampingnya. Dengan gemetar, tangannya menyerahkan hp itu pada Ify. Yang langsung didekati Zahra yang ikut penasaran.

Dan serentak, mata mereka membulat dan mulutnya terbuka secara refleks.
Pekikan Zahra yang tertahan di tenggorokan nya membuat Gabriel, Sion dan Irsyad yang tadinya asik bermain monopoli ikut tertarik. Mereka bertiga pun menghampiri ketiga gadis yang menampakan wajah terkejutnya.

Gabriel langsung mengambil hp di tangan Ify yang sama sekali tak tergenggam. Sion dan Irsyad pun ikut nimbrung melihat di sisi Gabriel. Mata mereka sontak mendelik saat melihat foto itu.

"Apa-apaan nih?!" Suara keras Sion menyadarkan Irsyad dan Gabriel. Mereka saling tatap tak percaya. Foto Rio yang tengah menggandeng Shilla berhasil membuat syok jantung mereka.

Ify menatap mereka satu persatu. Wajah kaget mereka tak dapat mereka sembunyikan. "Cakka nggak boleh tahu masalah ini, oke."

"Apa yang nggak boleh gue tahu?"

Deg!!!

Jantung mereka hampir mencelos mendengar suara yang sangat mereka kenal. Mereka kompak menoleh ke sumber suara. Wajah mereka kompak pucat ketika melihat Cakka sudah ada di undakan tangga terakhir sambil membawa bola basket.

Gabriel dengan cepat menyembunyikan hp nya ke belakang punggungnya.
"Bukan apa-apa kok,Kka."

Cakka berjalan mendekati mereka sambil mendribble bolanya. Membuat jantung mereka berdetak tak karuan. Saat dia berhenti tepat di sisi sofa, ia menghentikan dribble an nya. "Apa yang di belakang punggung lo?"

"Hah?" Keterkejutan Gabriel membuat rasa penasaran Cakka semakin bertambah. Jauh lebih yakin ada yang ingin disembunyikan mereka darinya.

"Gue mau lihat." Telapak tangan Cakka sudah terbuka ke atas. Tinggal menunggu Gabriel menyerahkan sesuatu ke atas telapaknya.

Gabrie menatap Ify, Zahra dan Angel. Mereka bertiga hanya menatap pasrah. Menunjukan apa yang harus mereka sembunyikan lagi jika Cakka sudah seperti ini.

Gabriel menghembuskan nafas berat. Ia pun menyerahkan hp itu ke telapak tangan Cakka.

Cakka langsung melihat aneh hp itu. Apa yang ada di dalam nya hingga mereka berusaha menyembunyikannya?
Cakka pun menggeser layar hp Angel yang terkunci. Disana Angel merutuki dirinya, mengapa ia tak memberi sandi atau pola agar tak ada yang bisa membuka hp nya. Disaat seperti ini, dirinya lah yang paling menyesal.

Disaat layar itu terbuka. Satu foto langsung terpampang di layar hp Angel. Membuat raut wajah Cakka berubah seketika. Dahinya sedikit demi sedikit berkerut. Meyakinkan pada hatinya apa benar yang tengah dilihat manik matanya. Ketika ia benar-banar yakin. Rahang nya mengeras, tangan yang tengah membawa bola basket itu menggenggamnya kuat. Nafas nya tak teratur. Matanya memerah menunjukan jelas bahwa ia sedang marah.

"Brengsek!!!"
Cakka membanting keras bola basket di tangannya. Membuat bunyi dentuman yang sangat kuat. Ify dan yang lain sampai terlonjak kaget. Jika ada yang memiliki penyakit jantung, mungkin saat ini ada yang pingsan karena nya.

Cakka marah. Benar-benar marah.

Cakka langsung menyambar kunci mobilnya yang ada di atas meja dekat Ify. Tanpa ada yang bisa menahan, pria itu langsung berlari meninggalkan basecamp nya.

"Cakka hp guee!" Sebuah toyoran langsung dilayangkan Zahra ke kepala Angel. "Bukannya hp yang harus lo khawatirin, tapi Cakka."
Angel langsung menunduk.

"Ngeliat dia sekarang, kita nggak bisa nyusul mobil dia." Ucapan Irsyad diangguki Gabriel dan Sion. Melihat betapa gila nya Cakka sekarang, pria itu pasti mengendarai mobil nya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Yang mustahil bagi mereka bertiga untuk mengikutinya.

"Gue tahu dia mau kemana."

Gabriel dan yang lain menoleh ke arah Ify, menatap Ify yang tengah melihat lurus arah depannya.
"Dia ke rumah Shilla."



***



"Iya, Vi. Bentar ya, gue lagi siap-siap nih." Shilla memoles bibirnya menggunakan lipgloss pink natural nya sambil bercermin. Sedangkan tangan yang lain memegang hp di telinganya.

"Kan ada Alvin di sana. Goldi sama Debo mungkin lagi di jalan. Rio nya juga belum dateng. Tunggu aja ya."


Ting tongg....

Shilla menolehkan kepalanya. "Nah , itu Rio dateng. Yaudah ya. Sampe ketemu di sana."
Shilla langsung menutup hp nya dan membereskan alat make up yang berserakan di meja riasnya.


Ting tong....

"Iya bentaarr.."
Shilla langsung mengambil tas kecil dan menyelempangkan ke bahunya. Ia mengambil hp nya dan membenahi rambutnya sebentar. Ia langsung berlari keluar kamar dan segera berlari ke arah pintu keluar.

Namun saat pintu itu terbuka, nafas Shilla langsung tercekat ketika orang yang berdiri di ambang pintu bukanlah Rio, melainkan pria masa lalunya. Cakka.

Shilla berniat menutup pintu itu kembali. Namun dengan kuat, Cakka menahan pintu itu dan menarik pintu itu hingga terbuka lebih lebar. Tangan Cakka dengan cepat menyambar tangan Shilla dan menarik nya kasar hingga sosok tubuh itu keluar dari rumahnya.

Cakka menghempaskan tubuh Shilla hingga berdiri di depannya. Belum juga mulut nya terbuka, matanya langsung memperhatikan apa yang Shilla pakai dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Shilla yang terlihat rapi ini membuatnya melengos tak tahan. Menyadarkan sesuatu yang menyakiti hatinya.
"Lo mau pergi ternyata." Cakka dengan pelan menggerakan kepalanya lagi ke arah Shilla. Menatap mata bening itu tajam. "Sama siapa?"

Shilla membuang muka. Tak ingin menjawab pertanyaan pria itu. Pria itu tak perlu tahu.

"Sama Rio?"
Pertanyaan Cakka membuat raut wajah Shilla langsung berubah. Dan Cakka yang menyadari itu, hanya tersenyum getir ternyata ucapannya tak meleset dan tepat sasaran.

"Jadi ini alasan lo selama ini?" Shilla menolehkan kepala ke arah Cakka. Dahinya sedikit berkerut bingung dengan apa yang Cakka katakan.
"Ini alasan lo nggak mau balik ke Hervic. Iya?! Karena lo udah nemuin pengganti gue! Karena sekarang lo lagi deket sama Rio?!"

Shilla menghembuskan nafas kesal. "Apasih yang lo omongin? Gue nggak ngerti. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama Rio."

Cakka melengos. Tak menyangka gadis ini masih menyangkal. Cakka pun merogoh saku celananya. Mengambil hp dan langsung menunjukan layar hp itu tepat di depan wajah Shilla.

Shilla tersentak. Melihat foto nya bersama Rio terpampang di sana.

"Lo masih nyangkal?"

Shilla mendongak ke arah Cakka. Balik menatap tajam mata elang Cakka.
"Bukan urusan lo gue deket sama siapa. Dan kenapa lo masih nggak nyadar juga, Cakka. Gue nggak mau balik ke Hervic itu semua karena lo!!" Shilla menunjuk wajah Cakka. Ia pun berbalik. Melangkah kan kaki nya kembali ke dalam rumah, namun tangan nya langsung dicengkram Cakka kuat. Membuat badannya kembali menghadap ke arah Cakka.

"Itu semua karena lo nggak mau dengerin penjelasan gue! Lo nggak tahu apa-apa! Ini semua nggak seperti apa yang lo pikirin!"

"Gue nggak butuh penjelasan lo! Gue nggak mau denger apapun dari mulut lo! Sekarang lepasin. Lepasin!!" Shilla meronta agar tangannya terlepas. Namun cengkraman Cakka benar-benar kuat. Ia tak bisa melepaskannya. Malahan, kini kedua tangan nya dicengkram oleh pria itu. Kuat. Sangat kuat.

"Gue yakin lo akan maafin gue setelah lo denger penjelasan gue, Shill. Jadi gue mohon dengerin gue."

Shilla tetap meronta untuk melepaskannya. "Gue nggak mau denger. Lo budeg, hah!! Lepasin tangan gue!! " Shilla benar-benar berusaha. Tapi cengkraman itu tak mengendur sama sekali. Justru lebih kuat. Tangan nya terasa perih sekarang.

"Nggak!! Shill, lo salah paham, gue nggak ada......"


Bugghhh..


Shilla terlonjak kaget. Cengkraman Cakka terlepas, pria itu justru kini tersungkur di lantai terasnya. Shilla menoleh, didapati Rio sudah berdiri di dekatnya dengan amarah yang membara.

Rio berjalan ke arah Cakka. Mendekati pria itu yang berusaha berdiri dari jatuhnya. Rio langsung menendang bahu Cakka kasar hingga pria itu terjatuh lagi. Rio langsung menarik kerah Cakka, namun dengan cepat Cakka langsung menepis nya dan balik membanting Rio hingga jatuh ke lantai.
Saat Cakka akan menindihnya, Rio langsung mendorong tubuh Cakka kuat hingga pria itu terpantuk tembok secara kasar.

Rio langsung bangkit begitupun dengan Cakka. Mereka kembali saling pukul, saling tendang, tak mau kalah satu sama lain. Jeritan Shilla pun tak dapat menghentikan mereka. Pertarungan mereka yang tadi hanya di teras kini sampai di halaman depan villa. Mereka masih terus saling pukul tak menyerah.

"Ngapain lo dateng ke sini, hah!! Lo nggak berhak nemuin Shilla lagi! Shilla udah bagian dari Expend! Dan nggak seharusnya lo nemuin dia!!"

"Lo pikir gue akan diem aja! Lo ngegunain Shilla untuk ngehancurin gue kan?! Gue nggak akan biarin lo deket sama Shilla! Dan gue nggak akan biarin lo ngerebut Shilla dari gue!!"

Tangan Rio terkepal kuat. Matanya benar-benar berkilat marah. Awal amarah nya tersulut karena ia melihat Shilla yang terlihat kesakitan karena tangan nya dicengkaram kuat oleh Cakka. Belum juga amarah itu hilang justru Cakka menambahnya dengan ucapan yang membuat nya muak. Apa dia bilang? Merebut? Ia bahkan jauh lebih mengenal Shilla lebih dulu dari pada pria itu. Ia dan Shilla bahkan tumbuh bersama. Ia yang lebih dulu mengukir nama nya di hati Shilla.

"Lo pikir lo siapa, HAH!! Bukan gue yang ngerebut Shilla dari lo! Justru lo yang NGEREBUT DIA DARI GUE!!"

Dengan cepat Rio menonjok lagi wajah penuh lebam Cakka. Memukulnya tanpa ampun. Shilla yang melihat hal itu hanya kebingungan dengan cara apa menghentikan mereka. Saat ini Rio benar-benar seperti orang yang kesetanan. Cakka juga tak diam saja. Ia malah ikut membalas perlakuan Rio. Ikut memukul wajah Rio berulang kali. Darah terus mengalir di wajah mereka. Seakan tak peduli, mereka terus saling hajar.

Rio menepis tangan Cakka yang akan menonjoknya. Ia justru langsung menendang dada Cakka hingga pria itu mundur beberapa langkah.
Saat Rio akan maju lagi, ia tersentak kala ada yang menahan tangan kirinya. Rio menoleh.

Dilihatnya Shilla sudah ada di sampingnya. Tangan kanan wanita itu menggenggam telapak tangannya sedangkan tangan kiri wanita itu menggengam lengannya. Ia seakan tersadar saat mata bening Shilla menelusup manik matanya. Emosi nya ikut surut saat Shilla mempererat genggaman di telapak tangannya.

"Cukup, Yo."

Rio terdiam. Mata bening Shilla sarat memohon padanya itu tak mampu ia tolak. Ia kalah pada Shilla. Mata itu telah menyihirnya dan mematikan api yang bergejolak dalam hatinya. Ia pun balik menggenggam tangan Shila dan langsung menarik wanita itu ke dalam mobil.

Saat di dalam, Rio menatap Cakka tajam. Jika ia tak waras, ia pasti akan menginjakan pedal gas menabrak tubuh orang yang paling ia benci itu. Tapi berhubung otak nya masih bekerja, ia langsung memutar stir mobilnya dan melajukan mobil nya meninggalkan Cakka.



***



Rio mengendarai mobil nya dengan kecepatan tinggi. Menyalip mobil di depannya dengan cepat. Shilla yang duduk di samping kemudi hanya menatap Rio pasrah, amarah Rio yang sempat hilang mungkin muncul lagi dalam dada nya.

Rio tersentak saat Shilla tiba-tiba menggenggam tangannya. Ia baru tersadar bahwa ia tidak sendiri dalam mobil itu. Rio menoleh. Di dapati nya wajah Shilla yang memucat. Wanita itu mungkin ketakutan.
Dengan cepat ia memutar stir nya dan menepi di pinggir jalan. Badan mereka bergerak ke depan saat Rio menginjak rem mobilnya.

Rio menghembuskan nafas nya berulang kali. Menetralkan emosi yang mempengaruhinya. Mengingat perlakuan Cakka yang menyakiti tangan Shilla dan ucapan yang pria itu lontarkan telah membuat nya lupa diri.

Rio menghempaskan tubuhnya ke jok mobil. Menarik nafas kuat dan menghembuskannya perlahan.

Rio menoleh ke arah Shilla. Menatap Shilla yang tengah khawatir padanya. Tangannya pun terulur mengambil tangan Shilla. Melihat tempat yang tadi dicengkram oleh Cakka. Tangan itu sedikit memar. Hal itu membuatnya ingin segera memutar balik mobilnya dan membunuh Cakka.

"Gue nggak papa kok, Yo."

Rio mendongak lagi menatap mata Shilla, perlahan ia melepaskan tangan wanita itu. "Cakka ngomong apa sama lo?"

Shilla terdiam, sebentar. Ia tak yakin harus mengatakannya atau tidak. Tapi tetap saja, ia tak bisa berkilah sekarang. "Dia maksa gue untuk dengerin penjelasan dia. Tentang dia yang nyelingkuhin gue dulu"

Rio memalingkan wajahnya. Ia menghembuskan nafas pasrah. Ketakutan nya akan terjadi. Cakka berusaha menghilangkan luka di hati Shilla. Jika Cakka berhasil, Shilla akan meninggalkannya. Ia pun menyenderkan kembali punggung nya ke jok mobil. Menatap jalanan di depannya hampa.
"Jadi gimana? Apa lo bakal dengerin penjelasan dia?"

Shilla terdiam. Ia bingung. Jujur, ia penasaran apa yang akan dijelaskan Cakka. Tapi di sisi lain, ia tak ingin membuka kenangan lamanya.

Rio menoleh menatap Shilla. Dalam hati ia berdoa agar Shilla menggelengkan kepalanya. Memutuskan agar wanita itu akan tetap berada di sampingnya. Tanpa ia kontrol tangannya terulur ke arah Shilla. Menangkup sebelah pipi wanita itu dan mengusapnya perlahan.

Shilla yang diperlakukan seperti itu langsung tersentak. Ia mendongak. Menatap mata Rio yang terlihat sangat sedih. Merasakan getaran yang timbul dari tangan Rio yang mengusap pipinya.

"Gue akan lakuin apapun untuk lo, Shil. Kalo lo mau ngedengerin penjelasan Cakka, gue akan anter lo sekarang juga ke tempat dia." Shilla tak bersuara. Matanya terus menatap Rio yang terus menatap nya. "Tapi kalo gue boleh jujur sama lo...."

Rio terdiam sesaat. Matanya terus memandang Shilla tanpa berniat mengalihkannya. Ia harus mengeluarkan isi hatinya. Menyeruakan apa yang terus berteriak dalam jiwanya.
"Gue belum siap kehilangan lo, Shilla."

Shilla tersentak. Sungguh, ia masih tak menyangka dengan apa yang Rio katakan.

Rio menurunkan tangannya di pipi Shilla. Masih terus menatap mata bening sahabat kecilnya. "Sekarang lo putusin, apa yang bakal lo lakuin sekarang?"

Shilla membisu, mata pencair tembaga itu menatap nya sendu. Serak dari suara Rio benar-benar menunjukan bahwa pria itu tengah kalut. Rio terus menatap nya dengan sorot mata takut, seakan jawaban yang akan ia lontarkan adalah eksekuti mati untuk pria itu.
Ia bingung. Apa yang harus ia lakukan?

BondsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang