Artemis, seorang dewi pemburu. Anak dari dewa langit yang agung, Zeus, dengan salah seorang Titan, Leto. Artemis memiliki satu saudara kembar laki-laki yang merupakan dewa cahaya, Apollo. Kisah ini hanya secuil bagian dari hidup Artemis yang berkisar tentang cerita cintanya, dan hanya sedikit andil Apollo di dalamnya.
Suatu malam, Artemis telah siap dengan baju tanpa lengan dan rok selututnya yang khusus, juga sebilah pisau dipinggangnya dan sebusur beserta anak panah bertengger di punggungnya untuk berburu. Ia mengarungi gelapnya belantara pepohonan. Berburu di malam hari, selalu seperti itu. Ia merasa bahwa sang malam lebih bersahabat dengannya, ia hanya ingin menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri. Tanpa ada mata yang menyaksikan, tanpa ada telinga yang mendengar. Tidak kurang dari lima ekor buruan ia dapatkan acap kali ia berburu, entah dengan anah panah beracunnya atau sabetan mata pisaunya yang tajam.
Ketika Artemis sampai pada hewan buruannya yang ketujuh, seekor rusa hutan liar. Ia membidikkan anak panahnya dari jarak yang terjaga, lalu dengan mantap ia lepaskan dari busurnya. Tepat terkena saluran napas! Dengan senyuman puas, Artemis berlari ke arah hewan buruannya yang tergolek meregang nyawa. Ketika akan mencabut anak panahnya kembali, ia melihat sebuah tembaga yang berkilau oleh pantulan cahaya bulan menancap tepat di antara kedua mata sang rusa hutan, sebuah anak panah lain. Artemis tidak sendirian. Siaga, ia meletakkan tangannya di gagang pisau dan siap untuk menghadapi serangan.
Seiring dengan semakin siaganya Artemis, suara langkah kaki itu semakin mendekat. Seorang laki-laki gagah, dengan seberkas sinar rembulan di wajah rupawannya, dan sebusur panah dari perak yang menggantung di tangannya telah menyita perhatian Artemis dan mengunci pandangan mata Artemis tepat di manik mata.
Ia, dewa pemburu yang terkenal dengan busur peraknya dan anak panahnya yang terbuat dari tembaga, ketampanannya hampir membuat seluruh wanita jatuh cinta, sang Orion.
Pertemuan antara Artemis dan Orion seolah telah menyatukan permainan puzzle yang rumit menjadi sempurna. Orion telah menemukan pasangan tulang rusuknya yang hilang, dan Artemis telah menemukan penyempurna dirinya. Genggaman tangan mereka, jari-jari mereka yang saling bertaut seolah berbicara betapa saling mencintai satu sama lain. Pandangan mata yang berbinar serta senyuman yang saling terlempar seolah bercerita indahnya waktu-waktu yang mereka lalui bersama.
Ketika malam menjelang Artemis tidak lagi berburu sendirian, selalu dilindungi Orion dibalik punggung tegapnya. Berburu bersama, kadang berlomba. Berbaring beralaskan rerumputan, berselimutkan langit, melepas lelah. Berikrar dengan kerlipan gemintang yang seolah tersenyum sebagai saksi atas pengikatan jiwa mereka. Keheningan tidak pernah menjadi masalah ketika mata mereka saling bercerita, kisah akan hari-hari yang mereka jalani. Selamanya.
Tetapi, sebuah kisah tidak selamanya indah. Tak selamanya sempurna. Apollo sangat membenci kekasih adiknya, Orion. Ia telah beberapa kali mencoba membunuh Orion dengan tombak buatan Hefaistos, dewa pandai besi. Gagal. Cara apa pun akan dilakukan Apollo untuk memusnahkan Orion, termasuk mendatangi Hera—istri Zeus yang lain yang sangat membenci Artemis, Apollo, dan Leto—memohon, berlutut padanya agar membantunya membunuh Orion.
Dengan syarat, Hera menyetujui permintaan Apollo. Dikirimlah Scorpio, tugasnya hanya satu, membunuh Orion. Bagaimana pun caranya, Orion harus mati oleh Scorpio.
Tiba waktunya Orion dan Artemis untuk menghabiskan malam dengan berburu. Seekor kelinci berwarna cokelat yang cantik menjadi bidikan mereka, lagi-lagi mereka berlomba. Orion telah menemukan tempat yang tepat untuk memanah kelinci tersebut, baru saja Artemis akan beranjak dari tempatnya, jeritan Orion merobek keheningan malam. Tidak lagi mempedulikan hewan buruannya, dengan kesetanan Artemis berlari menghampiri kekasihnya, tapi terlambat!
Orion telah tergolek lemah, dengan biru lebam di seluruh badannya. Kesakitan. Berharap rasa sakitnya menghilang, Orion menghembuskan napas terakhirnya dengan sesungging senyuman paling indah untuk Artemis.
Scorpio telah melaksanakan amanatnya.
Teriakan pilu Artemis bergema di seluruh belantara hutan, batinnya tercabik. Ia telah mati, Orion telah mati. Tangisan pedih Artemis membuat malam terlihat semakin gelap, seiring dengan itu ia bersumpah kepada langit dan perhiasannya, ia tidak akan pernah lagi jatuh cinta. Sekalipun.
Hari-hari Artemis tidak akan pernah sama, senyumannya tidak akan pernah secemerlang biasanya, kemantapan lesatan anak panah Artemis tidak akan pernah kembali seperti semula. Semuanya telah dibawa pergi oleh Orion ke kekelaman dunia Hades, penguasa dunia bawah.
Tidak tahan lagi dengan rintihan pedih putri pemburunya, Zeus menghampiri Artemis yang sedang terduduk dalam diam di pinggiran kolam dengan memandang gemintang.
“Apa yang seharusnya kulakukan, anakku? Untuk membuatmu berhenti menangis pilu sepanjang malam dan kembali mencerahkan wajahmu di kala siang?”
Tanpa berpaling dari gemerlapan gemintang, Artemis mejawab ayahnya dengan suara selirih desir angin. “Ayah, sediakan sebagian langit untuk kekasihku. Agar aku bisa kembali menghabiskan malamku dengannya, dan senyum tidak akan lepas dari bibirku di kala siang karena tidak sabar ingin bertemu dengan pemburuku kembali ketika malam telah turun.”
Tidak ingin membuang waktu lagi, Zeus sang penguasa langit meletakkan Orion diantara gemerlap bintang yang indah. Menjadikannya salah satu kontelasi di langit, untuk menerangi malam-malam Artemis. Kali ini benar-benar selamanya.
***
Aku tertidur dengan pulas dan tenang, sebagian besar karena mengingat kisah mitologi favoritku dan sebagian kecil karena ketukan lembut jari Kak Dion di dahiku. Bibirku tersenyum.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
N.B. : Cerita Mitologi ini saya tambah dengan imajinasi saya sendiri, tapi tenang kawan-kawan, intinya tidak sedikit pun saya ubah. Jadi, hamba minta maaf kalau ada kesalahan penjelasan. Terima Kasih banyak sekali bejibun ~ *deep bow*

KAMU SEDANG MEMBACA
Escaping Spirit
Teen FictionAku adalah seorang gadis biasa. Normal dan bukan termasuk gadis yang cantik dan populer, aku juga tidak terlalu pintar. Apalagi indigo atau bahkan cenayang. Sangat bukan! Hanya seorang remaja yang mempunyai fanatisme stadium akhir kepada semua jenis...