Story 1: Dia yang Tak Bisa Jujur

19K 854 28
                                    

Aku masih menatap wajah dingin itu yang menatap tak berdosa padaku. Tuhan, mengapa kau menciptakan mahluk indah seperti dia jika hanya untuk menyakitiku?

"Apa yang kau harapkan, Mega?" tanyanya dingin dengan senyuman mengejek.

"Dari awal sudah kukatakan, semua ini hanya settingan," sambungnya.

Ya. Ya. Aku ingat. Aku mengerti. Aku tahu. Semua ini palsu. Hutang budiku padanya mengharuskan aku menyetujui permintaan konyol pria sedingin es di hadapanku ini. Berpura-pura menjadi pacarnya untuk menghapus niatan orangtua nya yang ingin menjodohkannya dengan rekanan bisnisnya. Memang apa salahnya menikah? Yang kutahu, pria ini, yang sudah meminjamkanku uang yang tidak sedikit ketika ibuku harus masuk rumah sakit, pria ini sudah berumur 30 tahun. Dan sampai kini ia tidak ingin menikah? Bahkan pacar pun dia tidak punya. Yang benar saja?

Perih. Hatiku perih. Saat aku ingin menangis, dia malah hanya memberikan senyuman yang mengejek.

"Aku benci padamu!" teriakku.

"Bagus!" balasnya tegas. "Dengan begitu semuanya akan mudah. Kau akan melenggang santai meninggalkan semua ini saat acara pernikahan sepupuku selesai."

Ya. Permintaan konyol itu berbuah pahit ketika kami harus tinggal di villa yang sama selama persiapan pernikahan sepupunya. Melihat wajahnya setiap hari, oke, aku sudah terbiasa. Aku kebal dengan pesona wajah dinginnya itu. Kami memang bertemu setiap hari di kantor, karena dia bosku. Tapi tinggal bersama, artinya mengenal sisi dirinya yang lain. Yang entah bagaimana begitu penyayang, suka mengalah dan berbicara lembut pada ibu dan keponakannya. Dan semua sandiwara dengan jam tayang yang meningkat tajam sejak acara keluarganya ini. Membuatku menyadari semua ini adalah kesalahan. Suatu kesalahan aku telah menyanggupi perintah nya, dengan syarat tidak jatuh cinta padanya. karena bahkan sejak aku melihat senyuman tulus di wajahnya untuk pertama kalinya, aku sudah meragu apakah aku dapat bertahan dengan syarat bodoh itu. Sementara jika aku kalah oleh syarat itu, maka aku akan melukai diriku sendiri.

"Ya. Aku membencimu, Kevin. Kenapa kau membuatku tersesat di hatimu? Sementara dengan sebelah matamu pun kau enggan melihatku," lirihku.

Semua kemarahanku akan sikap dingin, konyol dan menyebalkannya padaku, perlahan berubah menjadi air mata yang membanjiri kedua pipiku. Aku menangkap wajahku sendiri. Terisak di telapak tanganku sendiri.

Tak ada suara. Tak ada komentar. Ya, memang begitulah kau, Kevin. Kau tak pernah perduli. Bahkan 2 bulan yang kita jalani yang penuh dengan sandiwara memuakkan yang akhirnya menyeretku tersesat semakin dalam di hatimu, tak pernah mengubah apapun bagimu. Bagimu, aku hanya karyawan rendahan yang berhutang budi padamu.

Perlahan aku menyeret koperku. Aku menyerah. Aku pergi. Sebuah amplop kuselipkan di tangannya yang menangkup pada pahanya ketika aku melewati kursi yang ia duduki. Aku akan keluar. Keluar dari kamar ini. Keluar dari villa ini. Keluar dari kehidupanmu, Kevin. Selamanya.

"Ini seluruh tabunganku. Kuharap cukup untuk melunasi semua hutangku padamu. Sampaikan salam dan maafku pada keluargamu. Katakan saja hubungan kita tak berhasil."

"Kau tidak menepati bagianmu, Mega!" bentaknya, berdiri dan memandangiku dengan tajam.

"Kau tidak mengerti, Kevin? Aku berhenti! Aku kalah dalam permainan ini. Aku tidak bisa lagi mengikuti peraturanmu!" balasku membentaknya.

"Peraturan mana yang gagal kau patuhi, Mega? " tanyanya tajam. "Kurasa aku tidak membuat banyak peraturan. Satu. Ya, hanya satu."

Aku mendengus keras. "Ya, peraturan itu yang tak sanggup aku patuhi, Kevin. Untuk tidak mencintaimu!"

"Dan ini surat pengunduran diriku, Kevin. Aku tidak sanggup melihatmu lagi," tambahku lirih.

Aku tiba di pintu kamar yang mewah itu, mencoba memutar kenop. Terkunci. Sial! Jadi ini sebabnya sedikitpun dia tidak bergeming mendengar pengunduran diriku. Dia tau aku tidak bisa kemana-mana. Aku masih sibuk menata hati dan terus memutar kenop pintu yang terkunci itu. Sampai sebuah tangan mencengkeram tanganku yang bersikeras memutar kenop pintu itu.

You'll also like

          

"Kau tau pintu itu terkunci, Mega," bisiknya tepat di telingaku.

Aku bergidik. Tak mampu menoleh, tak mampu berkata.

"Dan kau tau apa yang kau katakan tadi, kan, Mega?" tanyanya, masih berbisik di telingaku, membuat bulu kudukku semakin meremang.

"Jika aku tidak salah menangkap arti dari kata-katamu tadi, kau bilang.. bahwa kau.. mencintaiku.."

Satu sentakan tangannya di pinggangku seketika membuatku berhadapan dengan wajah dinginnya yang super-super tampan. Koperku jatuh menghempas lantai dengan keras.

Apa yang kau lakukan, Kevin? Apa yang kau inginkan? Semua pertanyaan ini hanya berputar-putar di kepalaku tanpa ada keberanian yang menghinggapiku untuk mengutarakannya.

Sebuah senyuman. Benar, sebuah senyuman yang manis. Aku tidak mungkin salah mengenali senyuman itu, ekspresinya yang menjadi ekspresi kesukaanku baru-baru ini. Karena sebelumnya tak pernah kulihat saat di kantor.

Tangannya menekan pinggangku sehingga mau tak mau tubuh kami menempel tanpa jarak sesentipun.

Napasnya memburu perlahan. Wajahnya begitu dekat hingga lututku terasa lemas. Jika bukan karena tububnya yang menopang tubuhku, sudah pasti aku melunglai ke lantai karena semua tenagaku telah sirna. Sejak hatiku sakit sejadi-jadinya dengan sikap dinginnya itu, hingga pertengkaran hebat yang terjadi malam ini, dan juga keputusanku untuk menyerah. Ditambah lagi perlakuannya yang mendadak ini padaku. Tubuhku lemas dan tak berdaya.

"Katakanlah sekali lagi, Mega.." ucapnya dengan mulutnya yang tepat berhadapan dngan bibirku. Kemudian ia semakin dekat hingga hidung kami saling bersentuhan.

"Katakan!" tegasnya.

Ya, Kevin. Ya, aku mencintaimu. Dan aku menderita karena mencintaimu.

"Mega.." bisiknya. "Katakan.."

Ekspresinya sugguh tak dapat kumengerti.

"Aku.." aku tergagap.

"Aku.. Men.. Mencintaimu.. Kev-" dan wajah itu benar-benar menempel di wajahku. Bibirnya melumat bibirku dengan lembut.

Air mataku meleleh. Apa-apaan dia? Apa dia mempermainkanku?

Ciumannya berubah menjadi cepat dan menuntut. Napasnya memburu. Aku diam, tidak marah, tidak pula membalasnya. Ketika mulutku sedikit terbuka untuk protes, saat itulah lidahnya mendesak masuk ke dalam mulutku, menjelajahi seluruh bagian mulutku, menyecap air liurku. Perlahan tetapi pasti, aku membalas ciumannya yang membuat tubuhnya menegang. Meskipun hatiku sakit, biarlah aku menikmatinya. Menikmati rasa diinginkan oleh makhluk sedingin es ini.

Entah sejak kapan kami sudah terduduk di atas lantai. Aku terduduk di depannya, di atas pangkuannya. Kami bahkan berpelukan erat seakan tak ingin terlepaskan lagi. Sampai akhirnya ia menarik wajahnya menjauh dariku. Dan aku segera menundukkan wajahku. Malu, malu karena aku masih menginginkan dia, menginginkan ciuman itu.

"Tinggallah, Mega," lirihnya dengan napas memburu seperti habis berlari dan suaranya terdengar sedikit parau.

"Tinggallah.. dan milikilah aku," bisiknya di telingaku.

Aku mendongak. Apa maksudnya?

"Karena mulai sekarang dan seterusnya, kau milikku, Mega," bisiknya lagi.

Aku tidak mengerti. Hanya tatapan penuh tanda tanya yang kuberikan padanya.

Senyuman itu lagi. Bahkan senyuman yang lebih manis dan membuat hatiku ketar-ketir. Jantungku, bersabarlah. Jangan meletus sekarang!

"Sejak awal aku memilihmu, Mega. Aku.. Aku.. Me.. Menyukaimu.." ujarnya dengan gugup.

As-ta-ga! Benarkah? Benar?

Ia membuang muka menghindari pandanganku, sementara aku mengerjap berusaha mencerna pernyataannya barusan. Jangan bilang aku bermimpi.

"Kevin.. Maksudmu?" tanyaku.

Ia menggaruk tengkuknya yang aku yakin tidak gatal.

"Ehm.. Ya.. Begitulah. Kau sudah mendengarnya, kan. Aku.. Aku tidak berbakat dalam percintaan, Mega. Kumohon jangan paksa aku bicara." ucapnya memelas.

Hah? Hah? Aku shock. Kevin punya sisi yang seperti ini? Yang seperti anak kucing minta di elus. Ya ampun.

Ia menarik napas kemudian kembali memasang topeng dinginnya. Astaga, cepat sekali ekspresinya berubah.

"Ehem. Mega, yang harus kau pahami hanyalah.. Kau. Sekarang. Milikku." Ia berucap dengan penuh penekanan.

Dan aku terbelalak menatap cincin mas putih yang tahu-tahu sudah melingkar di jari manisku.

"Ah, sepertinya kebesaran," ucapnya kecewa.

Aku mematung. Ini Kevin atau bukan? Jangan-jangan hantu.

"Jangan menatapku terus," protesnya.

Aku tergelagap. Lalu memindahkan cincin itu ke jari tengah tangan kiriku.

Dan wajah Kevin berubah menjadi berbinar.

Aku terpana. Benar-benar terpana.

"Kita beli cincin yang lain, nanti. Cincin sepasang. Kamu setuju, kan?"

Aku mengangguk kaku.

Kevin menarik kepalaku dan mengecup puncak kepalaku sejenak.

Dia pasti kerasukan!

***

Path of LoveWhere stories live. Discover now